Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Cimpa Hekter", Mewarisi Tradisi dalam Penyesuaian

30 Oktober 2020   16:19 Diperbarui: 30 Oktober 2020   17:05 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membuat Cimpa Hekter (dokpri)

Masih dalam suasana liburan panjang akhir bulan Oktober 2020, kita mencari alternatif liburan edukatif bagi anak-anak. Mereka adalah salah satu pihak yang paling merasakan efek dilematis liburan dengan pergerakan terbatas pada masa pandemi covid-19.

Liburan kreatif nan edukatif bagi anak dalam bingkai transfer nilai tradisi, mengapa tidak? Orang tua juga memiliki lebih banyak kesempatan belajar bersama anak-anak dalam situasi ini. 

Cimpa hekter adalah penganan tradisonal lainnya pada suku Karo. Dikemas balutan daun bengkuang.

Daun Bengkuang (dokpri)
Daun Bengkuang (dokpri)
Daun ini dipakai juga menjadi bahan anyaman tikar, sumpit (wadah makanan), kampil (wadah sirih dan kelengkapannya), juga topi.

Sekilas perihal hekter

Hekter yang dimaksud di sini adalah stapler. Alat yang dipakai untuk menjepit kertas.

Dalam KBBI, dijelaskan arti dari stapler adalah alat untuk menjepit (kertas dan sebagainya) yang berisi staples.
Sementara itu, dari laman wikipedia dijelaskan bahwa stapler, juga sering disebut dengan nama lain, yakni pengokot, cekrekan atau jegrekan dan jepretan. Merujuk pada bunyi saat ia digunakan.

Maka itu, tidak heran bila di Indonesia, stapler yang bisa dijumpai di mana-mana, mulai dari kantor, sekolah, kios fotokopi, rumah tangga, hingga di rumah makan dan penjual makanan, memiliki banyak nama. Tergantung bunyi yang terdengar di telinga orang mana. Hehe.

Sudah biasa juga dijumpai dimana-mana, stapler sering digunakan di Indonesia untuk menjepit bungkus makanan.

Hubungan hekter dan daun bengkuang pada cimpa

Bengkuang yang dipakai menjadi bahan anyaman, mengalami proses yang cukup panjang. Awalnya daunnya dibersihkan, karena setiap sisi daunnya ada duri-durinya.

Kemudian direbus, setelah itu ditiriskan, dikeringkan kemudian ditumbuk hingga pipih betul menyerupai serat-serat. Serat-serat inilah yang kemudian dipilah untuk kemudian dianyam, menjadi tikar, sumpit (wadah makanan) dan kampil (wadah sirih dan kelengkapannya).

Sementara itu, bengkuang yang dipakai menjadi kemasan "cimpa hekter", pembuatannya lebih sederhana. Bersihkan daun bengkuang dari duri-duri, dan dilap hingga bersih.

Kemudian dipotong-potong sepanjang kurang lebih 2 kali ukuran telunjuk orang dewasa.
Lalu gulung menyerupai cincin hingga kedua ujungnya berhimpit dan lekatkan dengan hekter (stapler).

Daun bengkuang yang sudah dilekatkan dengan stapler (dokpri)
Daun bengkuang yang sudah dilekatkan dengan stapler (dokpri)
Sementara itu untuk bahan utama cimpa-nya, terdiri atas tepung beras, yang bisa didapatkan di warung yang menjual sembako, parutan kelapa dan gula pasir. Cara membuatnya juga sederhana, cukup dengan mencampur semua bahan hingga menyatu.

Campuran tepung beras, parutan kelapa dan gula pasir (dokpri)
Campuran tepung beras, parutan kelapa dan gula pasir (dokpri)
Campuran bahan-bahan itu kemudian dimasukkan ke cincin daun bengkuang dan ditekan-tekan hingga padat. Selesai dikemas lalu dikukus selama 30 hingga 45 menit.

Mengkemas cimpa hekter (dokpri)
Mengkemas cimpa hekter (dokpri)
Sekilas, bahan dan cara pembuatannya ini mirip dengan cara membuat "putu bambu", yang sudah dikenal luas di berbagai daerah di Indonesia.

Bedanya, cimpa hekter tidak diisi inti sebagaimana putu bambu, yang diberi inti gula aren. Cincin daun bengkuang ini sendiri mirip dengan potongan kecil ruas bambu yang digunakan dalam pembuatan putu bambu.

Cincin daun bengkuang (dokpri)
Cincin daun bengkuang (dokpri)
Bedanya, kalau ruas bambu yang digunakan dalam membuat putu bambu bisa digunakan berulang-ulang, maka cincin daun bengkuang ini hanya untuk sekali pakai.

Pada masyarakat suku karo sendiri, bisa dikatakan cimpa hekter ini sendiri adalah modifikasi dari penganan yang dikenal sebagai "cimpa bohan". Bohan adalah seruas bambu yang juga dipakai dalam memasak lemang.

Cimpa hekter yang sudah matang (dokpri)
Cimpa hekter yang sudah matang (dokpri)
Bahan untuk cimpa bohan sendiri hampir sama dengan bahan cimpa hekter. Bedanya, gula yang dipakai pada cimpa bohan adalah dari gula aren, bukan gula pasir.

Besar kemungkinan, modifikasi ini berkaitan dengan gaya hidup masyarakat masa kini yang semakin mengarah kepada kepraktisan. Takterlepas, juga turut mempengaruhi perubahan bahan dan cara pembuatan cimpa bohan menjadi cimpa hekter pada suku Karo.

Setelah ditemukannya stapler, masyarakat Karo pun tepikir untuk mengganti ruas bambu dengan daun bengkuang yang dijepit dengan stapler. Bandingkan dengan dulu, cimpa bohan yang dimasak di dalam ruas bambu dan dipanasi dengan kayu bakar.

Mudah memahami, bahwa semakin lama, mungkin akan semakin susah mendapatkan bambu, mencari kayu bakar dan mendapatkan gula aren. Ditambah manusia yang semakin sibuk dengan tuntutan kebutuhannya.

Kalaupun bahannya masih ada, mungkin sudah lebih mahal dari pada daun bengkuang yang distapler, dan gula pasir. Atau waktu luang untuk membuatnya yang semakin tidak tersedia.

Tentu saja beda bahan, cara dan teknik memasak akan menyebabkan cita rasa turut menjadi berbeda. Namun, patut disyukuri bahwa penyesuaian yang dilakukan masyarakat adat dalam melestarikan masakan tradisionalnya, setidaknya memungkinkan generasi ke generasi bisa tetap menikmati warisan budaya leluhurnya.

Wasana Kata

Melihat gambaran kesamaan berbagai penganan tradisonal di berbagai daerah di Indonesia, sekali lagi menjelaskan bahwa manusia dalam pergerakannya akan selalu mendorong terjadinya pembauran tradisi. Namun, penyesuaian laku sebagaimana ungkapan "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" tidak serta merta membuat akar budaya ibunya tercerabut sepenuhnya.

Kemungkinan melakukan perubahan atau penyesuaian dalam budaya adalah laku untuk mencapai kesepakatan yang paling mungkin diterima oleh sebanyaknya orang.

Selanjutnya, itupun satu bukti lagi bahwa Indonesia dalam satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, sesungguhnya adalah kumpulan budaya yang berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.
Kita bersaudara bukan?

Rujukan: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun