Sewaktu masih SMA, Lala pernah kecelakaan, pagi itu dia naik motor, terburu dan hujan lebat, mengejar waktu agar tak terlambat sekolah. Apa daya jalanan licin membuatnya terhempas di jalan raya. Satu ginjal harus direlakan.
Lala anak yang kuat, dengan satu ginjal dia menyelesaikan SMA dengan baik dan berprestasi layaknya anak yang sehat. Tetapi sayang, ketika memasuki bangku kuliah, ginjal sebelah pun tak kuat menahan aktifitas Lala. Hingga akhirnya Lala harus menjalani cuci darah.
Awalnya dia harus menjalani rutin cuci darah seminggu dua kali. Lala anak yang kuat, anak perempuanku yang tabah. Meski menghabiskan semua energinya, Lala sabar menjalani. Hingga para dokter memutuskan Lala cukup cuci darah seminggu sekali.
Setiap Jumat. Itulah mengapa Lala tak mau kamu datang menemuinya, dia juga yang meninta untuk merahasiakan ini kepadamu. Setiap Sabtu, adalah pemulihan baginya setelah perawatan cuci darah.
Sejak kalian bersama, Lala lebih ceria, tawanya selalu lepas. Tapi akhir-akhir ini Lala menolak cuci darah, sudah dua Jumat dia tak menjalani, bahkan dia lebih memilih pergi denganmu. Jika ditanya, dia hanya menjawab, “ Lala ingin bahagia, Ma. Lala ingin bebas, terbang ke puncak tertinggi, paling bahagia.”
***
Terpekur. Menghela nafas. Diaz memandang Lala yang berbaring tak sadar dari luar bilik UPI.
“Nak, Lala lebih tahu kekuatan tubuhnya. Masuklah, temani. Kalian pasti lebih tabah,” Mama menepuk bahu Diaz.
Aku bernafas. Aku hidup. Aku mencintaimu
Pada tanah merah Diaz masih bertelut lutut, salib kayu bertuliskan nama Lala. Berulang kali Diaz mengerjap, tetapi nyeri di dada makin sakit, air mata itu terus mendesak genangan sebelumnya. Lala pergi selamanya. Lala telah memeluk bahagianya di puncak lebih tinggi dari puncak bianglala mereka.
“Aku bernafas. Aku hidup. Aku mencintaimu,” lirih ucapan Diaz.