Mohon tunggu...
Fahmi Ulum
Fahmi Ulum Mohon Tunggu... Peternak -

Peternak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Khawatir

1 Februari 2014   12:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Daniar berjalan menyusuri jalanan kecil perumahan padat tempat dia dan keluarganya pindah. Dia sebenarnya enggan meninggalkan rumahnya yang lama. Yang masih di penuhi hijau mebelukar di pekarangan. Jalanan yang banyak sepinya dari pada ocehan tentangga yang baru dijumpainya. Dan tentu saja teman-temannya yang sudah sangat membekas di hatinya.

Tak jarang ibu-ibu rumahan yang duduk di teras memandanginya dengan tatapan aneh. Sesekali dia menoleh kebelakang untung mengingat jalan pulang. Di ujung suatu jalan, dia menghadap pertigaan dengan sepetak tanah yang agak lapang di depannya. Di sana terdapat bebarapa bangku kosong berjajar. Dia berpikir mungkin inilah tempat tonkrongannya kelak bersama teman-teman barunya. Diseberanginya jalan itu dan dia duduk sejenak di salah satu bangku.

Dia melihat jam di tangannya, ternyata dia telah satu jam berputar-putar. Tak seorangpun anak seumurannya dia jumpai, ah.. mungkin mereka lagi sekolah. Tapi tidak lama kemudian, ada tiga anak lewat dengan tas dijinjing dengan seragam dikeluarkan. Tawa menggema di antara mereka dengan bahasa yang masih agak asing di telingannya.

Mereka berbelok ke jalan yang baru saja dia lewati disusul suara lengkingan pagar dibuka. Meraka masuk ke dalam rumah sebelah kanan jalan.

Setelah beberapa menit termenung mengamati lingkungan barunya, dia merasa harus segera kembali ke rumah, takut orang tuanya cemas. Dengan hati-hati dia mengingat jalannya kecil menuju rumahnya. Ada beberapa ibu-ibu rumahan yang dia jumpai pertama tadi tampak masih belum beranjak. Begitupun tatapan aneh mereka.

"Dan, dari mana saja ?" Ibunya menyapanya sambil menggotong beberapa kerdus ke dalam rumah.

"Jalan-jalan bu.. Mana yang bisa kubantu?"

"Itu, ambilkan beberapa kerdus yang masih tertumpuk di teras" Jawab ibunya setelah menaruh beberapa kerdus berisi pakaian.

Setelah barang-barang di teras kosong. Keduanya duduk di kursi yang masih belum tertata.

"Bagaimana, kamu suka tempat ini?" Tanya ibunya.

"Belum.." Jawabnya menggantung.

"Belum bagaimana ?"

"Ya masih belum suka" dia jawab dengan agak ragu. "Untuk saat ini" dia menambahkan supaya ibunya tidak kecewa.

"Baguslah kalo begitu, berarti entar ujung-ujungnya suka kan ?" tanya ibunya mencandai

"Ya.. belum tentu" Jawabnya masih dengan ragu.

"Okelah.. nikmati saja dulu yang ada saat ini..! siapa tahu nanti ayahmu ingin pindah lagi" Jawab ibunya memancing.

"Ya.. siapa tahu?" Jawabnya ringan tidak terpancing

Ibunya menyadari kalau memang dibutuhkan waktu untuk adaptasi. Melihat dari caranya berbicara, dia tahu anaknya mengalami tekanan batin saat ini karena baru pertama kali meninggalkan kampung halamannya. Dia hanya berharapa suaminya juga ikut memahami keadaan ini.

"Besok sekolah ya..?" Tanya ibunya setelah beberapa saat diam.

"Hah..?" Daniar kaget mendengarkan perkataan ibunya.

"Iya.. kamu besok sekolah, hari ini setelah kerja ayahmu langsung mengurus kepindahan sekolahmu. Dan besok kamu bisa langsung masuk."

Inilah hal yang dicemaskannya. Dia harus mencari teman-teman baru sedangkan mencari satu teman saja tidak mudah. Dia khawatir jika nanti  kesulitan menyesuaikan diri dan sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Keesokan harinya, dia sudah siap dengan seragam lamanya meski ragu dengan kesan yang akan dia terima dari teman-teman barunya.

"Sudah.. tanang saja! dimana saja, seragam hari selasa untuk anak SMP itu atas putih, bawah biru tua" Ayahnya sekali lagi menegaskan kepadanya untuk tidak perlu khawatir. "Daniar, ayo cepat ayah..!" Lanjut ayahnya dengan nada agak tinggi dari luar rumah.

"Perhatikan jalannya, untuk hari-hari pertama ini masih ayah antarkan, tapi untuk selanjutnya kita lihat kondisi". Kata ayahnya di perjalanan. Setelah sampai, dia mengantarkan Daniar bertemu dengan wali kelas barunya. Setelah berbincang beberapa saat, ayahnya pergi meninggalkannya.

Pas dengan kepergian ayahnya, bell masuk kelas sudah berbunyi. Dia diajak Pak guru walikelasnya yang baru menuju ke kelasnya. Tak jarang dia merasa aneh dengan tatapan anak-anak yang menerobos lewat jendela kaca. Ketika berhenti di suatu ruangan, jantungnya semakin berdebar. Hatinya saat itu benar-benar kacau. Kegugupan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Saat pertama kali melangkahkan kaki, tatapan mata-mata asing dia rasakan semakin menusuk. Dia tidak berani mengangkat wajahnya. Pak guru yang memberikan beberapa kata pendahuluan menyadari akan hal ini. Tetapi dia masih ingin menguji Daniar dengan perkenalan resmi seperti biasa ketika ada siswa baru.

Daniar berdiri menganalkan diri dengan terbata-bata diikuti keheningan kelas. Dia menjawab beberapa pertanyaan dari yang diajukan penghuni kelas sekedarnya dengan tidak bersemangat. Dia menarik napas lega ketika dijinkan duduk.

"Anak-anak.. kita semua berada pada suatu proses. Proses yang dinamakan belajar. Belajar pelajaran sekolah, belajar menghafal, belajar menghitung, belajar bahasa inggris dan lain lain. Pak guru sendiri di sini juga sedang belajar, belajar untuk mengajar dengan baik".

Meski beberapa masih tidak mengerti arah pembicaraan, suasana kelas tenang mendengar kata-kata wali kelas yang sebentar lagi akan mereka tinggalkan melanjutkan jenjang pendidikan lanjutan.

"Kita ada teman baru, dia sekarang sedang belajar beradaptasi dengan kita. Begitupun kita, kita juga harus belajar menyambutnya dengan baik"

Mendengarkan kalimat terakhir itu, Daniar sedikit tenang.

Hari pertama yang dia lalui berjalan dengan baik. Meski masih merasa tidak nyaman, dia bersyukur tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Bagaimana sekolah..?' sapa ayahnya yang datang menjemputnya.

"Biasa saja" Jawab Daniar dengan nada datar.

"Jangan khawatir..! Semuanya akan baik-baik saja" Sambil mengelus-elus rambut anaknya. "Ayo pulang.." Lanjut ayahnya menawarkan helm.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun