Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersama Tidak Harus Sama, Kita Sama-sama Punya Rasa

17 November 2020   00:04 Diperbarui: 17 November 2020   08:44 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini, ingin itu, banyak sekali..."

Begitulah sepenggal lirik lagu pembuka serial kartun anak-anak Doraeman di televisi. Dalam kenyataan, keinginan yang banyak dari sekian banyak orang dalam berbagai perbedaannya ternyata menjadi salah satu ujian besar bagi terwujudnya sikap toleransi.

Toleransi dalam sudut pandang Ben Dupre sebagaimana diulas dalam buku "50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui", adalah sebuah pokok persoalan dengan gagasan inti tentang kebijakan yang bermasalah dan paradoksal.

Kita harus toleran satu sama lain karena kita semua lemah, inkonsisten, besar kemungkinan bersikap plintat-plintut, dan melakukan kesalahan. Katanya, "Haruskah ilalang yang terbaring rendah di dalam lumpur terkena tiupan angin berkata kepada sesama ilalang yang jatuh ke arah yang berlawanan, 'Merangkaklah seperti aku, hai si malang, atau aku akan meminta agar engkau dicabik akar-akar itu dan dibakar?'"

Tentu saja ada batas-batas untuk toleransi, tetapi umumnya masyarakat diperbolehkan untuk melakukan dan memikirkan apa yang mereka suka, asalkan tindakan-tindakan dan keyakinan-keyakinan mereka tidak merugikan orang lain.

Oleh sebab itu, tidak boleh mencakup kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang melukai dan melanggar hak-hak orang lain, yang mana manusia sering kali secara sadar atau tidak sering melakukannya.

Kita bersama-sama perlu memahami bahwa kita hidup di antara manusia dengan nilai-nilai yang tidak sama. Untuk itu dibutuhkan kesabaran, sikap fleksibel, toleransi dan memahami suasana kearifan setempat di lingkungan dimana kita disatukan saat ini. Dengan sikap seperti itu setiap orang akan merasa bahwa keberadaan mereka penting.

Mudah mengucapkannya (termasuk menuliskannya), kenyataannya sikap seperti itu tidak mudah dilakukan dan selalu saja menemui ujiannya. Dengan kata lain, kita mungkin tidak akan pernah tamat mempelajari toleransi.

Tidak mudah untuk bisa saling memahami. Padahal masing-masing kita pasti punya pengalaman, kalau saling memahami pasti akan membuat hidup kita terasa lebih damai.

Barangkali itu pulalah sebabnya, mereka yang sanggup memahami orang lain takjarang akan menjadi orang yang paling penting di lingkungannya. Mau atau tidak mau.

Sebagaimana jalan hidup setiap orang yang berbeda-beda, menjadi orang penting dimaksud di sini juga tidak memiliki batasan tunggal. Menjadi penting bisa saja di tengah keluarga bukan di luar sana, dan barangkali justru itu yang terutama. Sebab, bagaimana mungkin menjadi penting bagi orang banyak di saat keluarga sendiri tidak terurus?

Dalam banyak hal dengan kepentingan dan sudut pandang yang berbeda-beda, kita mungkin harus menyesuaikan diri. Namun, pasti tetap ada minimal satu hal penting bagi setiap orang yang harus tetap dipertahankan, karena sifatnya mutlak sekalipun di tengah toleransi terhadap berbagai nilai. Itulah realita hidup di tengah kemajemukan.

Pernah suatu kali saat sarapan pagi di hari Minggu sepulang ibadah di gereja, dekat terminal transit sebuah angkutan kota tempat tinggal kami, kami sekeluarga sarapan pagi diselingi panggilan menggema suara bernada bariton sang kondektur angkot yang memanggil-memanggil para calon penumpang. "Mari, mari, Berastagi, Berastagi, pasti cepat, mari, mari!", demikian panggilan menggema itu berulang-ulang.

Secara spontan anak kami yang paling tua berujar, "Besar kali suara abang itu, kayak dia nelan speaker terus speakernya nempel di lehernya, ya?"

Karena saat itu aku memakan ikan yang memiliki banyak sekali duri, maka kutekuni saja makanku tanpa menanggapi omongannya, takut nanti tertelan duri ikan dan menempel di leherku, hingga menjepit pita suara. Barangkali saja akan membuat suara melengking tinggi seperti wanita bersuara sopran di orkestra, yang tampak melotot setiap kali menyanyikan nada tinggi, entah karena sesak nafas oleh sebab kemben yang melilit ketat di pinggangnya, atau itu sebuah ekspresi alami.

Gambaran kontras singkat, antara kondektur angkot bersuara bariton dengan wanita opera bersuara sopran di meja sarapan pagi dekat terminal pada sebuah Minggu pagi itu, hanyalah sebuah ilustrasi. Deskripsi mereka dalam nada suara tentu saja menegaskan kalau mereka berdua berasal dari tempat dan kebiasaan yang sama sekali berbeda.

Mengutip perkataan George Washington Carver, "Seberapa jauh perjalanan kita dalam mengarungi hidup bergantung pada kelembutan kita pada kaum muda, hormat dan kasih kepada kaum tua, sikap simpati kepada yang kelaparan, dan toleransi baik kepada yang lemah maupun yang kuat. Karena pada suatu hari dalam hidup, kita akan mengalami semua ini".

Carver (lahir 12 Juli 1864, meninggal 5 Januari 1943 dalam usia 79 tahun), adalah seorang penemu, ilmuwan, guru, dan pioner di bidang pertanian Amerika Serikat. Ibunya adalah seorang budak kulit hitam bernama Mary, ayahnya meninggal karena terlindas gerobak pengangkut kayu beberapa saat setelah dia dilahirkan.

Menjadi berbeda tidak harus mengalami sebuah integrasi terpaksa. Muda, tua, kelaparan, lemah, kuat, hanyalah sedikit dari sekian banyak kondisi yang pernah, sedang, dan mungkin akan kita alami. Untuk itu kita perlu memiliki sikap toleransi sekaligus simpati terhadap orang dalam segala situasi.

Dalam konteks negara bangsa dengan beragam suku, agama, ras dan antar golongan sebagaimana Indonesia, kebutuhan akan adanya sikap toleransi adalah sebuah keniscayaan dalam keberagaman kita.

Rene Dubos (1981) mengatakan "Keberagaman manusia membuat toleransi lebih dari sekadar kebajikan, hal itu membuat toleransi menjadi sebuah persyaratan hidup." Sementara itu, Voltaire (1906) mengatakan "Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tetapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakannya."

Multikulturalisme telah berkembang dari akar-akar liberal. Multikulturalisme mempertahankan agar pluralitas cara hidup yang berbeda harus ditoleransi atau bahkan didorong, asalkan tidak merugikan atau mengganggu orang lain.

Tetapi multikulturalisme secara tegas telah menolak pandangan asimilatif mengenai kesetaraan sebagai kesamaan. Sabaliknya, multikulturalisme telah bertindak sebagai pelopor dari apa yang disebut sebagai "politik identitas" yang telah mentransformasi area-area lain dari aktivisme politik.

Contoh dalam hal ini adalah, etnis minoritas, termasuk kaum imigran, kini menuntut agar budaya dan nilai-nilai asli mereka diberikan pengakuan yang sama dan diizinkan untuk mengekspresikan diri mereka dalam kebenaran dan istilah-istilah mereka sendiri.

Dalam kondisi keberagaman seperti itu, sangat terbuka celah lahirnya perasaan terluka. Sebab tidak ada satu cara tunggal yang bisa dipakai untuk memuaskan setiap orang dalam situasi yang penuh dengan perbedaan. Apa yang bisa kita kembangkan untuk mengatasi hal yang demikian adalah, memiliki hati yang penuh dengan kesabaran dan sikap mudah memaafkan.

Sikap panjang sabar dan penuh rasa memaafkan kiranya sangat relevan dalam upaya menikmati ke-Indonesia-an. Toleransi dan multikulturalime adalah berkah sekaligus ujian. Setiap luka, baik yang timbul dalam tindakan dan ucapan perlu disembuhkan dengan sikap saling memaafkan.

Menariknya, sikap terlalu terbuka pada diri kita pun ternyata bisa menjadi sikap yang tertutup sekaligus. Toleransi dalam multikulturalisme memberikan kita energi dalam memahami perbedaan, sebagaimana bahan-bahan dalam semangkuk salad, setiap diri bisa memberi rasa dan bila bersatu menjadi enak.

Meskipun untuk itu, toleran dalam multikulturalisme, terkadang kita dipaksa berpikir keras. Sayangnya, kebebasan berpikir takjarang tampak hanya dalam tataran ide, dan tidak menjadi prasyarat hidup merdeka sekaligus bertanggung jawab.

Dalam hal-hal sepele kita mungkin bisa merasakannya. Mana kala orang-orang zaman sekarang mampu ber-selfie atau wefie dengan keahlian menyamarkan rasa. Kalau aku biasanya langsung kelihatan pas fotonya sudah jadi, senyum tapi bibir agak kaku begitu.

Induk semang Latsitarda, Desa Gisting Bawah, Tanggamus, Lampung, 2004 (Dokpri)
Induk semang Latsitarda, Desa Gisting Bawah, Tanggamus, Lampung, 2004 (Dokpri)
Maka sangat penting mengajari manusia sejak anak-anak hingga mampu menjadi manusia yang penuh sikap toleransi, sebab jika anak hidup dengan kekerasan, ia akan belajar untuk melawan. Jika anak hidup dengan toleransi, ia akan belajar bersabar.

Bersama tidak harus sama, karena kita sama-sama punya rasa. Jujur sangat penting untuk bisa hidup bersama. Sebab seperti salah satu kata mutiara Imam Ali Bin Abi Thalib, "Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal: Kepercayaan, Cinta dan Rasa Hormat".

Selamat Hari Toleransi Internasional, 16 November 2020

Referensi: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun