Menurut cerita masyarakat setempat, konon dahulu kala lahir seorang anak yang punya kelainan. Orangtuanya yang merasa bahwa anaknya tidak normal, mengantar anak itu ke tempat yang diyakini kemudian menjadi lokasi danau ini kini.
Agar anak yang baru lahir itu tetap hidup, maka diantarlah makanannya setiap hari ke tempat itu. Lama-kelamaan, muncul air dan semakin bertambah banyak sehingga tempat itu menjadi sebuah danau yang kemudian disebut Tao Sidihoni.
Sementara itu, mengutip penjelasan Vice General Manager Toba Caldera Geopark, Gagarin Sembiring, yang dilansir dari laman laketoba.travel, bahwa pembentukan Sidihoni menjadi danau tidak berkaitan lagi dengan proses erupsi Toba. Sidihoni terbentuk bersamaan dengan terangkatnya Samosir.
Sidihoni tercipta akibat pembentukan sistem cekungan, dampak dari patahan lokal hasil kegiatan tektonik. Saat cekungan terbentuk, terjadi pelarutan-pelarutan.
Endapan danau pun ada yang bersifat lempung atau kedap air. Endapan batuan lempung tersebut menjadi penahan air yang melapisi cekungan sehingga mampu menampung air hujan dengan proses meteroid.
Hamparan air yang tenang semakin cantik karena dikelilingi padang rumput yang berbukit-bukit, dan diselingi pohon-pohon pinus di beberapa bagiannya. Selain itu ada sebuah bangunan gereja yang tampak kecil dari kejauhan, berada di atas bukit di dekat danau di tengah padang rumput.
Itu adalah bangunan gereja HKBP Sidihoni, yang masuk pelayanan ressort Ronggur Nihuta. Gereja ini berdiri pada tahun 1936, diprakarsai oleh zending HKBP.
Demikianlah sisi lain keunikan Danau Toba. Bila Pulau Samosir adalah pulau di dalam pulau Sumatera, maka Aek Natonang dan Tao Sidihoni adalah dua danau di atas danau Toba.
Setelah puas melintasi jalanan di ketinggian, melalui Huta Ginjang, Ronggur Nihuta , dan Huta Tinggi, kami pun melintasi jalan menuruni bukit. Artinya kami sudah semakin dekat ke jembatan Tana Ponggol untuk menyeberang pulang melalui Tele.