"Hidup tercela atau tidak adalah sebuah jarak yang dibentuk oleh pilihan-pilihan dalam hidup"
Sungguh hari esok merupakan sebuah misteri bagi siapa saja. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi esok, bahkan lima menit selanjutnya dari saat ini pun tidak.
Namun, dalam hidup di tengah dunia ada juga yang mampu mengolah misteri dan ketidakpastian menjadi peluang. Jualannya adalah prediksi dengan akurasi yang paling tinggi berbasis data.
Dalam pasar dengan jualan yang demikian, manusia dijadikan komoditi dan internet adalah pasarnya. Rasa penasaran dan keingintahuan manusia, serta hasratnya untuk selalu menjadi yang terbaik adalah sifat bawaan yang menjadikan manusia mudah dijadikan sebagai tambang data yang sedang digali sedalam-dalamnya.
Data yang berhasil ditambang sedemikian rupa "secara sukarela" dipasarkan melalui internet. Sebagai komoditi yang dipasarkan tentu saja data itu ditukar dengan uang atau lain-lain hal sebagai bentuk keuntungan.
Sadar atau tidak, kita kini terperosok semakin dalam di pasar yang demikian itu seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi. Indikasi sederhana tampak dari meningkatnya ketergantungan atau bahkan kecanduan kita akan gawai dan internet.
Teknologi internet mampu menghilangkan segala sekat, batas, jarak, dan waktu dalam kehidupan kita secara global. Datang menyertainya sebagai tantangan dan ancaman adalah komunikasi kita yang kini telah berubah dan bergeser makna menjadi lebih ke arah manipulasi.
Demikianlah secara ringkas rangkuman pengakuan yang disampaikan oleh mereka yang terlibat sebagai mantan orang-orang penting dalam pembangunan berbagai platform media sosial di Silicon Valley dalam sebuah film dokumenter produksi tahun 2020 yang berjudul "The Social Dilemma".
Orang-orang ini, secara eksplisit dan implisit, menjelaskan potensi ancaman dan bahaya yang bisa terjadi bila tidak ada upaya untuk mengendalikan atau bahkan sekadar mengurangi laju produksi "penambangan" data ini. Untuk dihentikan sepertinya sudah tidak mungkin lagi.
Dilansir dari KOMPAS.com, sebuah penelitian yang dilakukan oleh perusahaan keamanan cyber Kaspersky Lab di 12 negara di dunia menunjukkan ada empat alasan mengapa orang meninggalkan jejaring sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya. Dikutip dari KompasTekno, Minggu (4/12/2016), survei online ini melibatkan 4.831 responden, di mana alasan terbesarnya adalah jejaring sosial dianggap hanya membuang-buang waktu.
Empat alasan besar mengapa orang ingin meninggalkan jejaring sosial menurut survei tersebut secara berturut-turut adalah, responden percaya bahwa mereka membuang-buang waktu di jejaring sosial (39 %), responden menyatakan mereka tidak mau aktivitasnya dimonitor oleh raksasa perusahaan teknologi (30 %), responden mengatakan akun mereka telah diretas (5 %), dan responden mengatakan mereka capek dengan "pembenci" atau haters yang selalu merundung mereka (4 %).
Tidak usah jauh-jauh melakukan survei, barangkali kita bisa melihat kenyataan di tengah keluarga kita sendiri, atau di sekitar lingkungan tempat tinggal kita, lingkungan kerja, dan komunitas-komunitas yang kita ikuti. Dilema sosial dalam hubungannya dengan pengaruh teknologi itu sudah sekian lama dijelaskan dengan sangat padat dalam ungkapan "mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat".
Barangkali saja, awalnya media sosial diniatkan untuk membuat yang jauh bisa mendekat dan yang dekat menjadi merapat. Nyatanya tidak demikian, banyak keretakan justru terjadi setelah orang marak dan jamak bermedia sosial.
Karena dunia media sosial tampaknya seakan sudah menjadi realitas dunia yang baru dan diterima secara luas, dampak ikutan dari penggunaannya pun tampaknya sudah seperti hal yang biasa-biasa saja dan diterima apa adanya di tengah kehidupan kita.
Sikap ini seolah menjelaskan bahwa hal ini tidak ada bedanya dengan perubahan dari manusia yang dulunya berjalan kaki sebelum ditemukannya sepeda, kenyataan bahwa banyak sekali orang yang bersepeda setelah penemuan sepeda. Itu adalah hal yang biasa.
Demikian juga halnya pandangan terkait media sosial. Bila sekarang banyak hal terjadi di dan akibat media sosial itu adalah buah yang wajar sebagai akibat dari suatu penemuan baru lainnya.
Apa yang bisa kita lakukan dalam situasi seperti ini baiklah kita mulai dari lingkup yang paling kecil terlebih dahulu, mulai dari diri kita sendiri.
Apa yang Bisa dan Sebaiknya Kita Lakukan?
Kita pun mungkin akan menemukan kenyataan di mana kita merasa sulit sekali untuk menjadi berbeda dengan manusia-manusia lain di sekitar kita. Pandangan umum telah membentuk perilaku yang diterapkan berulang-ulang menjadi suatu kebiasaan dan akhirnya diterima sebagai sebuah kebenaran, atau setidaknya tersimpul dalam sebuah kata, lumrah.
Maka tidak heran bila pameo "menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan" tampak dan terasa menjadi sudah semakin berkurang kadar negatifnya, dan hanya sekadar candaan ringan. Bisa saja karena kenyataan itu memang sudah semakin dipandang lumrah.
Namun, kita perlu merenungkan bahwa banyak hal dalam hidup ini memang tidak akan dapat kita pahami. Hal-hal yang seperti itu biarlah tetap menjadi misteri, keingintahuan dan rasa penasaran kita juga perlu dikendalikan.
Bila tidak ada aksi yang signifikan bisa kita lakukan untuk mengubah keadaan, setidaknya kita bisa merenung dan berdoa. Kelemahan dan ketidakmampuan kita untuk menjadi "berbeda" dengan sekitar kita yang sudah semakin banyak lumrahnya adalah tantangan aktual dari nilai-nilai keyakinan tradisional kita.
Diperhadapkan dengan banyak pilihan yang tak pasti di luar sana sungguh rasanya seperti domba yang diutus ke tengah-tengah serigala. Atau jangan-jangan kita pun tanpa sadar telah menjadi serigala yang hanya sedang kalah bersaing dengan serigala lainnya, dan merimanya sebagai sesuatu yang lumrah?
Ada sebuah permenungan yang bisa kita gali untuk menjawab pertanyaan itu. Permenungan itu terinspirasi isi kitab 1 Petrus Pasal 1 ayat 13 sampai 21. Bahan ini penulis peroleh dari bahan ibadah keluarga yang dikirimkan oleh ibu.
Setidaknya ada empat hal yang bisa kita peroleh sebagai motivasi agar tetap mampu menjadi berbeda, tidak menjadi serigala bagi sesama, dari permenungan itu.
1. Berusaha untuk Selalu Menjalani Hidup yang Diperbaharui
Ciri-ciri manusia yang hidupnya selalu diarahkan untuk diperbaharui adalah dengan menjaga hati dan pikirannya dalam menghadapi tantangan setiap hari. Waspada dalam menghadapi cobaan hidup, menyandarkan harapannya kepada berkat dan pemeliharaan Tuhan.
2. Berusaha untuk Hidup Tidak Tercela
Hidup tercela atau tidak adalah sebuah jarak yang dibentuk oleh pilihan-pilihan dalam hidup. Pilihan itu berada di antara hidup menurut keinginan (kecenderungan) hati serta keinginan jasmani kita sendiri dan hidup yang bersandar kepada pemeliharaan Tuhan.
Sungguh tidak mudah untuk memilih jalan hidup yang tidak bercela itu. Bahkan mungkin kita tidak akan mampu hidup tanpa cela.
Namun, bila tujuan hidup kita diarahkan untuk bersadandar kepada pemeliharaan Tuhan maka pilihan itu seharusnya tampak dalam tingkah laku dan tutur kata. Sekuat apa pun kita mencoba memoles tampilan luar segala sesuatunya, kita sejatinya selalu akan dapat dikenali dari pilihan kita.
3. Hidup dalam Doa
Hidup dalam doa adalah masalah etika. Doa adalah cara kita untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Dari dan melalui doa kita bisa menggali apa yang diinginkan Tuhan untuk kita lakukan dalam hidup kita. Sebab itu, doa juga adalah nafas bagi orang yang percaya.
4. Memakai Kesempatan Hidup untuk Menjadi Berkat
Kita bisa dipandang bodoh oleh karena pilihan kita. Pilihan yang menjadikan kita berbeda dengan dunia.
Tidak apa-apa, sebab perjuangan kita bukan hanya hidup di dunia yang sementara. Di sana, di negeri seberang pelangi adalah arah tujuan perjalananan kita selanjutnya.
Kita akan diadili sesuai perbuatan dalam pilihan kita masing-masing tanpa terkecuali. Maka tidaklah berlebihan bila kita dipanggil untuk memakai kesempatan hidup untuk menjadi berkat dalam waktu hidup yang singkat ini.
Nah, untuk menambah syahdu permenungan kita, tidak ada salahnya memutar lagu rohani dari Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ) nomor 241 berjudul "Tak 'Ku Tahu 'Kan Hari Esok" yang juga tercantum dalam kumpulan lagu Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB) nomor 49 berjudul "Tuhan yang Pegang" yang dibawakan oleh Os Tarigan berikut ini.
Bagi penulis secara pribadi, syair lagu ini menjadi jawaban yang sangat menguatkan dalam menghadapi banyak pergumulan dan banyaknya tawaran pilihan yang tidak pasti di luar sana.
Rujukan:Â Kompas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H