Tenah Lau Binge adalah judul sebuah lagu lawas berbahasa Karo yang diciptakan oleh komponis nasional Indonesia, putra kebanggaan Tanah Karo, alm. Djaga Depari.
Ia dilahirkan pada 5 Mei 1922 dari keluarga Ngembar Sembiring Depari dan Siras Br. Karo Sekali di desa Seberaya, Karolanden, Hindia Belanda (sekarang Kabupaten Karo, Sumatra Utara). Ia meninggal dalam usia 41 tahun, pada 15 Juli 1963.
Lagu ciptaannya yang mungkin lebih dikenal luas berjudul "Piso Surit". Lagu ini pernah diaransemen oleh musikus Viky Sianipar, yang berhasil mengeksplorasi kesan aura mistis alunan musiknya dalam balutan khas suara kulcapi (kecapi dalam bahasa Karo).
Memperhatikan lagu-lagu ciptaan alm. Djaga Depari, dengan syair-syair yang indah dan romantis banyak terinspirasi oleh unsur-unsur alam, kehidupan masyarakat, dan percintaan. Selain itu ia juga banyak menciptakan lagu dan syair yang bertema perjuangan (patriotisme).
Warisan kekayaan dalam bakat berkesenian alm. Djaga Depari, walaupun mungkin kurang banyak diketahui oleh generasi muda Karo sendiri, sebenarnya adalah salah satu sumber moralitas masyarakat Karo untuk berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah pada masa lalu.Â
Beberapa lagu bertema perjuangan yang diciptakannya di antaranya Erkata Bedil, Sora Mido, I Juma-juma i Padang Sambo, Pio-pio, Taneh Karo Simalem, dan lain-lain.
Alm. Djaga Depari tidak pernah mengecap pendidikan musik formal, tetapi ia piawai bermain biola. Menariknya, sebagai seorang komponis, dan pencipta lagu, ia juga adalah seorang penulis. Jadi tidak heran, manakala ia mampu menganggit syair-syair yang menyentuh dan indah, maupun membakar semangat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui lagu-lagunya.
Atas dasar itulah kepadanya dianugrahkan gelar sebagai komponis nasional Indonesia. Selain itu, untuk mengenang jasa-jasanya, telah dibangun sebuah monumen "Djaga Depari", yang berlokasi di persimpangan Jl. Patimura, Jl. Sultan Iskandar Muda dan Jl. Letjen. Djamin Ginting, Medan, Sumatera Utara.
Kali ini, masih dalam suasana ngelangut, karena pengaruh lagu Melati Suci ciptaan Guruh Soekarnoputra, maka kita hanya akan mencermati lebih jauh makna dalam lagu Tenah Lau Binge ciptaan Djaga Depari ini saja. Rasanya pas dalam suasana malam minggu, terutama bagi mereka yang sedang berada dalam sebuah hubungan jarak jauh. Hehe.
Eits, jangan dikira long distance relationship (LDR) itu hanya bagiannya anak muda dalam hubungan percintaannya saja. Rasa rindu bisa kepada orang tua, kepada keluarga, termasuk kepada kampung halaman, bagi mereka yang sedang jauh di perantauan.
Secara bebas, tenah berarti pesan/undangan, lau berarti sungai. "Tenah Lau Binge" bisa diterjemahkan menjadi "Pesan Rindu Sungai Bingai".
Lau atau sungai Bingai adalah nama sebuah aliran sungai di provinsi Sumatra Utara, yang berhulu di sungai Wampu. Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu merupakan DAS besar yang mengaliri baik Tanah Karo, kabupaten Langkat maupun Binjai, Sumatera Utara. Sungai Wampu ini bermuara ke selat Malaka.
Lau atau sungai, disebut juga sei. Sei Bingai yang juga adalah nama sebuah kecamatan di kabupaten Langkat, Sumatra Utara, sebagiaan besar penduduknya adalah suku Karo, sebanyak 60%. Disusul suku Melayu 20%, Jawa 8%, dan selebihnya suku-suku lain yang ada di kabupaten Langkat.
Menggunakan sungai "Lau Binge" sebagai metafora penyampai rasa rindu sang pemuja kepada kekasih pujaan hatinya dalam lagu "Tenah Lau Binge" adalah cara alm. Djaga Depari, menurut kacamata penulis, untuk menggambarkan besarnya rasa rindu itu. Sekaligus terkandung harapan bahwa rasa rindu yang membuncah itu tetap akan sampai dibawa aliran sungai yang mengalir sampai jauh, bahkan hingga bermuara ke samudra raya.
Saya memang tidak mendapatkan data jelas kapan lagu ini diciptakan. Namun, membedah makna lagu Tenah Lau Binge ini, tentu kita tidak bisa terlepas dari ulasan atas bentuk syair yang membentuk lagu ini.
Untuk membahas bentuk syair, saya mendapatkan sebuah masukan yang sangat berarti dari seorang sahabat Kompasianer, Abdul Azis, lewat artikelnya berjudul "Mengenal Jenis Puisi Baru dan Contohnya".Â
Di sana dijelaskan bahwa puisi yang terdiri dari 4 baris dalam 1 baitnya, yang juga sangat umum dijumpai di Kompasiana, disebut puisi Quatrain. Sementara itu, puisi pendek yang menggunakan bahasa sensorik untuk menangkap perasaan atau gambar, yang terinspirasi dari elemen alam, momen indah, atau pengalaman mengharukan, disebut puisi Haiku.
Dalam hubungannya dengan syair lagu Tenah Lau Binge yang terasa sendu nan ngelangut di akhir pekan ini, rasanya syair lagu ini berasal dari sebentuk puisi yang ditulis oleh alm. Djaga Depari. Puisi dalam bentuk Haiku dan Quatrain sekaligus .
Lebih jauh, saya juga mendapatkan masukan dari sebuah tulisan Goenawan Mohamad yang diunggah di media sosialnya, yang diberi judul AMIR DAN 1928. Ya, yang dimaksukan Mas Goen tidak lain adalah Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal dengan nama pena Amir Hamzah.
Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur, Hindia Belanda, pada 28 Februari 1911. Ia meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, pada 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun. Ia adalah sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Kata Mas Goen, di masa sekitar tahun "Sumpah Pemuda", sajak Amir Hamzah tetap membawakan "rasa Melayu", dengan ritme dan jumlah silabel yang reguler dari baris ke baris, hingga rasanya tak jarang mirip pantun.
Metaforanya datang dari ekologi hidup pedalaman, dari flora dan fauna di alam yang belum diubah modernitas: puisinya menyebut "cempaka," "pandan," "melati", atau "murai" dan "pungguk", atau suara "seruling" dan "bangsi".
Mari kita perhatikan lirik lagu "Tenah Lau Binge" dari alm. Djaga Depari berikut ini. Saya juga menyertakan utas ke kanal YouTube yang menayangkan video musiknya, baik dalam versi musik etnik Karo, maupun versi akustik kontemporernya.
Siapa tahu, di antara pembaca ada yang mau mencoba meresapi kerinduan yang mendalam, dalam rasa alam serta budaya Tanah Karo pada lagu sendu ini. Maka kita bisa merasa ngelangut bersama-sama di sini. Hehe.
Sekali lagi, hubungan jarak jauh itu bukan hanya soal cinta muda-mudi. Siapa tahu di antara kalian ada yang sedang jauh dari orang tua, dari kampung halaman, atau kalian merasakan kesendirian dalam keramaian. Lagu ini akan menemani kalian.
Kalau mau mencoba menyanyikannya juga tidak sulit. Syair lagu ini terdiri atas 6 bait, yang sebenarnya hanyalah pengulangan, karena dinyanyikan secara bergantian oleh pria dan wanita. Bait 1 hingga 3 dinyanyikan oleh wanita, sedangkan bait 4 hingga 6 dinyanyikan oleh pria.
