3. Amak Tayangen dan Amak Kapal
Amak Tayangen adalah istilah yang merujuk kepada tikar sebagai alas duduk atau alas tiduran. Biasanya yang digunakan adalah tikar anyaman dari daun bengkuang.
Tikar sebagai alas duduk atau alas tiduran merupakan terjemahan langsung dari rekaman realitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia. Sementara itu yang dimaksud amak kapal adalah tilam atau kasur.
Bahwa manusia suka berpikir saat duduk-duduk atau saat tiduran, saya kira bisa kita jumpai di masyarakat pada suku apa pun. Amak tayangen dan amak kapal diberikan sebagai simbol harapan agar kedua mempelai selalu mempergunakannya untuk memikirkan semua hal yang baik dalam kehidupan, baik saat duduk-duduk maupun saat tiduran di atasnya.
Ada sebuah ungkapan populer dalam bahasa Karo yang berbunyi, "Mbur-mbur taruk, kertang-kertang manuk, tabehen denga niakap manuk." Bila diterjemahkan, maknyanya kurang lebih, segemuk-gemuknya pucuk daun jambe (labu), dan sekurus-kurusnya ayam, masih terasa lebih enak daging ayam.
Pemberian manuk asuhen atau ayam peliharaan, dari pihak kalimbubu (pihak pemberi istri atau pihak keluarga dari ibu), bermakna agar kedua mempelai mampu menghidangkan sajian yang enak setiap kali menjamu keluarga atau kerabat yang datang berkunjung. Sebab, bagaimana pun mereka juga lebih suka sajian yang enak ketimbang yang biasa saja.
Namun, jelas sekali bahwa tidak semua orang mau, mampu dan bisa memelihara ayam. Ini hanya semacam simbol.
Wasana Kata dan Sanggahan
Luah adat, saat diberi arti sebagai pemberian, oleh-oleh, atau pun bingkisan adat, itu adalah semacam media untuk doa dan harapan dalam kehidupan. Selain masih ada yang bisa difungsikan dalam realitas sehari-hari, selebihnya hanya sebatas media penyampai pesan yang bermakna simbolik.