Uga dage turang (lalu bagaimana)
Uga siban arihta (apakah kita perlu saling membuka hati)
Gelah ula turang (agar kita)
Kita terjeng pejumpa mata (tidak sekedar bertemu pandang)
Ciremndu (senyummu)
Nggo jadi nipingku (datang dalam mimpiku)
Nggo tangkel bas pusuhku (sudah tinggal di hatiku)
Uga ndia kubahan bangku (aku harus bagaimana)
Tendingku (jiwaku)
Nggo ngelayah ngayaki awindu (sudah pergi mengembara mengejar bayangmu)
Pusuhku (hatiku)
Nggo tabanndu (tertawan olehmu)
La terlupaken aku ciremndu (tak bisa kulupakan senyummu)
Ras pertawandu, penering mata ndu (begitu juga dengan caramu tertawa, lirikan matamu)
Tempa-tempa "aloi aku ma iting" nindu (seolah-olah "sambutlah aku sayang" begitu katamu)
La terlupaken aku ciremndu (tak bisa kulupakan senyummu)
Ras pertawandu, penering mata ndu (begitu juga dengan caramu tertawa, lirikan matamu)
Tempa-tempa "man bandu aku ma iting" nindu (seolah-olah "milikilah aku sayang" begitu katamu)
Uga dage turang (lalu bagaimana)
Uga siban arihta (apakah kita perlu saling membuka hati)
Gelah ula turang (agar kita)
Kita terjeng pejumpa mata (tidak sekedar bertemu pandang)
Ciremndu (senyummu) ho... ho...
ciremndu (senyummu) ho... ho...
Jujur, saya belum ada menemukan lagu ciptaan Plato yang adalah muridnya Socrates. Satu hal yang jelas, Plato telah mengukir sebuah piagam kehidupan yang memberikan bukti sejarah dari masa lalu bahwa sesuatu yang dipandang konyol bisa saja menjadi hal besar di masa depan.
Mainkan musiknya, Bang.
Rujukan:
1. Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2017
2. The Republic (Plato)