Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Dua Hal Kecil tapi Sukar Dilakukan dalam Membangun Personal Branding Berwawasan Lingkungan

14 Juni 2021   23:23 Diperbarui: 14 Juni 2021   23:45 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membangun personal branding berwawasan lingkungan (Dokpri)

Mencintai lingkungan, itu adalah salah satu kesan yang terlintas di benakku saat melihat orang-orang yang gemar berwisata ke gunung-gunung, atau jalan-jalan ke hutan. Namun, sering kali kesan itu melenceng dari kenyataan melihat fakta bahwa tren pembalakan liar sering kali tendengar makin merebak di berbagai belahan dunia.

Oke, taruhlah dari sekian miliar manusia di dunia hanya segelintir orang yang membalak hutan. Namun, fakta masifnya pembalakan liar kembali membuktikan bahwa kerakusan satu orang manusia saja ternyata tak terbantahkan mampu membawa pengaruh buruk bagi lingkungan dan mengancam keselamatan bersama semua makhluk penghuni bumi.

Bila isu soal pelestarian hutan ternyata terlalu besar untuk ditanggung oleh satu orang saja, maka kita perkecil isu itu menjadi isu lingkungan di sekitar pekarangan rumah saja.

Membangun personal branding/ citra diri atau jenama sebagai orang yang dikenal mencintai lingkungan mungkin bukanlah passion (renjana) yang menarik bagi sebagian besar manusia. Indikasinya sederhana saja, kalaulah sebagian besar manusia sejatinya memiliki renjana demikian, maka seharusnya isu soal sampah berserakan di jalanan, bahkan di depan halaman rumah, tidak akan menjadi masalah besar di berbagai tempat.

Kualitas personal sebagai pencinta lingkungan tidak bisa dibangun hanya dengan sekadar mengumbar foto-foto saat sedang mendaki gunung, berfoto di tengah hutan, menggendong hewan peliharaan, atau bahkan dengan menuliskan opini tentang penyebab kerusakan lingkungan.

Personal branding sebagai pencinta lingkungan bukannya tidak perlu untuk diketahui oleh orang lain. Inspirasi yang ingin ditularkan dengan berbagai cara soal mencintai lingkungan tetap perlu digaungkan.

Lihatlah berbagai fakta, misalnya, tentang liputan di televisi atas beberapa sosok pencinta lingkungan yang takjarang mampu menggugah kekaguman kita. Namun, sayang sekali, kekaguman itu sering kali berhenti begitu tayangan berakhir atau dijeda oleh iklan.

Membangun jenama soal mencintai lingkungan akan lebih efektif menginspirasi bila sifat itu sudah melekat dalam keseharian. Bisa di lingkungan tempat tinggal, di lingkungan kerja, di desa kita, atau dimana saja.

Cara mengenal sifat seseorang dalam mencintai lingkungan paling mudah dengan melihat bagaimana caranya mengelola sampah pribadi.

Lihat saja, Kawan! Takjarang seseorang memiliki sebuah rumah mewah yang tampak sangat asri. Wajar kalau dengan menyewa seorang tukang kebun, sampah tidak ada berserakan di halaman rumahnya.

Namun, begitu si majikan meluncur di jalan raya, sering kali tuan dan puan pemilik rumah mewah dengan seenaknya membuang bungkusan sampah-sampahnya sembarangan di pinggir jalan, melemparnya dengan jemawa di tepi jalan.

Atau misalnya, tempat-tempat wisata yang dipenuhi sampah berserakan. Terlihat saat parkiran kendaraan ditinggal para pelancong saat pulang ke tempat asalnya atau melanjutkan pelancongan ke tempat lain, sampah-sampah ditinggalkan berserakan.

Seakan urat kesadaran bersama sudah lumrah mengabaikan kenyataan bahwa telah terjadi pemerkosaan besar-besaran terhadap lingkungan. Pelakunya sering kali tidak pernah dilaporkan, diadukan, apalagi diadili.

Memang tidak di semua tempat terjadi pelanggaran etika lingkungan. Tapi siapa bisa menjamin, bahwa di tempat yang tampak jauh dari tindak pemerkosaan lingkungan, sebenarnya karena di sana sudah lebih dahulu mengalami kerusakan? Di sana takada jalan lain kecuali bertobat massal dan berusaha berdamai dengan sisa kehijauan yang ada, yang sebagian besarnya hanyalah hijau-hijau buatan.

Maka, bila masih ada yang peduli mengumpulkan sampah-sampah yang kita tinggalkan sembarangan, di manapun itu, jangan langsung menganggap itu sebagai pencitraan. Bila bukan karena tuntutan pekerjaann sebagai petugas kebersihan, bisa jadi dia adalah orang yang memang mencintai lingkungan.

Separah-parahnya, kalaupun itu adalah pencitraan, maka itu adalah pencitraan yang tak merugikan. Setidaknya sampah yang dibuang sembarangan jadi berkurang.

Syukur-syukur bila mengutip sampah yang dibuang sembarangan merupakan renjana seseorang. Meskipun dalam hati ia menggerutu, tapi gerutuan itu bisa berbuah menjadi tindakan yang berpihak pada lingkungan.

Pastilah itu karena adanya dorongan sebuah kesadaran. Kesadaran bahwa lebih baik berbuat sesuatu meskipun kecil dari pada mengutuki keadaan.

Lalu apa yang bisa dilakukan supaya orang lain mengingat keahlian yang kita miliki dalam mencintai lingkungan sebagai citra diri?

1. Konsisten Melakukan

Hari ini membuang sampah di tempat yang disediakan, tapi besok membuang sampah sembarangan. Itu bukanlah sebuah bentuk sifat yang konsisten.

Di manapun dan kapanpun, kendalikan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tidak tersedia tempat sampah yang memadai bukan menjadi alasan yang dapat diterima untuk membenarkan tindakan membuang sampah sembarangan. Simpan sampah kita sendiri, pada saatnya buang di tempat yang disediakan. 

Jangan pula jadikan alasan bahwa sampah itu bau, untuk bisa seenaknya membuangnya ke mana saja, asalkan bukan di pekarangan kita. Kita saja merasa bau apalagi orang lain, pastilah lebih jijik melihat sampah yang bukan miliknya.

2. Miliki Kesadaran bahwa Tindakan Kita Memiliki Konsekwensi

Berani berbuat berani bertanggung jawab. Kita bisa saja mencirikan diri kita dengan tampilan yang dibuat-buat. Namun, sesuatu yang tidak asli tidak akan bertahan lama. 

Kesadaran untuk mencintai lingkungan sebenarnya adalah sifat yang berawal dari sesuatu yang personal. Namun, kesadaran personal itu mengandung sebuah konsekwensi komunal.

"Aku perlu membersihkan lingkungan rumahku, karena sampahku adalah sampah bumi sebagai lingkungan tempat tinggal yang tidak aku miliki sendiri."

Membuang sampah sembarangan hanya sekadar menggeser persoalan tanpa penyelesaian. Hari ini tidak di rumah kita, besok dia sampai di sungai, lusa dia tiba di laut. Bulan depan mungkin dia kembali bersama banjir yang menggenangi sampai plafon rumah kita. 

Terdengar berlebihan, tapi populasi sampah mungkin memang sudah terlalu berlebihan, melampaui populasi produsennya sendiri. Rata-rata setiap orang memproduksi sedikitnya 1 liter sampah setiap hari. Itu sudah banyak, melampaui manusia yang seorang demi seorang nyatanya tidak melahirkan bayi manusia baru setiap hari.

Bila tidak mampu menghentikan kenyataan buruk soal sampah orang lain, setidaknya kita bisa ikut menjadi bagian yang mengurangi laju pertambahannya.

Tidak ada salahnya memungut sampah yang ditinggal pergi pemilik aslinya. Semakin banyak yang melakukannya maka semakin baik.

Bertahanlah, meskipun seolah tinggal Engkau sendiri yang melakukannya. Engkau adalah berkat bagi semesta saat masih bertahan melakukan setidaknya satu saja kebaikan bagi lingkungan.

Kedua hal di atas mungkin tampak tidak memadai untuk bisa dikatakan sebagai panduan teknik yang terperinci untuk membangun personal branding. Namun, yakinlah bila kedua hal ini saja bisa kita lakukan, konsisten dan kesadaran akan konsekwensi dalam sebuah hubungan kausalitas antara manusia dan lingkungan tempat tinggalnya, maka besok, lusa, dan tahun-tahun yang akan datang kita masih bisa berfoto ria di tengah hutan yang hijau nan lestari.

Membangun personal branding berwawasan lingkungan (Dokpri)
Membangun personal branding berwawasan lingkungan (Dokpri)
Loh, cerita soal sampah kok fotonya di hutan? Ya, tampaknya tak berhubungan, tapi apa yang tidak saling terhubung dalam bumi yang satu dan kelihatannya semakin sempit bagi kita semua?

Kita yang masing-masing memiliki kecenderungan kebutuhan yang hampir tidak terpuaskan? Apalagi di zaman internet ini, kita masing-masing hanyalah titik-titik yang tidak tak terhubungkan.

Itulah dua hal kecil tapi sukar untuk dipikirkan apalagi untuk dilakukan dalam membangun personal branding/citra diri yang pro lingkungan dan dapat menunjang karier dan bisnis kita masing-masing.

Hal ini saya tuliskan saat membakar sampah-sampah beracun yang takdapat lagi digunakan. Sebagian lainnya yang masih bisa digunakan sudah saya sisihkan. Bisa digunakan untuk membuat pupuk bagi bunga dan tanaman lainnya, makanan hewan peliharaan, hiasan, bangku, meja, dan benda-benda lain yang bahkan bisa dijual kembali.

Sebagian sampah lainnya bahkan ada yang tidak bisa dibakar, hanya kujadikan bahan tertawaan. Meskipun barang kali aku hanya menertawakan diriku sendiri, manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun