Lau atau sungai Bingai adalah nama sebuah aliran sungai di provinsi Sumatra Utara, yang berhulu di sungai Wampu. Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu merupakan DAS besar yang mengaliri baik Tanah Karo, kabupaten Langkat maupun Binjai, Sumatera Utara. Sungai Wampu ini bermuara ke selat Malaka.
Lau atau sungai, disebut juga sei. Sei Bingai yang juga adalah nama sebuah kecamatan di kabupaten Langkat, Sumatra Utara, sebagiaan besar penduduknya adalah suku Karo, sebanyak 60%. Disusul suku Melayu 20%, Jawa 8%, dan selebihnya suku-suku lain yang ada di kabupaten Langkat.
Menggunakan sungai "Lau Binge" sebagai metafora penyampai rasa rindu sang pemuja kepada kekasih pujaan hatinya dalam lagu "Tenah Lau Binge" adalah cara alm. Djaga Depari, menurut kacamata penulis, untuk menggambarkan besarnya rasa rindu itu. Sekaligus terkandung harapan bahwa rasa rindu yang membuncah itu tetap akan sampai dibawa aliran sungai yang mengalir sampai jauh, bahkan hingga bermuara ke samudra raya.
Saya memang tidak mendapatkan data jelas kapan lagu ini diciptakan. Namun, membedah makna lagu Tenah Lau Binge ini, tentu kita tidak bisa terlepas dari ulasan atas bentuk syair yang membentuk lagu ini.
Untuk membahas bentuk syair, saya mendapatkan sebuah masukan yang sangat berarti dari seorang sahabat Kompasianer, Abdul Azis, lewat artikelnya berjudul "Mengenal Jenis Puisi Baru dan Contohnya".Â
Di sana dijelaskan bahwa puisi yang terdiri dari 4 baris dalam 1 baitnya, yang juga sangat umum dijumpai di Kompasiana, disebut puisi Quatrain. Sementara itu, puisi pendek yang menggunakan bahasa sensorik untuk menangkap perasaan atau gambar, yang terinspirasi dari elemen alam, momen indah, atau pengalaman mengharukan, disebut puisi Haiku.
Dalam hubungannya dengan syair lagu Tenah Lau Binge yang terasa sendu nan ngelangut di akhir pekan ini, rasanya syair lagu ini berasal dari sebentuk puisi yang ditulis oleh alm. Djaga Depari. Puisi dalam bentuk Haiku dan Quatrain sekaligus .
Lebih jauh, saya juga mendapatkan masukan dari sebuah tulisan Goenawan Mohamad yang diunggah di media sosialnya, yang diberi judul AMIR DAN 1928. Ya, yang dimaksukan Mas Goen tidak lain adalah Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal dengan nama pena Amir Hamzah.
Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur, Hindia Belanda, pada 28 Februari 1911. Ia meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, pada 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun. Ia adalah sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Kata Mas Goen, di masa sekitar tahun "Sumpah Pemuda", sajak Amir Hamzah tetap membawakan "rasa Melayu", dengan ritme dan jumlah silabel yang reguler dari baris ke baris, hingga rasanya tak jarang mirip pantun.
Metaforanya datang dari ekologi hidup pedalaman, dari flora dan fauna di alam yang belum diubah modernitas: puisinya menyebut "cempaka," "pandan," "melati", atau "murai" dan "pungguk", atau suara "seruling" dan "bangsi".