Setelah ditemukannya stapler, masyarakat Karo pun tepikir untuk mengganti ruas bambu dengan daun bengkuang yang dijepit dengan stapler. Bandingkan dengan dulu, cimpa bohan yang dimasak di dalam ruas bambu dan dipanasi dengan kayu bakar.
Mudah memahami, bahwa semakin lama, mungkin akan semakin susah mendapatkan bambu, mencari kayu bakar dan mendapatkan gula aren. Ditambah manusia yang semakin sibuk dengan tuntutan kebutuhannya.
Kalaupun bahannya masih ada, mungkin sudah lebih mahal dari pada daun bengkuang yang distapler, dan gula pasir. Atau waktu luang untuk membuatnya yang semakin tidak tersedia.
Tentu saja beda bahan, cara dan teknik memasak akan menyebabkan cita rasa turut menjadi berbeda. Namun, patut disyukuri bahwa penyesuaian yang dilakukan masyarakat adat dalam melestarikan masakan tradisionalnya, setidaknya memungkinkan generasi ke generasi bisa tetap menikmati warisan budaya leluhurnya.
Wasana Kata
Melihat gambaran kesamaan berbagai penganan tradisonal di berbagai daerah di Indonesia, sekali lagi menjelaskan bahwa manusia dalam pergerakannya akan selalu mendorong terjadinya pembauran tradisi. Namun, penyesuaian laku sebagaimana ungkapan "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung"Â tidak serta merta membuat akar budaya ibunya tercerabut sepenuhnya.
Kemungkinan melakukan perubahan atau penyesuaian dalam budaya adalah laku untuk mencapai kesepakatan yang paling mungkin diterima oleh sebanyaknya orang.
Selanjutnya, itupun satu bukti lagi bahwa Indonesia dalam satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, sesungguhnya adalah kumpulan budaya yang berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.
Kita bersaudara bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H