Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersama Tidak Harus Sama, Kita Sama-sama Punya Rasa

17 November 2020   00:04 Diperbarui: 17 November 2020   08:44 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Multikulturalisme telah berkembang dari akar-akar liberal. Multikulturalisme mempertahankan agar pluralitas cara hidup yang berbeda harus ditoleransi atau bahkan didorong, asalkan tidak merugikan atau mengganggu orang lain.

Tetapi multikulturalisme secara tegas telah menolak pandangan asimilatif mengenai kesetaraan sebagai kesamaan. Sabaliknya, multikulturalisme telah bertindak sebagai pelopor dari apa yang disebut sebagai "politik identitas" yang telah mentransformasi area-area lain dari aktivisme politik.

Contoh dalam hal ini adalah, etnis minoritas, termasuk kaum imigran, kini menuntut agar budaya dan nilai-nilai asli mereka diberikan pengakuan yang sama dan diizinkan untuk mengekspresikan diri mereka dalam kebenaran dan istilah-istilah mereka sendiri.

Dalam kondisi keberagaman seperti itu, sangat terbuka celah lahirnya perasaan terluka. Sebab tidak ada satu cara tunggal yang bisa dipakai untuk memuaskan setiap orang dalam situasi yang penuh dengan perbedaan. Apa yang bisa kita kembangkan untuk mengatasi hal yang demikian adalah, memiliki hati yang penuh dengan kesabaran dan sikap mudah memaafkan.

Sikap panjang sabar dan penuh rasa memaafkan kiranya sangat relevan dalam upaya menikmati ke-Indonesia-an. Toleransi dan multikulturalime adalah berkah sekaligus ujian. Setiap luka, baik yang timbul dalam tindakan dan ucapan perlu disembuhkan dengan sikap saling memaafkan.

Menariknya, sikap terlalu terbuka pada diri kita pun ternyata bisa menjadi sikap yang tertutup sekaligus. Toleransi dalam multikulturalisme memberikan kita energi dalam memahami perbedaan, sebagaimana bahan-bahan dalam semangkuk salad, setiap diri bisa memberi rasa dan bila bersatu menjadi enak.

Meskipun untuk itu, toleran dalam multikulturalisme, terkadang kita dipaksa berpikir keras. Sayangnya, kebebasan berpikir takjarang tampak hanya dalam tataran ide, dan tidak menjadi prasyarat hidup merdeka sekaligus bertanggung jawab.

Dalam hal-hal sepele kita mungkin bisa merasakannya. Mana kala orang-orang zaman sekarang mampu ber-selfie atau wefie dengan keahlian menyamarkan rasa. Kalau aku biasanya langsung kelihatan pas fotonya sudah jadi, senyum tapi bibir agak kaku begitu.

Induk semang Latsitarda, Desa Gisting Bawah, Tanggamus, Lampung, 2004 (Dokpri)
Induk semang Latsitarda, Desa Gisting Bawah, Tanggamus, Lampung, 2004 (Dokpri)
Maka sangat penting mengajari manusia sejak anak-anak hingga mampu menjadi manusia yang penuh sikap toleransi, sebab jika anak hidup dengan kekerasan, ia akan belajar untuk melawan. Jika anak hidup dengan toleransi, ia akan belajar bersabar.

Bersama tidak harus sama, karena kita sama-sama punya rasa. Jujur sangat penting untuk bisa hidup bersama. Sebab seperti salah satu kata mutiara Imam Ali Bin Abi Thalib, "Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal: Kepercayaan, Cinta dan Rasa Hormat".

Selamat Hari Toleransi Internasional, 16 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun