"Dengan banyaknya media dan aplikasi online saat ini, peluang tersebut kami manfaatkan untuk membangun pasar."
Secangkir kopi arabica hangat dengan aroma khas Solok saya cicipi sambil mendengarnya bercerita.
Selanjutnya Teuku dan kawan-kawan mengajak kami untuk melihat lokasi penanaman kopi Solok Radjo. Berjalan melewati titian di sungai dan menaiki jalan setapak di perbukitan.
"Dulu rantai pemasaran kopi begitu panjang. Tengkulak menjadi aktor penting. Petani menjual kopi basah atau cherry hanya 1500/ kg. Makanya petani enggan menanam kopi dan lebih suka menanam sayur kol." Tuturnya sambil menunjuk hamparan tanaman musiman holtikultura atau sayur mayur.
"Sempat kami pun dicemooh karena mau menanam kopi. Lalu koperasi dibentuk. Sekarang petani menjual cherry 8000/kg. Bahkan permintaan ekspor untuk kopi arabika Solok belum bisa kami penuhi".
"Sekarang anggota koperasi lebih dari 300 orang. Telah dibentuk kelompok hutan kemasyarakatan. Melalui Izin Hutan Kemasyakatan yang diberikan oleh pemerintah. Kami mengajak serta petani untuk menanam kembali kawasan hutan yang gundul ini dengan pola agroforestry. Kopi ditanam Bersama dengan lamtoro dan eucalyptus pada kawasan hutan yang sudah menjadi belukar dan alang-alang" tuturnya lebih lanjut.
Dalam hati saya turut mendoakan semoga kawasan hutan produksi terbatas yang sebagian sudah gundul ini bisa menjadi rimbun kembali. Pendampingan dan pelatihan terhadap petani akan agroforestry dan pembangunan kebun bibit kehutanan tampaknya akan sangan membantu bagi petani di Nagari Aia Dingin.
Begitulah tampaknya kopi telah menjadi ruang diplomasi  antara masyarakat sekitar hutan dengan negara.
Kembali ke kota Padang, rasa penasaran saya akhirnya mengajak saya menyinggahi sebuah kafe bernama rimbun coffee. Untuk sekedar mencicipi kembali kopi Solok dan membeli beberapa bungkus biji kopi untuk oleh-oleh di Jakarta.