Sebab, akan menjadi masalah juga, seandainya kedua mempelai berdomisili di tempat yang jauh, atau katakanlah di luar negeri. Pelaksanaan pesta adat di kampung halaman hanya karena tuntutan adat, padahal keduanya bisa saja sudah tidak kenal sama sekali dengan kehidupan kampung.
Tentu akan sangat merepotkan bila semua bingkisan atau oleh-oleh adat itu dimaknai secara harfiah. Bagaimana repotnya, bahkan mungkin akan terkena larangan, bila harus membawa lampu teplok, periuk, tikar, dan ayam untuk peliharaan dalam perjalanan antar kota, antar provinsi, atau bahkan antar negara, baik dengan menggunakan bus, kereta api, kapal laut, mapun dengan pesawat terbang.
Apakah ini berarti bahwa perlu adanya penyesuaian bentuk simbol-simbol adat, akibat perkembangan teknologi atau kemajuan zaman? Atau apakah lebih baik agar simbol-simbol adat yang dipergunakan juga disesuaikan dengan perkembangan keadaan, sehingga selain menyampaikan makna filosofis, benda-benda simbolik itu juga bermanfaat secara fungsional?
Barang kali tokoh adat yang lebih berkompeten untuk menjelaskannya. Sebab penulis bukan seorang budayawan, hanya suka memotret realitas dan menyajikannya ke hadapan pembaca lewat tulisan sederhana. Salam budaya. Mejuah-juah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H