Saya menganggit dua artikel yang bersandar pada pelajaran tentang puisi dari Mas Azis untuk tulisan yang berjudul "Tenah Lau Binge, Kutitip Rindu pada Sungai Mengalir Jauh" , dan "Belajar Menulis Puisi tentang Ibu, Sambil Berlari Terbirit-birit di Sebuah Kelas Berjalan."
Persahabatan kami dalam semangat berbagi di dunia literasi memang masih sebatas di Kompasiana, itu pun singkat sekali. Namun, ada ciri khas dari mendiang dalam komunikasi kami yang sering memanggil saya "ayah".
Awalnya saya merasa sebutan ini sebagai candaan saja. Begitu pun, saya merasa terhormat bila memang pernah memiliki seorang "anak literasi" Â berkebangsaan Indonesia dari suku Jawa.
Berikut adalah lirik dari lagu di video singkat itu:
Tresno lir tirto gumanti dahono awit siro marang roso
Endah rumembyak rekmamu dadyo angenku saben dalu
Lirik ini kemudian dia artikan menjadi kurang lebih seperti ini.
Cinta yang mengalir seperti air berubah seperti api
Setelah kau meragukan rasa ini
Indah rambutmu yang terurai selalu tiba di dalam mimpiku setiap malam
Menurutnya, inti dalam lagu ini adalah bahwa sang pencipta lagu merasakan sakit hati, karena cinta yang seperti air mengalir kini menjadi api. Namun sang pencipta lagu ini masih tetap memegang teguh janjinya.
Itu adalah kesan terakhir yang saya dapatkan dari mendiang, sehubungan dengan kecintaannya kepada kebudayaan Jawa dan penghargaannya terhadap Tanah Karo dan kebudayaan Karo secara umum, menurut pandangan saya. Teks yang menjadi lead tulisan ini, adalah kutipan dari mendiang pada video singkat itu.
Doa terbaik untukmu, Le. Kami akan tetap mengenang kebersamaan kita yang sangat singkat ini. Tenanglah jiwamu di keabadian, Temanku.