kau harus mau saat kuajak ke pasar malam, menikmati bentang malam dari atas bianglala, dan kita adalah penguasa, di sana.
[nada getar]
Diaz mengangkat sebelah alisnya, melirik pada ponselnya, tertera nama Lala. Dibiarkannya. Terburu segera beberes buku dan laptop, dan meninggalkan perpustakaan yang telah mengurungnya selama dua jam. Tak terasa.
“Ya, La...?”
“Diaz, ada pasar malam dekat rumah, ajak aku ya... aku tunggu di rumah, seperti biasa,” suara lala merajuk, suara yang menggemaskan bagi Diaz, dan selalu rindu.
“Ini kan hari Jumat, tumben? Biasanya aku tak boleh ke rumah hari Jumat hingga Sabtu, tak apakah?” sedikit dengan suara heran.
“Tak apa, ayolah, seperti katamu, kau harus mau saat kuajak ke pasar malam, menikmati bentang malam dari atas bianglala, dan kita adalah penguasa, di sana.”
“Iya, aku datang Lala, sayang,” Diaz menutup pembicaraan.
jika aku mengajakmu, kita bisa menikmati malam sampai habis waktu, di atas sebuah permainan, aku mencium keningmu.
Lala, perempuan yang bagi Diaz adalah seolah terakhir melabuhkan detak debar dadanya. Pertemuan yang biasa, perkenalan yang samar. Hanyalah berteman pada mula, sejak semester satu, dan kini menjadi kekasihnya hampir tiga semester ini.
Cinta itu sederhana, baginya dia tak masalah ketika Lala menginginkan tanpa pertemuan di hari Jumat dan Sabtu, tanpa tanya mengiyakan saja. Sederhana saja.