Sekarang mari kita perhatikan perbaitnya. Seperti kata Mas Goen, puisi ini mirip dengan pantun, sebagaimana rasa puisi Amir Hamzah pada tahun sekitar Sumpah Pemuda itu.
Baris 1 dan 2 pada setiap bait syair lagu ini adalah sampiran. Lirik baris 1 nyaris sama dengan baris 2, hanya berbeda pada satu dua kata di akhirnya, sedangkan baris 3 dan 4 adalah isi, sama prinsipnya dengan baris 1 dan 2.
gundera lenga nge rirangken jera o rudang simayang
gundera lenga nge rirangken jera o iketen buluh la belobo
enda erlumut-lumut turang kudengdengi
enda erlumut-lumut tapinna Selandi
ugapa denga ningku nirangken kena oh... mama karona
ugapa denga ningku nirangken kena oh... Â bere biringna la megogo
adi enggo rulut ulut turang mesayang
adi enggo rulut ulut kenang ateku jadi
bage kin gia ola nai kena ertenah nande tigan nindu
bage kin gia ola nai kena ertenah bere biring nindu ari turang
pas bagi singayaki batuna simegulang turang
adina ayakindu pe erdauhna mesayang
e padang bulan nina simpang selayang nande tiganku
padang bulan nina simpang selayang oh nande tiganku la megogo
enda nde singgah aku bagenda turang
enda singgah kal aku kilometer 10
terang bulan aku terbayang bayang oh.. bere biringku
terang bulan aku terbayang bayang oh... turang si nguda la megogo
e tarum nginget kena oh... morah ateku
piah terang wari mataku la banci tunduh
bage kin gia ola nai kena ertenah mama Karo nindu
bage kin gia ola nai kena ertenah mama karo nindu turang
pas bagi singayaki batuna megulang
aminna ayakindu erdauhna mesayang
Berikut ini adalah video musiknya dalam versi musik etnik Karo:
Berikut ini adalah video musiknya dalam versi akustik kontemporer:
Saya akan mencoba menterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, makna syair lagu ini. Namun, bukan secara letterlek bait per baitnya. Melainkan merangkumnya secara umum, dan memparafrase puisi rasa pantun ini ke dalam bentuk puisi yang lain, hanya untuk sekadar memudahkan pembaca dalam memahami maknanya.
Sayangku,
Seperti pemandian umum yang berlumut
Bagaimanakah aku akan menahankan perpisahan ini
Sayangku,
Rasa cintaku padamu sudah sedemikian kusut berliku
Sayangku,
Jangan lagi titip rindumu padaku
Itukah pintamu, Sayangku
Ibarat mengejar batu menggelinding
Semakin kukejar, semakin engkau menjauh, Sayangku
Padang Bulan, Simpang Selayang
Aku singgah di kilometer 10
Aku terbayang di bawah terang cahaya bulan
Demi membayangkan remang paras wajahmu
Hingga mentari terbit, mataku enggan terpejam
Jadi, sama dengan lahirnya sebuah lagu pada zaman ini, yang seringkali diinspirasi oleh disrupsi teknologi, termasuk dalam meresapi perasaan rindu akibat sebuah hubungan jarak jauh.Â
Maka sebagaimana tergambar dalam lirik-lirik yang mengutip kata "sms", "handphone", "radio", "televisi", "jet plane", itu adalah media atau sarana penuntasan rasa rindu dari orang-orang pada zaman ini.
Dulu, kami pernah menyampaikan rasa ridu kami lewat sungai. Rasanya, kami akan tetap merindukan rasa rindu yang seperti itu. Hari ini masih kutitip rasa rindu itu lewat sungai yang mengalir sampai jauh, lewat "Tenah Lau Binge".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H