Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghapus Tradisi Membunuh Anak Pembawa Sial

28 Juni 2023   23:36 Diperbarui: 29 Juni 2023   01:39 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pdt. J.K Wijngaarden dan Dina Guittar, Buluh Awar, circa 1892 (Sumber foto: https://karosiadi.blogspot.com)

Kataken man Yesus, di melungun kam,
TehNa kap suindu, ib'reNa senang,
To dahiken Ia, di mesera kam,
Nggit Ia nampati, maka kam senang.

Di dat kam pengapul, arah Yesus e,
Mulihlah ermengkah, puji Ia pe,
Dahi pe temanndu, si melungun ka,
Nindu: "Si jera nge, ialokenNa."

Dua bait syair di atas adalah lirik lagu ciptaan Pdt. J. K. Wijngaarden yang termuat dalam rubrikasi buku nyanyian jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) atau "Kitab Ende-Enden GBKP" nomor 69. Lagu ini dinyanyikan oleh Dina Guittar pada acara perpisahan dengan jemaat di ladang misi Nederlandch Zendeling Genootschap (NZG) desa Buluh Awar pada 31 Juli 1895 diiringi rasa haru jemaat.

Bila diterjemahkan, makna syair lagu itu kurang lebih sebagai berikut:

Sampaikan kepada Yesus, bila engkau merasakan kesepian,
Ia tahu rasa sakitmu, dib'rikan-Nya suka cita,
Datanglah kepada-Nya, bila engkau merasakan susah,
Ia akan menolong, hingga engkau merasakan suka cita.

Bila engkau mendapatkan penghiburan dari Yesus,
Pulanglah dengan syukur, pujilah Ia,
Datanglah kepada saudaramu, yang juga merasakan kesepian,
Katakan kepadanya: "Ia menerima mereka yang menyesali dosa." 

Menggali lebih jauh siapa dan bagaimana sosok Dina Guittar, kita akan dipertemukan dengan kisah penginjilan mula-mula bagi masyarakat suku Karo di pedalaman Buluh Awar. Pada masa itu hidup sebuah tradisi di tengah masyarakat Karo dalam balutan kepercayaan yang diwariskan dari nenek moyang.

Tentang "Tunda Kais" pada Suku Karo Tempo Dulu

Pada masa sebelum pelayanan Injil masuk ke Tanah Karo ada sebuah tradisi yang dijalankan masyarakat Karo termasuk di Buluh Awar, bernama "tendi nunda." Itu adalah kepercayaan lama yang meyakini bahwa kematian seorang ibu pada saat melahirkan disebabkan oleh bayi pembawa sial atau malapetaka. Bayi yang seperti itu disebut "tunda kais."

Ada kekhawatiran bahwa akan datang kematian atau bencana baru yang menyusul jika bayi "tunda kais" tetap hidup, maka biasanya dilakukan pemufakatan gelap di antara keluarga yang berduka cita untuk membunuh bayi pembawa sial yang baru lahir itu. Pembunuhan bayi "tunda kais" tidak dipandang sebagai sesuatu yang salah dalam kepercayaan "tendi nunda" pada masa itu.

Upaya untuk melenyapkan bayi "tunda kais" itu dilakukan secara diam-diam dengan berbagai cara sesuai dengan situasi dan kondisi. Ada dengan cara menghanyutkan bayi ke sungai, dibuang ke hutan agar dimangsa binatang buas, atau menindih bayi dengan mayat ibunya sehingga si bayi mati lemas, dibuat seolah-olah bayi itu ingin menyusu terakhir kali kepada ibunya yang baru meninggal.

Kekhawatiran dan kecemasan akan kemungkinan datangnya kematian atau bencana baru mengalahkan perasaan bersalah dan belas kasihan hingga tega melakukan pembunuhan. Ada keyakinan yang hidup pada masa itu, jika bayi "tunda kais" tidak dibunuh, maka tidak lama lagi ayah si bayi pun akan mati.   

Kepercayaan "tunda kais" ini hidup juga dalam tradisi lisan cerita rakyat Karo. Sebagaimana adanya pada cerita rakyat Karo "Pawang Ternalem."

Pawang Ternalem adalah gambaran anak manusia yang "terbuang" sejak lahirnya. Ibunya meninggal saat ia berusia 3 hari. Selanjutnya, ayahnya pun meninggal saat ia berusia 8 hari.

Pawang Ternalem yang masih bayi dibuang oleh orang-orang kampung ke pintu gerbang desa agar diinjak-injak kerbau, tetapi kerbau enggan menginjaknya. Pawang Ternalem lalu dibuang ke kolong rumah agar dimakan babi, tapi babi justru menyusuinya.

Kemudian, ia dibuang ke hutan belantara agar dimangsa binatang buas, tapi Tuhan Pencipta Semesta Alam justru memelihara kehidupan Pawang Ternalem.

Baca juga: Mencegah Legenda Menjadi Solastalgia, Belajar dari "Pawang Ternalem" di Jalan Lintas Karo-Langkat

Kisah Kasih Sepasang Misionaris yang Menyelamatkan Hidup Sangap Tarigan di Buluh Awar

Dina Guittar menikah dengan Pdt. J.K. Wijngaarden pada 10 November 1892. Mereka diberkati di sebuah gereja di Mojowarno, Jawa Timur, oleh Pdt. A. Kruyt, ayah dari Pdt. H.C. Kruyt (misionaris pertama yang datang ke Buluh awar).

Pada tahun 1892 itu juga, Pdt. J.K. Wijngaarden diutus oleh NZG ke Buluh Awar untuk melanjutkan misi penginjilan bagi orang-orang Karo. Ia menggantikan Pdt. H.C. Kruyt.

Dalam pelayanan pendeta dan nora (sebutan untuk istri pendeta GBKP) di Buluh Awar, mereka berhasil melakukan pembaptisan pertama bagi enam orang Karo pada 20 Agustus 1893. Empat orang di antara mereka yang dibaptis merupakan satu keluarga, yakni Sampe Bukit (suami), Ngurupi (istri), Pengarapen Bukit dan Nuan Bukit (anak), serta dua orang bersaudara lainnya yakni Tala dan Tabar Barus.

Selanjutnya, pada 4 Agustus 1894 dilaksanakan pembaptisan yang kedua kepada empat orang Karo, yakni Negel, Neisei, Lampo, dan Sangap Tarigan Silangit (yang disebut terakhir ini dibaptis saat masih bayi). Sangap lahir di Buluh Awar pada 29 Mei 1894, dari situlah kisah pelayanan kasih kepada anak "tunda kais" di desa Buluh Awar ini bermula.


Mirip dengan kisah pada cerita rakyat Karo "Pawang Ternalem," pada masa pelayanannya di Buluh Awar, Pdt. J.K. Wijngaarden dan Dina W. Guittar istrinya dihadapkan dengan praktik kepercayaan "tunda kais." Praktik kepercayaan tempo dulu ini dalam pandangan hukum manusia modern tidak ada ubahnya dengan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap seorang bayi, di mana ibunya baru saja meninggal, sesaat setelah melahirkannya.

Suatu ketika seorang ibu meninggal di Buluh Awar. Lalu ada seorang perempuan tua mempersiapkan sebuah sumpit (kantung anyaman bengkuang untuk tempat beras atau nasi) di sekitar jenazah yang terbujur kaku itu.

Ia berbisik-bisik dengan perempuan lainnya yang ada di sekitar jenazah, lalu meletakkan sumpit itu di sisi kanan jenazah. Perempuan itu sedang menggendong bayi kecil yang menangis, sepertinya kehausan karena seharian tidak mendapatkan ASI dari ibunya yang baru saja meninggal dunia.

Pdt. Wijngaarden mendengar bisik-bisik perempuan yang duduk di sebelah kanan jenazah itu agar bayi kecil itu segera diberikan kesempatan menyusu ke ibunya. Padahal jenazah ibu bayi itu sudah tidak mungkin lagi menyusui bayi malang itu.

Para perempuan itu menggerakkan jenazah untuk menindih si bayi yang telah ditidurkan di sebelah kanan jenazah ibunya. Dengan begitu, bayi itu akhirnya akan mati lemas, setelah itu ia akan dimasukkan ke dalam sumpit yang sudah mereka sediakan.

Namun, sebelum semua skenario itu sempat terjadi, Pdt. Wijngaarden segera mencegahnya. Ia menghardik mereka untuk menghentikan ritual yang kejam itu.

"Jangan kalian lakukan pekerjaan kejam ini! Bayi malang ini menangis karena tidak bisa lagi menyusu kepada ibunya, mengapa kalian sakiti lagi anak ini? Mengapa? Mengapa kalian tidak merasa kasihan?" katanya dengan lantang.

Dina, istri pendeta Wijngaarden pun menangis. Ia menyeka air matanya dengan kain gendongan anaknya, Kornelius, yang juga masih balita.

"Kita kaum perempuan, mengapa tega menghakimi bayi yang tidak berdosa ini?" katanya terbata-bata.

"Anak ini pembawa sial, anak 'tunda kais.' Anak ini tidak kami terima dan harus lenyap dari keluarga kami!" Seorang dari perempuan yang ditegur oleh Pdt. Wijngaarden menjawab dengan kesal.  

Dina, ibu Kornelius, istri Pdt. Wijngaarden menangis sambil memohon untuk dapat mengadopsi anak itu. Karena Kornelis juga masih menyusu, Dina bersikeras bahwa ia bisa menjadi ibu asuh bayi malang itu.

Begitulah rencana Tuhan membuat hidup bayi "tunda kais" itu diselamatkan. Orang-orang desa itu akhirnya menyerah kepada keinginan keras Pdt. Wijngaarden dan istrinya untuk mengasuh bayi malang yang ditinggal mati ibunya itu.

Dari sanalah bayi malang itu diberi nama Sangap, artinya mujur, beruntung. Pdt. Wijngaarden membaptis Sangap Tarigan Silangit pada 4 Agustus 1894.

Panorama salah satu sudut Desa Buluh Awar, Kab. Deli Serdang, 12/02/2023 (Dok. Pribadi)
Panorama salah satu sudut Desa Buluh Awar, Kab. Deli Serdang, 12/02/2023 (Dok. Pribadi)

Merasakan betapa besarnya kasih sayang Pdt. Wijngaarden dan istrinya kepada masyarakat desa Buluh Awar dan desa-desa sekitarnya yang mereka layani melalui penginjilan semasa hidupnya, khususnya kasih sayangnya kepada anak-anak malang seperti si Sangap, pastilah mereka sangat berduka ketika Pdt. Wijngaarden meninggal dunia akibat penyakit disentri di tengah pekerjaan pelayanannya.

Begitupun ketika Dina Guittar, istri mendiang, pamit pulang ke Belanda bersama Kornelius, anaknya. Dina Guittar beserta Kornelius kembali pulang ke negeri Belanda menggunakan kapal dari pelabuhan Belawan, Medan pada 5 September 1895. Selanjutnya, NZG menugaskan Dina Guittar sebagai manajer asrama sekolah misi di Rotterdam, Belanda. Sementara itu, Kornelius yang telah berusia dua tahun diasuh oleh keluarga mendiang suaminya di sebuah kota kecil dekat Rotterdam.

Kiranya itulah latar lagu rohani berjudul "Kataken man Yesus" yang diciptakan Pdt. Wijngaarden yang dituliskan pada pembuka artikel ini. Sebuah ungkapan hati yang lahir dari pergumulan perasaan yang mendalam untuk warga jemaat yang dilayaninya, terutama juga untuk istri dan anak yang menemaninya dalam pelayanan di tengah belantara desa Buluh Awar.

Kisah hidup Sangap Tarigan Silangit, anak rohani Pdt. J.K. Wijngaarden dan Dina Guittar, mirip dengan Pawang Ternalem. Anak "tunda kais" yang dianggap pembawa sial karena ibunya mati saat melahirkannya diselamatkan dari sebuah tradisi yang menyayat nurani kemanusiaan.

Pelayanan penuh kasih ini terasa sebagai salah satu sumbangan besar pelayanan iman untuk peradaban masyarakat Karo yang patut untuk tidak pernah dilupakan. Pdt. J. K. Wijngaarden kini dimakamkan di Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Dina Guittar diketahui tidak pernah lagi menikah sepanjang hayatnya sepeninggal suaminya. Kasih sayangnya kiranya tidak akan pernah dilupakan.

Referensi:

Pt. Drs. Ngangkat Tarigan, Mengenang Alm. Dina W. Guittar (Nd. Kornelius) Sejarah Pengabdian Injil Pdt. J. K. Wijngaarden di Buluh Awar - Sibolangit, 2009. (Tidak dipublikasikan) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun