Jika dulu minuman kopi identik dengan maskulinitas. (Ini pendapat saya . Mungkin karena kopi yang saya kenal hanya sebatas kopi tubruk dan hanya abang-abang dan om-om yang menikmatinya. Termasuk saya). Lain dulu lain sekarang. Â
Kini menikmati kopi sudah menjadi gaya hidup kawula muda di tanah air.
Dan yang terpenting, Variasi minuman berkafein ini pun menjadi lebih responsif gender. Cewek atau cowok bebas memilih selera kopinya.
Sejak media sosial marak digunakan, tampaknya kopi selalu menjadi barang baru dan populer bagi siapa saja. Mungkin juga karena film "filosofi kopi", saat ini kopi memiliki nilai yang lebih dari sekedar minuman. Mirip seperti film "5 cm", yang membuat naik gunung juga semakin populer bagi semua kalangan.
Beda daerah, beda ketinggian, beda iklim, beda biofisik, beda varietas, beda teknik budidaya, maka rasanya pun menjadi berbeda.
Menurut saya sebagai penikmat kopi kelas teri, mungkin pembentukan aroma dan rasa pada kopi yang kita nikmati, separuh faktornya  ditentukan oleh single origin ini. Sisanya baru dipengaruhi melalui teknik roasting dan brewing.
Sebut saja seperti kopi Gayo, Sidikalang, Lintong, Mandheling, Bali Kintamani, Toraja, Kopi Jawa, Papua Wamena, Flores Bajawa dan lain-lain.
Beberapa single origin kopi nusantara mulai bersanding dengan kopi dari daratan Amerika dan Afrika pada etalase kafe-kafe ternama.
Saat kita bisa minum kopi bersama, saat itu kita bisa bekerjasama. Cakep.
Selalu ada cerita dibalik kopi yang siap kita nikmati.
Cerita ini pula yang membawa saya sampai ke sebuah nagari di ranah Minangkabau. Salah satu tempat dataran tinggi dimana kopi arabika yang nikmat berasal.
Berawal dari keikutsertaan saya pada acara Sosialisasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim yang diselenggarakan di Kota Padang pada bulan November 2018.Â
Saat acara tersebut, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, Bang Yozarwardi panggilan akrabnya, mengatakan bahwa  "Sumatera Barat berkomitmen untuk mengimplementasikan pendekatan pembangunan rendah emisi. Kebijakan tersebut dijalankan dengan mengedepankan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community Based Forest Management) atau hutan sosial sebagai salah satu basis implementasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Sumatera Barat."
Pada lokasi-lokasi hutan sosial yang dibangun, hutan akan dilestarikan dengan skema hutan nagari (hutan desa) ataupun hutan kemasyarakatan. Harapannya kedepan akan lahir usaha-usaha baru dari hutan sosial sehingga tidak ada lagi alih fungsi lahan, bahkan menjadi lokasi usaha-usaha produktif yang memiliki stok karbon yang tinggi dengan mengembangkan agroforestry.
Menarik bukan ? Bagaimana kita menumbuhkan kembali hutan, mengurangi emisi karbon, sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat.
Nagari adalah sebutan untuk wilayah administrasi di bawah kecamatan pada Kabupaten di Sumatera Barat. Istilah nagari menggantikan istilah desa, yang digunakan di provinsi lain di Indonesia.
Hanya 2 jam dari kota Padang melewati wilayah perbukitan Taman Hutan Raya Bung Hatta. Saya mengunjungi Lokasi pertama yaitu Nagari Sirukam, Kabupaten Solok.
Hamparan sawah yang siap dibajak dan deretan rumah dengan atap bergonjong menjadi panorama awal saat memasuki wilayah kecamatan Payung Sekaki. Selanjutnya jalan berbatu akan kerap dijumpai saat menuju lokasi hutan nagari.
Sampai di hutan nagari Sirukam, kami bertemu dengan masyarakat desa yang bahu membahu menanam serei, kayu manis, kopi, pohon petai, pinus dan mahoni pada bagian kawasan hutan negara yang terdegradasi.
Melalui hutan nagari, masyarakat desa di Sumatera Barat diajak menjadi pemeran utama dalam mengelola hutan negara. Siapa sangka Nagari Sirukam di Sumatera Barat ini merupakan bagian hulu dari DAS Indragiri Rokan yang mengalir ke arah Provinsi Riau.
Melihat mayoritas ibu-ibu di nagari Sirukam menjadi aktor dalam kegiatan menanam kembali hutan di tingkat tapak, tentunya bisa menjadi cerita yang menarik tentang bagaimana perempuan dalam budaya matrilineal seperti di Minangkabau ini, berperan dalam menghijaukan bumi sekaligus memperkuat ekonomi keluarga.
Berat. Kau tidak akan sanggup. Biar saya saja.
Terdapat dome (rumah pengering kopi) yang terbuat dari terpal plastik bening tempat biji kopi yang telah dikupas dijemur dan diangin-angin serta dan pulper house.
Kami bertemu dengan salah seorang pengurus koperasi, Teuku Firmansyah. Menurutnya produksi Kopi Solok masih bisa dibilang sedikit, yakni hanya 6 ton per tahunnya. Sementara kebutuhan pasar sangat besar. Rasa kopi Solok yakni arabika sangat diminati oleh pencinta kopi. Solok Radjo juga sudah memiliki beberapa pelanggan di luar negeri, seperti Australia, Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat.
"Dengan banyaknya media dan aplikasi online saat ini, peluang tersebut kami manfaatkan untuk membangun pasar."
Secangkir kopi arabica hangat dengan aroma khas Solok saya cicipi sambil mendengarnya bercerita.
Selanjutnya Teuku dan kawan-kawan mengajak kami untuk melihat lokasi penanaman kopi Solok Radjo. Berjalan melewati titian di sungai dan menaiki jalan setapak di perbukitan.
"Dulu rantai pemasaran kopi begitu panjang. Tengkulak menjadi aktor penting. Petani menjual kopi basah atau cherry hanya 1500/ kg. Makanya petani enggan menanam kopi dan lebih suka menanam sayur kol." Tuturnya sambil menunjuk hamparan tanaman musiman holtikultura atau sayur mayur.
"Sempat kami pun dicemooh karena mau menanam kopi. Lalu koperasi dibentuk. Sekarang petani menjual cherry 8000/kg. Bahkan permintaan ekspor untuk kopi arabika Solok belum bisa kami penuhi".
"Sekarang anggota koperasi lebih dari 300 orang. Telah dibentuk kelompok hutan kemasyarakatan. Melalui Izin Hutan Kemasyakatan yang diberikan oleh pemerintah. Kami mengajak serta petani untuk menanam kembali kawasan hutan yang gundul ini dengan pola agroforestry. Kopi ditanam Bersama dengan lamtoro dan eucalyptus pada kawasan hutan yang sudah menjadi belukar dan alang-alang" tuturnya lebih lanjut.
Dalam hati saya turut mendoakan semoga kawasan hutan produksi terbatas yang sebagian sudah gundul ini bisa menjadi rimbun kembali. Pendampingan dan pelatihan terhadap petani akan agroforestry dan pembangunan kebun bibit kehutanan tampaknya akan sangan membantu bagi petani di Nagari Aia Dingin.
Begitulah tampaknya kopi telah menjadi ruang diplomasi  antara masyarakat sekitar hutan dengan negara.
Kembali ke kota Padang, rasa penasaran saya akhirnya mengajak saya menyinggahi sebuah kafe bernama rimbun coffee. Untuk sekedar mencicipi kembali kopi Solok dan membeli beberapa bungkus biji kopi untuk oleh-oleh di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H