Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Penulis - Host Foodie

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Indonesia Krisis, Malah Sok Jadi Ahli Psikologi?

29 November 2024   08:00 Diperbarui: 28 November 2024   22:44 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Minim Literasi, Maksimal Sok Tahu
Di negeri dengan tingkat literasi yang masih memprihatinkan, membedakan fakta ilmiah dari opini receh kadang seperti misi mustahil. Jadi, ketika seseorang bilang, "Kata psikologi...", langsung saja dianggap sah informasinya tanpa cek ulang. Istilah ilmiah pun jadi alat ajaib untuk bikin opini terlihat pintar, meski buktinya nihil.

2. Media Sosial: Ladang Clickbait dan Setengah Fakta
Scrolling media sosial sering kali mirip membaca ramalan: singkat, meyakinkan, tapi dangkal. Di sini, "kata psikologi" jadi semacam bumbu viral, dipakai untuk mencuri perhatian tanpa peduli validitas. Siapa peduli sumbernya benar atau tidak, yang penting likes dan shares jalan terus.

3. Ilmu Psikologi Dipandang "Terlalu Mudah"
Psikologi sering disalahpahami sebagai "ilmu simpel" yang bisa menjelaskan semua hal, dari cara move on sampai kenapa realita tidak seindah dengan harapan. Bagaikan ramalan zodiak saja, bukan? Padahal, ilmu ini kompleks dan jauh dari sekadar teori instan. Tapi karena kurang pemahaman, ilmu psikologi malah dianggap seperti kamus tips hidup serba bisa. Ironis, bukan?

Apa Salahnya Menggunakan "Secara Psikologi"?

Menggunakan istilah psikologi sebenarnya tidak masalah, asalkan sesuai konteks dan didukung sumber yang valid. Namun, masalah muncul ketika istilah ini: 

  • Digunakan tanpa referensi. Misalnya, “Secara psikologi, orang yang suka kopi itu lebih dewasa ketimbang yang minum susu.” Dari mana fakta ini berasal? Hanya karena terdengar keren, bukan berarti benar. 
  • Dijadikan alat pembenaran. Ungkapan seperti “Kata psikologi, ngambek itu wajar” sering digunakan untuk membenarkan perilaku tertentu tanpa memahami konteks ilmiahnya. 
  • Dipakai secara berlebihan, padahal cuma dipakai untuk pedang hiburan semata. Yap, psikologi bukan solusi untuk semua masalah. Tidak semua fenomena bisa dijelaskan hanya dengan "kata psikologi."

Dampak dari Fenomena Menjamurnya "Kata Psikologi"

Penggunaan istilah psikologi yang asal-asalan bukan hanya merusak pemahaman, tetapi juga bisa menciptakan mitos baru yang sulit untuk dibongkar. Misalnya, kalimat “kata psikologi, anak bungsu itu manja” yang sering beredar di kalangan masyarakat. Meskipun populer, pernyataan semacam ini tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas dan hanya memperkuat stereotip tanpa bukti ilmiah. Jika ini dibiarkan, kita akan semakin sulit membedakan mana informasi yang valid dan mana yang hanya berdasarkan anggapan atau mitos.

Selain itu, penyalahgunaan istilah psikologi juga menurunkan kredibilitasnya sebagai ilmu yang serius. Ketika orang sembarangan mengutip “psikologi” untuk memperkuat argumen, psikologi mulai dipandang sebagai ilmu opini semata, bukan disiplin yang memerlukan penelitian dan pendekatan ilmiah. Akibatnya, kepercayaan terhadap psikologi sebagai ilmu yang kompleks dan berbasis bukti bisa terkikis. Fenomena ini juga menghambat literasi kritis, di mana orang lebih memilih menerima informasi mentah-mentah daripada mengecek kebenarannya. Inilah yang akhirnya memperparah rendahnya kemampuan berpikir kritis dan analitis di kalangan masyarakat.

Lalu, Apa Solusinya?

Solusi utama untuk mengatasi fenomena penyalahgunaan istilah ilmiah adalah dengan meningkatkan literasi informasi. Kita harus belajar untuk membaca dan mencerna informasi dengan lebih kritis. Jangan langsung terjebak hanya karena sebuah pernyataan diawali dengan "kata psikologi" atau istilah ilmiah lainnya. Sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi, penting untuk meluangkan waktu mengecek sumbernya. Jangan sampai kita ikut menyebarkan mitos yang hanya berlandaskan pada asumsi atau opini semata.

Selain itu, kita perlu menghargai ilmu pengetahuan dengan memahami bahwa setiap disiplin, termasuk psikologi, memiliki metodologi dan batasannya. Sebelum mengutip psikologi atau ilmu lainnya, pastikan bahwa informasi yang kita sampaikan memang berasal dari penelitian yang valid dan sumber terpercaya. Jika merasa ragu, jangan segan-segan untuk bertanya kepada orang yang lebih paham. Diskusi sehat dan berbasis pengetahuan adalah bagian penting dari proses belajar yang tidak boleh dihindari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun