"Luah" adalah kata dalam bahasa Karo yang bisa diterjemahkan secara bebas sebagai oleh-oleh atau bingkisan. Jadi, "luah adat" bisa diterjemahkan langsung sebagai oleh-oleh adat atau bingkisan adat.
Pemaknaan sederhana ini tidaklah sama sekali salah. Sebab dalam kebiasaan atau adat suku mana pun, tampaknya tradisi memberi oleh-oleh atau bingkisan adalah hal yang lumrah dijumpai saat mereka merayakan maupun meratapi kehidupan, baik suka cita maupun duka cita.
Kali ini kita akan berjumpa dengan beberapa bentuk dan makna "luah adat" dalam pesta adat pernikahan pada suku Karo. Mari kita lihat satu persatu.
1. LampuÂ
Biasanya benda yang digunakan adalah lampu teplok. Kalau di kampung kami, sering juga orang menyebut lampu dengan bahan bakar minyak tanah atau kerosin ini dengan nama lampu semprong.
Lampu ini menjadi simbol sumber terang bagi pemikiran dan akal budi. Dalam perkembangannya, pada pesta adat pernikahan suku Karo saat ini bahkan ada yang sudah mengganti lampu teplok ini dengan lampu pintar, atau lampu hemat energi yang bisa menyimpan arus.
2. Kudin
Kudin adalah bahasa Karo untuk periuk. Bahannya terbuat dari besi, dan ukurannya bermacam-macam, ada besar dan ada yang kecil, dan dipergunakan untuk menanak nasi.
Pemberian kudin atau periuk itu adalah sebuah simbol pesan bagi pasangan yang baru membangun mahligai rumah tangga, agar senantiasa mampu menjamu keluarga, kerabat, atau siapa saja yang bertamu ke rumah mereka, dengan penuh suka cita.Â
Benda ini sendiri sebenarnya sudah agak jarang dipergunakan, sebab sudah sangat umum orang-orang zaman sekarang menanak nasi dengan rice cooker atau penanak nasi elektronik.
3. Amak Tayangen dan Amak Kapal
Amak Tayangen adalah istilah yang merujuk kepada tikar sebagai alas duduk atau alas tiduran. Biasanya yang digunakan adalah tikar anyaman dari daun bengkuang.
Tikar sebagai alas duduk atau alas tiduran merupakan terjemahan langsung dari rekaman realitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia. Sementara itu yang dimaksud amak kapal adalah tilam atau kasur.
Bahwa manusia suka berpikir saat duduk-duduk atau saat tiduran, saya kira bisa kita jumpai di masyarakat pada suku apa pun. Amak tayangen dan amak kapal diberikan sebagai simbol harapan agar kedua mempelai selalu mempergunakannya untuk memikirkan semua hal yang baik dalam kehidupan, baik saat duduk-duduk maupun saat tiduran di atasnya.
Ada sebuah ungkapan populer dalam bahasa Karo yang berbunyi, "Mbur-mbur taruk, kertang-kertang manuk, tabehen denga niakap manuk." Bila diterjemahkan, maknyanya kurang lebih, segemuk-gemuknya pucuk daun jambe (labu), dan sekurus-kurusnya ayam, masih terasa lebih enak daging ayam.
Pemberian manuk asuhen atau ayam peliharaan, dari pihak kalimbubu (pihak pemberi istri atau pihak keluarga dari ibu), bermakna agar kedua mempelai mampu menghidangkan sajian yang enak setiap kali menjamu keluarga atau kerabat yang datang berkunjung. Sebab, bagaimana pun mereka juga lebih suka sajian yang enak ketimbang yang biasa saja.
Namun, jelas sekali bahwa tidak semua orang mau, mampu dan bisa memelihara ayam. Ini hanya semacam simbol.
Wasana Kata dan Sanggahan
Luah adat, saat diberi arti sebagai pemberian, oleh-oleh, atau pun bingkisan adat, itu adalah semacam media untuk doa dan harapan dalam kehidupan. Selain masih ada yang bisa difungsikan dalam realitas sehari-hari, selebihnya hanya sebatas media penyampai pesan yang bermakna simbolik.
Sebab, akan menjadi masalah juga, seandainya kedua mempelai berdomisili di tempat yang jauh, atau katakanlah di luar negeri. Pelaksanaan pesta adat di kampung halaman hanya karena tuntutan adat, padahal keduanya bisa saja sudah tidak kenal sama sekali dengan kehidupan kampung.
Tentu akan sangat merepotkan bila semua bingkisan atau oleh-oleh adat itu dimaknai secara harfiah. Bagaimana repotnya, bahkan mungkin akan terkena larangan, bila harus membawa lampu teplok, periuk, tikar, dan ayam untuk peliharaan dalam perjalanan antar kota, antar provinsi, atau bahkan antar negara, baik dengan menggunakan bus, kereta api, kapal laut, mapun dengan pesawat terbang.
Apakah ini berarti bahwa perlu adanya penyesuaian bentuk simbol-simbol adat, akibat perkembangan teknologi atau kemajuan zaman? Atau apakah lebih baik agar simbol-simbol adat yang dipergunakan juga disesuaikan dengan perkembangan keadaan, sehingga selain menyampaikan makna filosofis, benda-benda simbolik itu juga bermanfaat secara fungsional?
Barang kali tokoh adat yang lebih berkompeten untuk menjelaskannya. Sebab penulis bukan seorang budayawan, hanya suka memotret realitas dan menyajikannya ke hadapan pembaca lewat tulisan sederhana. Salam budaya. Mejuah-juah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H