Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekelumit Catatan dalam Memaknai "Luah Adat" Pesta Pernikahan pada Suku Karo

22 Februari 2021   17:49 Diperbarui: 22 Februari 2021   21:40 2360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepasang pengantin Karo pada pesta adat pernikahan (Dokpri)

"Luah" adalah kata dalam bahasa Karo yang bisa diterjemahkan secara bebas sebagai oleh-oleh atau bingkisan. Jadi, "luah adat" bisa diterjemahkan langsung sebagai oleh-oleh adat atau bingkisan adat.

Pemaknaan sederhana ini tidaklah sama sekali salah. Sebab dalam kebiasaan atau adat suku mana pun, tampaknya tradisi memberi oleh-oleh atau bingkisan adalah hal yang lumrah dijumpai saat mereka merayakan maupun meratapi kehidupan, baik suka cita maupun duka cita.

Kali ini kita akan berjumpa dengan beberapa bentuk dan makna "luah adat" dalam pesta adat pernikahan pada suku Karo. Mari kita lihat satu persatu.

1. Lampu 
Biasanya benda yang digunakan adalah lampu teplok. Kalau di kampung kami, sering juga orang menyebut lampu dengan bahan bakar minyak tanah atau kerosin ini dengan nama lampu semprong.

Lampu teplok (Sumber: lampura.web.app)
Lampu teplok (Sumber: lampura.web.app)
Seiring dengan sulitnya mendapatkan minyak tanah pada saat ini, maka pemberian lampu teplok ini sebagai bingkisan adat semata-mata hanya sebagai simbol. Sebab sudah jarang, bahkan hampir tidak ada lagi yang menggunakannya.

Lampu ini menjadi simbol sumber terang bagi pemikiran dan akal budi. Dalam perkembangannya, pada pesta adat pernikahan suku Karo saat ini bahkan ada yang sudah mengganti lampu teplok ini dengan lampu pintar, atau lampu hemat energi yang bisa menyimpan arus.

Kudin dan lampu teplok (yang kini sudah digantikan oleh lampu penyimpan arus) sebagai
Kudin dan lampu teplok (yang kini sudah digantikan oleh lampu penyimpan arus) sebagai "Luah Adat" pada pesta adat pernikahan suku Karo | dokpri

2. Kudin


Kudin adalah bahasa Karo untuk periuk. Bahannya terbuat dari besi, dan ukurannya bermacam-macam, ada besar dan ada yang kecil, dan dipergunakan untuk menanak nasi.

Pemberian kudin atau periuk itu adalah sebuah simbol pesan bagi pasangan yang baru membangun mahligai rumah tangga, agar senantiasa mampu menjamu keluarga, kerabat, atau siapa saja yang bertamu ke rumah mereka, dengan penuh suka cita. 

Benda ini sendiri sebenarnya sudah agak jarang dipergunakan, sebab sudah sangat umum orang-orang zaman sekarang menanak nasi dengan rice cooker atau penanak nasi elektronik.

3. Amak Tayangen dan Amak Kapal

Amak Tayangen adalah istilah yang merujuk kepada tikar sebagai alas duduk atau alas tiduran. Biasanya yang digunakan adalah tikar anyaman dari daun bengkuang.

Tikar sebagai alas duduk atau alas tiduran merupakan terjemahan langsung dari rekaman realitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia. Sementara itu yang dimaksud amak kapal adalah tilam atau kasur.

Bahwa manusia suka berpikir saat duduk-duduk atau saat tiduran, saya kira bisa kita jumpai di masyarakat pada suku apa pun. Amak tayangen dan amak kapal diberikan sebagai simbol harapan agar kedua mempelai selalu mempergunakannya untuk memikirkan semua hal yang baik dalam kehidupan, baik saat duduk-duduk maupun saat tiduran di atasnya.

Amak tayangen dan amak kapal (Dokpri)
Amak tayangen dan amak kapal (Dokpri)
4. Manuk Asuhen

Ada sebuah ungkapan populer dalam bahasa Karo yang berbunyi, "Mbur-mbur taruk, kertang-kertang manuk, tabehen denga niakap manuk." Bila diterjemahkan, maknyanya kurang lebih, segemuk-gemuknya pucuk daun jambe (labu), dan sekurus-kurusnya ayam, masih terasa lebih enak daging ayam.

Pemberian manuk asuhen atau ayam peliharaan, dari pihak kalimbubu (pihak pemberi istri atau pihak keluarga dari ibu), bermakna agar kedua mempelai mampu menghidangkan sajian yang enak setiap kali menjamu keluarga atau kerabat yang datang berkunjung. Sebab, bagaimana pun mereka juga lebih suka sajian yang enak ketimbang yang biasa saja.

Namun, jelas sekali bahwa tidak semua orang mau, mampu dan bisa memelihara ayam. Ini hanya semacam simbol.

Seperangkat
Seperangkat "Luah Adat" pada pesta adat pernikahan suku Karo; kudin, lampu, dan ayam untuk peliharaan. | dokpri

Wasana Kata dan Sanggahan

Luah adat, saat diberi arti sebagai pemberian, oleh-oleh, atau pun bingkisan adat, itu adalah semacam media untuk doa dan harapan dalam kehidupan. Selain masih ada yang bisa difungsikan dalam realitas sehari-hari, selebihnya hanya sebatas media penyampai pesan yang bermakna simbolik.

Sebab, akan menjadi masalah juga, seandainya kedua mempelai berdomisili di tempat yang jauh, atau katakanlah di luar negeri. Pelaksanaan pesta adat di kampung halaman hanya karena tuntutan adat, padahal keduanya bisa saja sudah tidak kenal sama sekali dengan kehidupan kampung.

Tentu akan sangat merepotkan bila semua bingkisan atau oleh-oleh adat itu dimaknai secara harfiah. Bagaimana repotnya, bahkan mungkin akan terkena larangan, bila harus membawa lampu teplok, periuk, tikar, dan ayam untuk peliharaan dalam perjalanan antar kota, antar provinsi, atau bahkan antar negara, baik dengan menggunakan bus, kereta api, kapal laut, mapun dengan pesawat terbang.

Apakah ini berarti bahwa perlu adanya penyesuaian bentuk simbol-simbol adat, akibat perkembangan teknologi atau kemajuan zaman? Atau apakah lebih baik agar simbol-simbol adat yang dipergunakan juga disesuaikan dengan perkembangan keadaan, sehingga selain menyampaikan makna filosofis, benda-benda simbolik itu juga bermanfaat secara fungsional?

Barang kali tokoh adat yang lebih berkompeten untuk menjelaskannya. Sebab penulis bukan seorang budayawan, hanya suka memotret realitas dan menyajikannya ke hadapan pembaca lewat tulisan sederhana. Salam budaya. Mejuah-juah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun