kau harus mau saat kuajak ke pasar malam, menikmati bentang malam dari atas bianglala, dan kita adalah penguasa, di sana.
[nada getar]
Diaz mengangkat sebelah alisnya, melirik pada ponselnya, tertera nama Lala. Dibiarkannya. Terburu segera beberes buku dan laptop, dan meninggalkan perpustakaan yang telah mengurungnya selama dua jam. Tak terasa.
“Ya, La...?”
“Diaz, ada pasar malam dekat rumah, ajak aku ya... aku tunggu di rumah, seperti biasa,” suara lala merajuk, suara yang menggemaskan bagi Diaz, dan selalu rindu.
“Ini kan hari Jumat, tumben? Biasanya aku tak boleh ke rumah hari Jumat hingga Sabtu, tak apakah?” sedikit dengan suara heran.
“Tak apa, ayolah, seperti katamu, kau harus mau saat kuajak ke pasar malam, menikmati bentang malam dari atas bianglala, dan kita adalah penguasa, di sana.”
“Iya, aku datang Lala, sayang,” Diaz menutup pembicaraan.
jika aku mengajakmu, kita bisa menikmati malam sampai habis waktu, di atas sebuah permainan, aku mencium keningmu.
Lala, perempuan yang bagi Diaz adalah seolah terakhir melabuhkan detak debar dadanya. Pertemuan yang biasa, perkenalan yang samar. Hanyalah berteman pada mula, sejak semester satu, dan kini menjadi kekasihnya hampir tiga semester ini.
Cinta itu sederhana, baginya dia tak masalah ketika Lala menginginkan tanpa pertemuan di hari Jumat dan Sabtu, tanpa tanya mengiyakan saja. Sederhana saja.
Tetapi kali ini Diaz masih terkejut dengan permintaan Lala yang diluar kebiasaan, sudah dua kali Jumat, dua kali Sabtu meminta pertemuan, serta kali ini ingin ke pasar malam.
“Kali ini aku mau naik yang warna ungu ya Diaz,” pinta Lala di antara gumam penuh permen kapas merah muda.
Diaz mengangguk, dia pun tersenyum, mereka menyukai wahana bianglala di setiap pasar malam. Semua warna mereka pernah menaiki. Saat puncak tertinggi, mereka saling berpeluk, Diaz mencium kening Lala, lembut.
aku menarik tubuhmu ke dadaku, supaya kau lebih dekat dengan hidupku.
Seminggu berlalu. Diaz belum berkabar pada Lala, tugas kampus begitu berat menuntut penyelesaian segera. Pun belumlah sempat waktu mengunjungi Lala, kekasihnya. Rindu menggelitik dadanya.
[nada dering]
Lala.
Segera Diaz mengangkat teleponnya.
“Nak Diaz? Ini mama Lala, Nak. Bisakah kau kemari, Mama tunggu ya, Nak.”
“Baik Ma, eh Tante, eh Mama...,” terbata Diaz dalam kejut. Rasa ngilu menyelinap. Semoga kabar baik.
***
Sewaktu masih SMA, Lala pernah kecelakaan, pagi itu dia naik motor, terburu dan hujan lebat, mengejar waktu agar tak terlambat sekolah. Apa daya jalanan licin membuatnya terhempas di jalan raya. Satu ginjal harus direlakan.
Lala anak yang kuat, dengan satu ginjal dia menyelesaikan SMA dengan baik dan berprestasi layaknya anak yang sehat. Tetapi sayang, ketika memasuki bangku kuliah, ginjal sebelah pun tak kuat menahan aktifitas Lala. Hingga akhirnya Lala harus menjalani cuci darah.
Awalnya dia harus menjalani rutin cuci darah seminggu dua kali. Lala anak yang kuat, anak perempuanku yang tabah. Meski menghabiskan semua energinya, Lala sabar menjalani. Hingga para dokter memutuskan Lala cukup cuci darah seminggu sekali.
Setiap Jumat. Itulah mengapa Lala tak mau kamu datang menemuinya, dia juga yang meninta untuk merahasiakan ini kepadamu. Setiap Sabtu, adalah pemulihan baginya setelah perawatan cuci darah.
Sejak kalian bersama, Lala lebih ceria, tawanya selalu lepas. Tapi akhir-akhir ini Lala menolak cuci darah, sudah dua Jumat dia tak menjalani, bahkan dia lebih memilih pergi denganmu. Jika ditanya, dia hanya menjawab, “ Lala ingin bahagia, Ma. Lala ingin bebas, terbang ke puncak tertinggi, paling bahagia.”
***
Terpekur. Menghela nafas. Diaz memandang Lala yang berbaring tak sadar dari luar bilik UPI.
“Nak, Lala lebih tahu kekuatan tubuhnya. Masuklah, temani. Kalian pasti lebih tabah,” Mama menepuk bahu Diaz.
Aku bernafas. Aku hidup. Aku mencintaimu
Pada tanah merah Diaz masih bertelut lutut, salib kayu bertuliskan nama Lala. Berulang kali Diaz mengerjap, tetapi nyeri di dada makin sakit, air mata itu terus mendesak genangan sebelumnya. Lala pergi selamanya. Lala telah memeluk bahagianya di puncak lebih tinggi dari puncak bianglala mereka.
“Aku bernafas. Aku hidup. Aku mencintaimu,” lirih ucapan Diaz.
Sebuah surat telah ditinggalkan baginya dari Lala.
Dear Diaz,
Maaf aku pergi lebih dulu menemui bahagia, terima kasih telah mengantarku, menemani selama sisa hidupku.
Jangan berjanji apa pun padaku, beri saja aku sepasang sayap doa, dan kita bebas.
Selamat tinggal Diaz,
lala
--
*semua sajak diambil dari karya @dzdiazz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H