Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Penulis - Host Foodie

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Indonesia Krisis, Malah Sok Jadi Ahli Psikologi?

29 November 2024   08:00 Diperbarui: 28 November 2024   22:44 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkah kamu melihat konten yang dimulai dengan, “Kata Psikologi, ...” tetapi isinya lebih seperti curhat berbumbu opini daripada fakta ilmiah? 

Fenomena ini kerap kali muncul di layar media sosial. Istilah “psikologi” dipakai seenaknya untuk memperkuat argumen, seolah-olah semua hal bisa dijelaskan dengan teori psikologi. Meski seringkali tanpa rujukan yang jelas. Akibatnya, ilmu yang sebenarnya kompleks ini justru jadi terasa dangkal di mata banyak orang. 

"Ilmu yang kini bisa berkata-kata", apakah ini sebuah cerminan dari hasil literasi Indonesia?

Padahal, psikologi adalah ilmu yang memerlukan studi mendalam, bukan sekadar jargon untuk terlihat pintar. Saya yang anak Komunikasi juga gedeg, kenapa konten "kata psikolog" ini menjamur di media sosial dan menyasar kaum-kaum yang lagi lepas harapan? Ini bisa menjadi bumbu yang menarik. Apakah Indonesia sekarang lagi mencetak banyak lulusan Psikologikah, atau orang-orang lagi mencoba tarik ulur lintas pekerjaan ke bidang kepribadian manusia? Hahaha.

Mari kita bedah fenomena ini dengan santai, tapi tetap serius.

Psikologi, Ilmu Segalanya?

Pernah membaca kalimat di konten media sosial, “Secara psikologi, kalau kamu duduk di depan kelas, tandanya kamu rajin,” atau, “Kata psikologi, kalau kamu belum bisa melupakan dia selama 6 bulan, berarti dia juga lagi mikirin kamu”? Kalimat-kalimat seperti ini sering berseliweran di media sosial, terdengar keren tapi ... apakah benar ada landasan ilmiahnya? Atau jangan-jangan cuma mitos berbalut istilah ilmiah?

Masalahnya, istilah "psikologi" kerap dipakai sembarangan tanpa pemahaman yang mendalam. Banyak yang menjadikannya alat untuk memperkuat argumen, meskipun sumbernya entah dari mana. Alih-alih meningkatkan wawasan, fenomena ini malah membuat ilmu psikologi jadi terlihat seperti "ilmu serba bisa" yang bisa menjelaskan apa saja. Haha padahal, kenyataannya tidak sesederhana demikian. Ini karena rendahnya literasi pembuat konten atau mungkin ada kebutuhan sosial untuk mencari pembenaran ilmiah dalam percakapan sehari-hari? 

Kenapa Hal Ini Bisa Terjadi? 

Sebelum kita menyalahkan mereka yang menggunakan istilah psikologi secara sembarangan, ada baiknya kita lihat dulu apa yang mendasari fenomena ini. Ternyata, ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa istilah "psikologi" sering dipakai tanpa pemahaman yang mendalam, bahkan bisa jadi menyesatkan.

1. Minim Literasi, Maksimal Sok Tahu
Di negeri dengan tingkat literasi yang masih memprihatinkan, membedakan fakta ilmiah dari opini receh kadang seperti misi mustahil. Jadi, ketika seseorang bilang, "Kata psikologi...", langsung saja dianggap sah informasinya tanpa cek ulang. Istilah ilmiah pun jadi alat ajaib untuk bikin opini terlihat pintar, meski buktinya nihil.

2. Media Sosial: Ladang Clickbait dan Setengah Fakta
Scrolling media sosial sering kali mirip membaca ramalan: singkat, meyakinkan, tapi dangkal. Di sini, "kata psikologi" jadi semacam bumbu viral, dipakai untuk mencuri perhatian tanpa peduli validitas. Siapa peduli sumbernya benar atau tidak, yang penting likes dan shares jalan terus.

3. Ilmu Psikologi Dipandang "Terlalu Mudah"
Psikologi sering disalahpahami sebagai "ilmu simpel" yang bisa menjelaskan semua hal, dari cara move on sampai kenapa realita tidak seindah dengan harapan. Bagaikan ramalan zodiak saja, bukan? Padahal, ilmu ini kompleks dan jauh dari sekadar teori instan. Tapi karena kurang pemahaman, ilmu psikologi malah dianggap seperti kamus tips hidup serba bisa. Ironis, bukan?

Apa Salahnya Menggunakan "Secara Psikologi"?

Menggunakan istilah psikologi sebenarnya tidak masalah, asalkan sesuai konteks dan didukung sumber yang valid. Namun, masalah muncul ketika istilah ini: 

  • Digunakan tanpa referensi. Misalnya, “Secara psikologi, orang yang suka kopi itu lebih dewasa ketimbang yang minum susu.” Dari mana fakta ini berasal? Hanya karena terdengar keren, bukan berarti benar. 
  • Dijadikan alat pembenaran. Ungkapan seperti “Kata psikologi, ngambek itu wajar” sering digunakan untuk membenarkan perilaku tertentu tanpa memahami konteks ilmiahnya. 
  • Dipakai secara berlebihan, padahal cuma dipakai untuk pedang hiburan semata. Yap, psikologi bukan solusi untuk semua masalah. Tidak semua fenomena bisa dijelaskan hanya dengan "kata psikologi."

Dampak dari Fenomena Menjamurnya "Kata Psikologi"

Penggunaan istilah psikologi yang asal-asalan bukan hanya merusak pemahaman, tetapi juga bisa menciptakan mitos baru yang sulit untuk dibongkar. Misalnya, kalimat “kata psikologi, anak bungsu itu manja” yang sering beredar di kalangan masyarakat. Meskipun populer, pernyataan semacam ini tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas dan hanya memperkuat stereotip tanpa bukti ilmiah. Jika ini dibiarkan, kita akan semakin sulit membedakan mana informasi yang valid dan mana yang hanya berdasarkan anggapan atau mitos.

Selain itu, penyalahgunaan istilah psikologi juga menurunkan kredibilitasnya sebagai ilmu yang serius. Ketika orang sembarangan mengutip “psikologi” untuk memperkuat argumen, psikologi mulai dipandang sebagai ilmu opini semata, bukan disiplin yang memerlukan penelitian dan pendekatan ilmiah. Akibatnya, kepercayaan terhadap psikologi sebagai ilmu yang kompleks dan berbasis bukti bisa terkikis. Fenomena ini juga menghambat literasi kritis, di mana orang lebih memilih menerima informasi mentah-mentah daripada mengecek kebenarannya. Inilah yang akhirnya memperparah rendahnya kemampuan berpikir kritis dan analitis di kalangan masyarakat.

Lalu, Apa Solusinya?

Solusi utama untuk mengatasi fenomena penyalahgunaan istilah ilmiah adalah dengan meningkatkan literasi informasi. Kita harus belajar untuk membaca dan mencerna informasi dengan lebih kritis. Jangan langsung terjebak hanya karena sebuah pernyataan diawali dengan "kata psikologi" atau istilah ilmiah lainnya. Sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi, penting untuk meluangkan waktu mengecek sumbernya. Jangan sampai kita ikut menyebarkan mitos yang hanya berlandaskan pada asumsi atau opini semata.

Selain itu, kita perlu menghargai ilmu pengetahuan dengan memahami bahwa setiap disiplin, termasuk psikologi, memiliki metodologi dan batasannya. Sebelum mengutip psikologi atau ilmu lainnya, pastikan bahwa informasi yang kita sampaikan memang berasal dari penelitian yang valid dan sumber terpercaya. Jika merasa ragu, jangan segan-segan untuk bertanya kepada orang yang lebih paham. Diskusi sehat dan berbasis pengetahuan adalah bagian penting dari proses belajar yang tidak boleh dihindari.

Terakhir, kita juga perlu mengurangi gengsi intelektual dalam diskusi. Tidak semua percakapan harus terdengar cerdas dengan memasukkan istilah ilmiah. Kadang, berkomunikasi dengan cara yang jujur dan sederhana jauh lebih efektif daripada memaksakan istilah yang kita sendiri tidak sepenuhnya pahami. Jangan takut untuk bertanya atau mengakui ketidaktahuan—itulah cara kita tumbuh dan belajar.

Literasi dan Masa Depan Kita

Fenomena “kata psikologi” sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari rendahnya literasi di Indonesia. Masalah ini tidak hanya mencakup psikologi, tapi juga banyak bidang lain. Dengan memperbaiki cara kita memahami dan menyampaikan informasi, kita bisa membantu meningkatkan kualitas diskusi dan pendidikan di negeri ini. 

Jadi, lain kali kalau ketemu dengan tontonan konten orang yang bilang, “Kata psikologi...,” jangan ragu untuk bertanya, “Psikologi siapa, nih? Referensinya mana?” Karena sejatinya, kebiasaan membaca dan memahami secara kritis adalah langkah pertama menuju masyarakat yang lebih cerdas dan berdaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun