Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melacak Jejak Sejarah yang Terselip di Pulau Tuangku

31 Mei 2022   13:07 Diperbarui: 1 Juni 2022   01:13 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di atas KMP Aceh Hebat 3 saat perjalanan pulang ke Kabanjahe dari Dermaga Pulau Banyak (Dok. Pribadi)

Rabu, 4 Mei 2022, sekitar pukul 14.30 WIB, kapal mulai berlayar meninggalkan dermaga Pulau Banyak menuju pelabuhan di Desa Pulo Saruk Aceh Singkil. Cuaca cukup cerah pada hari itu.

Ada perasaan kuat yang muncul di hati ketika memandang gugusan Pulau Banyak semakin tertinggal jauh di belakang dari buritan KMP Aceh Hebat 3, ditambah rasa penasaran kepada Pulau Tuangku yang tidak sempat kami kunjungi, dan damainya Gunung Tiusa yang seperti menatap kami pergi. Adakah sesuatu yang menarik, tapi terselip dan luput dari perhatian kami selama 5 hari 4 malam berwisata di Pulau Banyak yang eksotis ini?

Sekitar 2 jam sebelum kami masuk ke kapal, saya sempat berbincang sejenak dengan seorang lelaki paruh baya di sebuah warung kopi di Pulau Baguk tempat kami menginap. Ia adalah seorang guru yang mengajar di SMP Negeri Haloban, sekolah itu berlokasi di Pulau Tuangku.

Pulau terbesar di Kecamatan Pulau Banyak Barat itu merupakan lokasi ibu kota Pulau Banyak sebelum pindah ke Pulau Balai setelah pemekaran. Jauh ke belakang, ternyata ada sejarah menarik yang terselip di antara eksotisme Pulau Tuangku dan damainya Gunung Tiusa.

Baca juga: Menikmati Liburan Keluarga Berbaur dengan Warga Pulau Banyak (Bagian Kedua)

Hubungan Pulau Tuangku dengan Kerajaan Pagaruyung

Sejarah yang terselip itu memicu rasa penasaranku selama perjalanan pulang. Bagaimana pun, peristiwa sosial yang didukung fakta-fakta sejarah yang terselip dalam keseharian masyarakat adalah sesuatu yang patut dipelajari dan dilestarikan. Barangkali masa depan pariwisata pun akan terkait dengan sejarah kehidupan masa lalu yang terselip itu.

Selain bernyanyi dengan iringan gitar bersama teman-teman di dek paling atas KMP Aceh Hebat 3 itu, saya menghabiskan banyak waktu mengobrol dengan pemandu kami selama menikmati liburan panjang di Pulau Banyak.

Menurut Ervan, pemandu kami yang juga mengelola biro perjalanan wisata "Pulau Banyak Online Tour", Pulau Tuangku dulunya merupakan pusat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Bajaput. Nama kerajaan itu berasal dari kata dasar jemput, sebab rajanya pada masa awal berdirinya memang dijemput dari Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat.

Nama Pagaruyung segera menyeretku kepada rasa ingin tahu yang lebih dalam. Kerajaan besar di ranah Minang ini setidaknya mungkin akan membawa sebuah hubungan dengan sejarah Tanah Karo dan kerajaan Haru pada masa lampu, meskipun itu adalah sebuah hubungan yang jauh.

Masih menurut Ervan, pada masa dahulu ada banyak pendatang yang terdampar di pulau Tuangku yang berasal dari berbagai suku. Di antaranya adalah suku Melayu, Angkola, Aceh, Simeulue, dan Batak.

Mereka masing-masing membentuk daerah dan sistem kekuasaannya sendiri. Hingga pada suatu hari orang-orang itu melihat asap mengepul dari kejauhan di Pulau Asok. Dalam bahasa setempat, asok artinya asam.

Pulau Tuangku dan puncak Gunung Tiusa tampak di kejauhan dari Pulau Asok (Dok. Pribadi)
Pulau Tuangku dan puncak Gunung Tiusa tampak di kejauhan dari Pulau Asok (Dok. Pribadi)

Ketika tiba di sumber asap itu, mereka bertemu dengan sesosok pria berjubah putih. Dari petuah sang pria bijak itu, utusan para suku yang datang melihat asap ke Pulau Asok ini diarahkan menjemput rajanya ke Kerajaan Pagaruyung.

Oleh raja Pagaruyung dipercayakanlah kepada adiknya untuk menjadi raja atas kerajaan Bajaput itu. Pusat kekuasaan kerajaan itu berada di pulau Tuangku.

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber lainnya, dijelaskan bahwa orang pertama yang mendiami Pualu Tuangku (Haloban) bernama Tutuwoun. Dia mulanya terdampar di Teluk Nibung, kemudiaan berpindah ke Tulale atau Pulau Tuangku.

Dalam perjalanan selanjutnya, Tutuwoun merasa betah dan cocok untuk mencari sumber penghidupan di Haloban atau Pulau Tuangku. Dijemputnyalah keluarganya untuk pindah dari Teluk Nibung ke Haloban. Di Pulau Tuangku ini dia bercocok tanam dan inilah sebagai permulaan munculnya permukiman di Kepulauan Banyak.

Baca juga: Eksotisme Gampong dan Pantai Ujung di Teluk Nibung Aceh Singkil

Apa yang oleh Ervan disebut sebagai kerajaan Bajaput, yang diawali oleh penampakan asap putih di pulau Asok, berhubungan dengan kisah peristiwa peselisihan antara Lawowek dan Lasengak berselang beberapa tahun kemudian setelah mereka bermukim di Pulau Banyak.

Kedua orang ini mempermasalahkan siapa di antara mereka yang terlebih dahulu mendiami Haloban atau Pulau Tuangku. Peristiwa itu diketahi oleh Tutuwoun, dia lalu membawa kedua orang itu ke rumahnya di Tulale (Pulau Tuangku).

Tutuwoun menjamu mereka dengan suguhan ubi rebus. Dengan suguhan itu sadarlah kedua orang yang cekcok tentang siapa penghuni awal Pulau ini, karena ternyata Tutuwuonlah yang terlebih dahulu mediami Pulau Tuangku dengan bukti hasil tanaman ubi rebus yang dia suguhkan itu.

Kedua orang itu pun berdamai. Tutuwuon mengajak keduanya untuk menetap bersama-sama membangun perkampungan di Pulau Tuangku.

Selain Lawowek dan Lasengak, Tutuwuon juga mengajak Huta Barat agar pindah dari Air Dingin ke Pulau Tuangku. Kemudian diajaknya juga seorang bernama Malikul Beraya yang tinggal di Pulau Aisakhu Tua untuk pindah dan menetap di Pulau Tuangku.

Kelima orang yang bersama-sama membangun permukiman di Pulau Tuangku itu akhirnya bermusyawarah untuk menentukan siapa yang akan menjadi raja di Pulau Tuangku tersebut. Karena kata mufakat susah didapat, dari hasil musyawarah diputuskan untuk mengutus Malikul Baraya agar menjemput raja ke Pagaruyung, untuk menjadi pemimpin mereka di Pulau Tuangku.

Singkat cerita, setelah Malikul Baraya bertemu dengan Tuanku Sultan yang berdaulat di Pagaruyung, ia mengutus adiknya yang bungsu bernama Sultan Malingkar Alam untuk menjadi raja yang berdaulat di Pulau Tuangku. Sultan Malingkar Alam berkuasa didampingi oleh imam bernama Malikul Kudus, dan seorang panglima untuk memerintah atas rakyat di Tulale atau Pulau Tuangku.

Itulah awal masa kedaulatan kerajaan di Pulau Tuangku. Sementara itu, kelima pemukim pertama di Pulau Tuangku masing-masing sebagai berikut, Malikul Baraya menjadi khotip, Tutuwoun menjadi Datuk Besar, Lawowek menjadi Datuk Maha Raja, Lasengak menjadi Datuk Mudo, dan Hutabarat menjadi Datuk Pamuncak. 

Keempat datuk ini disebut juga sebagai Datuk Berempat yang bertugas membantu raja memerintah rakyat kerajaan.

Nama desa Haloban yang dalam perjalanan kerajaan sempat menjadi ibu kota berasal dari kata "Alaban". Itu adalah nama jenis kayu yang banyak terdapat di pulau itu pada saat perkampungan itu dibuka.

Pemerintahan kerajaan oleh Sultan Alam di Haloban semakin menumbuhkan kampung- kampung baru. Di antaranya adalah kampung Asantola, kampung Lamo, Teluk Nibung, dan Pulau Balai.

Dekat dengan Pulau Tuangku ada pulau bernama Bangkaru. Keunikan dan pesona ombak pulau ini pertama sekali ditemukan oleh seorang peselancar bernama Marcus Keeshan pada tahun 2001. Ia pernah mempublikasikan kehebatan ombak pulau Bangkaru sebagai lokasi selancar (surfing) terbaik di dunia.

Baca juga: Pesona Pulau Palambak

Hubungan Kerajaan Pagaruyung dengan Kerajaan Haru

Tidak hanya dengan Pulau Tuangku. Ada hubungan sejarah kerajaan Pagaruyung dengan Tanah Karo melalui riwayat Kerajaan Haru.

Menurut Brahma Putro (1979), kelangkaan sumber-sumber tertulis suatu sejarah yang tua menyebabkan kebenaran dan kepastian suatu fakta akan selalu menjadi sebuah pertanyaan. Menyusun sejarah Karo, Pakpak, Simelungun, Toba, Alas, Singkel, dan Keluat, maka peranan agama Hindu tidak bisa diabaikan begitu saja

Kehidupan agama Hindu di berbagai daerah di Nusantara telah berpuluh abad berpengaruh dan diyakini. Kerajaan Pagaruyung pada awalnya juga ada kerajaan dengan corak pengaruh Hindu, sebelum akhirnya ditaklukan oleh kaum Padri dan menjadi kerajaan bercorak Islam.

Di Tanah Karo berkembang pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu, seperti kerajaan Haru Sicapah, Haru Lingga Timur Raja, Haru Wampu lebih kurang pada tahun 1225-1539 Masehi. Menurut Brahma Putro (1979), pada mulanya ada suku bangsa bernama Haru yang kemudian disebut Haro, dan akhirnya dinamai suku bangsa Karo.

Menurut penyelidikan, setelah hancurnya kerajaan Haru Wampu, kerajaan Lingga Timur Raja, dan kerajaan Haru Deli Tua pada abad ke-16 (akibat serangan bala tentara kesultanan Aceh pada tahun 1539 dan tahun 1564), maka sejak saat itu bangsa Haru pecah menjadi beberapa suku bangsa, yakni suku bangsa Karo, Simelungun, Pakpak, Alas, Gayo, Singkel, dan Keluat.

Tujuan serangan itu adalah untuk mengislamkan suku bangsa Haru penganut agama Hindu dari sekte Siwa. Penduduk suku bangsa Karo di daerah Kayo menjadi suku bangsa Kayo, kemudian menjadi Gayo, penghuni daerah Talas dinami suku bangsa Alas, yang mendiami daerah Keluat dinamai suku bangsa Keluat, dan yang mendiami sepanjang sungai Singkel dinamai suku bangsa Singkel dan semuanya masuk menjadi penganut agama Islam.

Dilansir dari laman sda.pu.go.id, sungai-sungai besar yang ada di Sumatera Utara banyak berhulu dari Tanah Karo. Di antaranya Sungai Ular, sungai Lau Seruai, sungai Lau Petani, sungai Lau Belawan, sungai Batang Serangen, sungai Lau Biang, Sungai Sei Wampu, Sungai Pelawi, dan sungau Lau Renun yang bermuara ke sungai Singkil.

Sungai Krueng Singkil merupakan salah satu sungai besar di Provinsi Aceh pada bagian Selatan -- Tenggara, melintasi beberapa kabupaten yang membentang dari Kabupaten Gayo Lues hingga ke Kabupaten Aceh Singkil dan mempunyai wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 12.500 km2.

Anak sungai yang mengalir ke sungai Krueng Singkil di antaranya Sungai Lawe Alas yang merupakan hulu sungai dari sungai Krueng Singkil, berada di Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara. Sungai Lae Soraya (Simpang Kiri) merupakan sebutan untuk sungai Krueng Singkil bagian tengah yang berada di hilir sungai Lawe Alas.

Selanjutnya Sungai Lae Cinendang (Simpang Kanan) berada di Kabupaten Aceh Singkil, di mana bagian hulu sungainya berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Deskripsi ini menjadi menarik, sebab sudah umum kita ketahui bahwa jejak peradaban kerajaan-kerajaan yang hidup pada masa lampau banyak ditemukan mengikuti arah aliran sungai.

Sejalan dengan itu, menurut Brahma Putro dalam bukunya "Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman Jilid I" (1979), wilayah kerajaan Haru Wampu mulai dari Tamiang-Aceh sampai ke sungai Rokan dan Siak-Riau, dan di bagian pedalaman mulai dari Simelungun Atas sepanjang Bukit Barisan sekarang ini, terus ke lembah Aceh Besar.

Menariknya, hampir sama dengan kisah Datuk Berempat dalam sejarah kerajaan di Pulau Tuangku, Tanah Tinggi Karo pada masa lalu juga diperintah oleh Raja Berempat yang terdiri dari 5 lanskap yang masing-masing dikepalai oleh raja bergelar Sibayak. Kelima lanskap itu terdiri dari lanskap Lingga, lanskap Suka, lanskap Barusjahe, lanskap Sarinembah, dan lanskap Kutabuluh.

Menurut Alexander Randa, kira-kira pada 12.000 tahun Sebelum Masehi, terjadi perpindahan bangsa Negrito dari Afrika masuk ke daratan Asia dan terus ke Asia Tenggara. 

Sebagian sangkut di Sailan India Selatan dan berasimilasi menjadi bangsa Weda. Setelah itu pergi lagi dan mendiami pantai Barat Sumatera. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi percampuran ras sejak dahulu kala di Pulau Sumatera.

Kedatangan suku Hindu Padang dan suku Hindu Tamil ke daerah permukiman suku bangsa Haru/Harau/Karo, yang berdiam di daerah sepanjang Bukit Barisan, mulai dari Simalungun Atas terus ke lembah kaki gunung Selawah Aceh Besar pada sekitar penghujung abad ke-12 dan permulaan abad ke-13 Masehi. Menjadi menarik, sebab di wilayah kerajaan Pagaruyung juga ada sebuah tempat bernama lembah Harau, yang merupakan lanskap bentang alam dengan panorama yang sangat mempesona.

 Tempat wisata Lembah Harau, Sumatera Barat (SHUTTERSTOCK via Kompas.com) 
 Tempat wisata Lembah Harau, Sumatera Barat (SHUTTERSTOCK via Kompas.com) 

Itu sebabnya bahasa dan adat-istiadat suku bangsa Simalungun, Karo, Alas, Gayo, Pakpak, Singkil, dan Keluat lebih banyak persamaannya dari pada perbedaannya. Sebabnya karena suku-suku bangsa ini berasal dari rumpun bangsa Haru. Demikian menurut Brahma Putro.

Salah satu kesamaannya adalah dalam hal dialek. Karena diikat oleh suatu dialek bahasa yang hampir sama, baik suku bangsa Simalungun, Karo, Alas, Gayo, Pakpak, Singkil, maupun Keluat akan saling mengerti maksud masing-masing meskipun menggunakan bahasanya masing-masing.

Di daerah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun Atas, Singkil, Keluat, Alas, Gayo, dan terus ke lembah Aceh Besar berpengaruh besar agama Hindu. Terlihat dari peninggalan candi dan arca, golongan marga (Sembiring Singombak), dan kata-kata dalam bahasa Sanskerta/Kawi dalam perbendaharaan kata-kata pada suku-suku bangsa ini tadi.

Agama Hindu adalah agama yang dianut oleh raja Mulawarman dari Kutai, dan Purnawarman dari Taruma Negara. Agama ini berkembang pesat pada abad ke-13 Masehi, penganutnya termasuk juga Raja Kertanegara dan Raja Adytiawarman dari Pagaruyung, Sumatera Barat.

Hubungan Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Haru (Karo), salah satu anak Raja Pagaruyung (pewaris tahta, ditandai dengan senjata kerajaan Pisau Bala Bari dan Stempel kerajaan ada padanya) menjadi Sembiring Kembaren.

Nenek moyang salah satu keturunan sub marga Sembiring keturunan Hindu Padang diyakini masuk ke wilayah kerajaan Haru di wilayah Alas dan Pakpak pada pertengahan abad ke-12 pada sekitar 1180-an Masehi.

Adalah Raja Kunca Tampe Kuawala Kembaren, yang merupakan salah seorang dari 7 bersaudara, putra dari Raja Pagaruyung yang mendirikan kerajaan Pagaruyung di Bangko Jambi. 

Karena terjadi perselisihan di antara ke-7 bersaudara itu tentang warisan kerajaan yang tidak dapat didamaikan oleh para bijaksana, dan karena adanya bencana air bah, maka putra raja Bangko yang sudah mendapat wasiat untuk mewarisi kerajaan Bangko, yang bernama Raja Kunca Tampe Kuawala pergi bersama pengikutnya dengan perahu sambil membawa serta Pisau Bala Bari (dua pisau dengan satu gagang) yang merupakan tanda kerajaan Pagaruyung dan sebuah cap kerajaan berupa Materai Sembilan.

Dia menuju laut, terus mengitari pulau Sumatera hingga sampai di kali Alas pada kira-kira tahun 1180 Masehi. Di Alas, Raja Bangko ini mendirikan kerajaan yang berpusat di Ketangkuhen Alas. Saat ini kampung ini tidak ada lagi, tinggal namanya saja, Paya Ketangkuhen.

Wasana Kata

Meskipun tidak ada hubungan langsung antara sejarah Pulau Tuangku dan Kerajaan Haru, tapi ada peristiwa yang terselip setidaknya dalam hubungan keduanya dengan kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat.

Tentang jauh dan dekatnya hubungan itu, kembali menjadi tugas selanjutnya bagi insan manusia yang tertarik mendalaminya. Sebab, sebagaimana kalimat dari Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya "Anak Semua Bangsa", semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir.

Di atas KMP Aceh Hebat 3 saat perjalanan pulang ke Kabanjahe dari Dermaga Pulau Banyak (Dok. Pribadi)
Di atas KMP Aceh Hebat 3 saat perjalanan pulang ke Kabanjahe dari Dermaga Pulau Banyak (Dok. Pribadi)

Bukankah faktanya, seringkali penemuan penting dan menarik dalam kehidupan berawal dari pikiran yang dipicu oleh rasa ingin tahu dan rasa penasaran yang menggerakkan petualangan. 

Mungkin butuh perjalanan selanjutnya untuk kembali ke sana, melacak lebih cermat jejak sejarah yang terselip di Pulau Tuangku. Bisa saja, di sana kita akan menemukan diri kita sendiri dengan lebih jelas dan lebih jernih.

Rujukan:

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman Jilid I, Ulih Saber, Medan, 1979

sda.pu.go.id

Sejarah Pulau Banyak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun