Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghapus Tradisi Membunuh Anak Pembawa Sial

28 Juni 2023   23:36 Diperbarui: 29 Juni 2023   01:39 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pdt. J.K Wijngaarden dan Dina Guittar, Buluh Awar, circa 1892 (Sumber foto: https://karosiadi.blogspot.com)

Selanjutnya, pada 4 Agustus 1894 dilaksanakan pembaptisan yang kedua kepada empat orang Karo, yakni Negel, Neisei, Lampo, dan Sangap Tarigan Silangit (yang disebut terakhir ini dibaptis saat masih bayi). Sangap lahir di Buluh Awar pada 29 Mei 1894, dari situlah kisah pelayanan kasih kepada anak "tunda kais" di desa Buluh Awar ini bermula.


Mirip dengan kisah pada cerita rakyat Karo "Pawang Ternalem," pada masa pelayanannya di Buluh Awar, Pdt. J.K. Wijngaarden dan Dina W. Guittar istrinya dihadapkan dengan praktik kepercayaan "tunda kais." Praktik kepercayaan tempo dulu ini dalam pandangan hukum manusia modern tidak ada ubahnya dengan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap seorang bayi, di mana ibunya baru saja meninggal, sesaat setelah melahirkannya.

Suatu ketika seorang ibu meninggal di Buluh Awar. Lalu ada seorang perempuan tua mempersiapkan sebuah sumpit (kantung anyaman bengkuang untuk tempat beras atau nasi) di sekitar jenazah yang terbujur kaku itu.

Ia berbisik-bisik dengan perempuan lainnya yang ada di sekitar jenazah, lalu meletakkan sumpit itu di sisi kanan jenazah. Perempuan itu sedang menggendong bayi kecil yang menangis, sepertinya kehausan karena seharian tidak mendapatkan ASI dari ibunya yang baru saja meninggal dunia.

Pdt. Wijngaarden mendengar bisik-bisik perempuan yang duduk di sebelah kanan jenazah itu agar bayi kecil itu segera diberikan kesempatan menyusu ke ibunya. Padahal jenazah ibu bayi itu sudah tidak mungkin lagi menyusui bayi malang itu.

Para perempuan itu menggerakkan jenazah untuk menindih si bayi yang telah ditidurkan di sebelah kanan jenazah ibunya. Dengan begitu, bayi itu akhirnya akan mati lemas, setelah itu ia akan dimasukkan ke dalam sumpit yang sudah mereka sediakan.

Namun, sebelum semua skenario itu sempat terjadi, Pdt. Wijngaarden segera mencegahnya. Ia menghardik mereka untuk menghentikan ritual yang kejam itu.

"Jangan kalian lakukan pekerjaan kejam ini! Bayi malang ini menangis karena tidak bisa lagi menyusu kepada ibunya, mengapa kalian sakiti lagi anak ini? Mengapa? Mengapa kalian tidak merasa kasihan?" katanya dengan lantang.

Dina, istri pendeta Wijngaarden pun menangis. Ia menyeka air matanya dengan kain gendongan anaknya, Kornelius, yang juga masih balita.

"Kita kaum perempuan, mengapa tega menghakimi bayi yang tidak berdosa ini?" katanya terbata-bata.

"Anak ini pembawa sial, anak 'tunda kais.' Anak ini tidak kami terima dan harus lenyap dari keluarga kami!" Seorang dari perempuan yang ditegur oleh Pdt. Wijngaarden menjawab dengan kesal.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun