Ku lihat satu folder dengan nama Porno Reviste yang dia buka. Aku heran. Tapi sejurus kemudian lagu rock punk keluar memecah ruangan sunyi. Ku kecilkan volume yang terletak di speakernya. Dia menatapku.
“Ya elah lu masih kaku aja.. Di sini ga ada orang. Juga ga mungkin kedengeran sampai sana”. Dia mengembalikan volumenya. Aku hanya bisa mengangkat pundak dengan alis menyerah.
Ruangan ini terletak di ujung yang harus melewati lorong kurang lebih sepuluh meter. Terkadang aku masih merasa heran mengapa dia lebih sering menghabiskan waktunya di sini sendirian, padahal dia juga memiliki meja kerja di ruangan utama. Bahkan bisa dibilang dia ke ruangan depan hanya untuk mengikuti rapat dwi mingguan.
Ku dengarkan musik punk yang dia putarkan. Lagunya cukup keren. Musiknya memiliki power tapi masih dengan nada yang bisa diikuti, juga vokalnya yang menekan. Benar-benar warna berbeda dibanding dengan warna musik yang lagi mainstream.
“Itali, ini band Itali” Dia menjawab pertanyaan di benakku.
“Gimana? Keren kan?” Dia menskip lagu yang sedang berputar ke lagu kedua
Aku mengangguk. Talingaku masih fokus mendengarkan dentuman bas dan distorsi gitar di lagu yang baru terputar. Dalam benakku anak ini benar-benar seorang Punk. Dia berpenampilan biasa karena dia bilang tidak suka atribut, atau hanya memakainya di acara-acara khusus. Dia juga bilang kalau dia tidak seorang Poser, satu term yang masih belum kumengerti.
“Kapan tampil lagi?” Kutanyakan apakah ada festival di hari-hari ini. Karena sudah lama aku tak melihat penampilan bandnya
Dia menggeleng.
“Kenapa?”
“Bulan depan ada festival. Tapi drummer gue pergi. Sekarang masih nyari.” Dia mengeluarkan snack yang ada di lacinya.
Ku lihat jam di hp. Kusadari aku harus segera kembali.