Kenyataan memberikan pelajaran pahit melalui catatan sejarah kehidupan manusia. Setidaknya seputar hubungan manusia sebagai individu, di tengah keluarga, dan dalam hidup bernegara. Terselubung atau terang-terangan, di antara hubungan-hubungan itu masih ada perang.
Manusia sebagai individu bahkan masih tetap berperang dengan dirinya sendiri. Tidak sedikit yang kalah dalam perang melawan diri sendiri.
Manusia sering kalah melawan suara hati dan nurani. Manusia menyandera kejujuran.
Mengutip pemikiran Goenawan Mohamad pada sebuah esai berjudul Keluarga (1) dalam Catatan Pinggir 4 (2012), "Perlahan-lahan tapi pasti makin terasa merosotnya sistem kerabat sebagai sendi utama bangunan sosial politik kita. [...] Suatu unit yang lebih luas, dengan jumlah anggota yang lebih besar dan lebih beragam jenisnya telah terjadi. Bentuknya disebut negeri. Keutuhannya beroperasi sebagai negara."
Pemikiran ini menarik bila dihubungkan dengan penjelasan tentang perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga.
Di sana dijelaskan bahwa pada dasarnya perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga ditujukan untuk menjamin keberlangsungan hidup seluruh manusia tidak lagi hanya berdimensi lokal atau nasional, akan tetapi juga internasional. Perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga tidak lagi dipahami secara sempit sebagai usaha untuk mempengaruhi pola dan arah demografi semata, tetapi sasarannya jauh lebih luas, yaitu untuk mencapai kesejahteraan masyarakat baik dalam arti fisik maupun nonfisik termasuk spiritual.
Namun, kenyataan sering kali berjalan sebaliknya. Keluarga dengan jumlah anggota yang lebih besar dan lebih beragam dan beroperasi sebagai negara itu sering disandera dan terasa menyandera "anggota keluarga"-nya justru oleh peranti yang dibutuhkan dalam rangka keteraturan, yaitu hukum dan birokrasi.
Manusia yang bekerja kepada negara dilantik menjadi pejabat di bawah sumpah. Meskipun sering kali terasa klise dan sekadar formalitas, tapi isinya sangat mulia.
Sumpah mengikat pejabat yang dilantik untuk lebih mendahulukan tugas negara dari pada kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan. Seolah cita-cita membentuk dunia dan nilai-nilai baru lebih utama dari pada perbuatan baik kepada keluarga.
Birokrat yang disumpah seolah harus menjadi seorang yang bertindak tanpa memandang mana keluarga dan mana yang bukan (impersonal), demi tugas negara. Bagaimana jadinya, bila kesetiaan kepada sumpah jabatan itu disandera oleh kepentingan jahat pejabat di atasnya? Salahkah melanggar sumpah dalam situasi yang demikian?
Kisah Tentang Pelanggaran Sumpah Jabatan yang Dibebaskan dari Hukuman
Ini adalah sebuah kisah nyata yang diadaptasi menjadi film. Kisah itu sebagaimana ditulis dalam buku "The Spy Who Tried to Stop a War: Katharine Gun and the Secret Plot to Sanction the Iraq Invasion". Ini bisa menjadi sebuah contoh yang bagus untuk mencari jawaban atas pertanyaan di atas.
Film itu berjudul "Official Secrets", disutradarai oleh Gavin Hood dan dirilis pada tahun 2019. Film ini menceritakan kisah seorang spesialis intelijen Inggris bernama Katharine Gun (diperankan oleh Keira Knightley). Ia bertugas mengelola informasi rahasia untuk disampaikan kepada kementerian luar negeri Inggris.
Katharine menikah dengan seorang migran yang bernama Yasar Gun (diperankan oleh Adam Bakri). Ia bekerja sebagai pelayan kafe.
Masalah bermula ketika pada 31 Januari 2003, menjelang perang Irak, Katharine menerima memo yang dikirim melalui email kepala devisi target regional NSA (National Security Agency) atau badan keamanan nasional Amerika. Isi memo itu tentang Amerika Serikat meminta bantuan Inggris untuk mengumpulkan informasi dan memeras anggota Dewan Keamanan PBB agar memilih mendukung invasi ke Irak.
Tidak tahan dengan kebohongan para pejabat negara yang tampak sombong tanpa cacat tampil di media, Katharine tidak mampu membayangkan penderitaan yang akan muncul akibat perang yang dipicu melalui sebuah tindak kecurangan dan ketidakjujuran.
Katharine membuat salinan memo rahasia itu dan berniat membocorkannya ke media melalui salah seorang temannya. Dengan berbuat demikian Katharine telah melanggar sumpahnya untuk tidak membocorkan rahasia jabatan dan rahasia negara. Harapannya hanya satu, agar perang tidak terjadi karena media mampu menekan otoritas terkait setelah memverifikasi kebenaran isi memo itu.
Skandal dalam memo itu memang akhirnya bocor ke media. The Observer adalah media yang pertama kali memberitakannya. Namun, nyatanya invasi ke Irak tetap saja terjadi.
Sementara itu, Katharine tidak mampu lagi bertahan lebih lama dalam kebohongan setelah para pegawai di tempatnya bekerja diinterogasi oleh pejabat yang berwenang. Ia pun jujur mengakui bahwa kebocoran memo rahasia itu adalah perbuatannya.
Katharine dipandang bersalah oleh pemerintah dan instansi tempatnya bekerja karena telah melanggar undang-undang kerahasiaan negara. Ia dan suaminya berada dalam posisi yang sulit, terutama terkait latar belakang suaminya yang migran di Inggris.
Atas usul pengacara yang disediakan untuk mendampinginya dalam pemeriksaan, Katharine meminta bantuan sebuah firma hukum, Liberty. Mereka sering memberikan pembelaan secara gratis atas kasus-kasus hukum yang menarik perhatian luas di tengah masyarakat.
Di tengah persidangan, Katharine menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Meskipun dia mengakui telah membocorkan rahasia negara. Alasannya tegas, bahwa rahasia yang dia bocorkan adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang patut dilawan.
Sebuah kutipan dari Catatan Pinggir mas Goen cocok menggambarkan kegamangan Katharine yang jujur dalam pelanggarannya. Mungkin pelanggaran itu muncul sebagai sisi humanis dirinya.
"Ia bimbang berperang bukan karena ia gamang membunuh orang seasal-usul, melainkan karena ia enggan membinasakan orang yang tak bersalah meskipun mereka di pihak lawan."
Peradilan itu akhirnya membebaskan Katharine setelah jaksa penuntut yang mewakili lembaga tempatnya bekerja dan pemerintah Inggris mencabut semua tuduhan kepada dirinya. Kisah ini menjadi sebuah bukti bahwa sumpah jabatan yang dilanggar pernah dihormati dan dibenarkan demi suara hati, nurani, akal sehat, dan kemanusiaan.
Lalu bagaimana halnya dengan jutaan sumpah jabatan yang pernah terucap tapi nyatanya dilanggar, tersamar atau terang-terangan, menciderai rasa kemanusiaan tapi tidak pernah sampai ke pengadilan? Membayangkannya saja pun sudah cukup menyeramkan, sebab katanya keadilan itu adalah urusan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H