Judul lagu dengan rima yang indah pada lalang dan bintang gemintang, adalah miliknya Ebiet G Ade, pencipta dan penyanyi lagu-lagu ballad Indonesia, yang pada 21 April yang lalu sudah berusia 66 tahun. Judul artikel ini adalah bagian dari lirik lagu yang berjudul "Masih Ada Waktu".
Lagu ini adalah bagian dari album Ebiet G Ade yang berjudul Aku Ingin Pulang. Album ini dirilis pada tahun 1993, saat usiaku baru 10 tahun.
Mumpung masih ada waktu buat kita, untuk mengumpulkan bekal perjalanan abadi
Tentu ada hikmah yang harus kita petik, atas nama jiwa, mari heningkan cipta
Bersyukur masih diberi waktu, entah sampai kapan
Tidak ada yang bisa menghitung, hanya atas Kasih-Nya kita masih bertemu matahari
***
Sebagian dari syair lagu Masih Ada Waktu ini, bercerita tentang perlunya manusia merenungi kesempatan yang masih tersedia dalam hidup yang dijalaninya, dan bersyukur oleh karena-Nya. Bagian dari hidup yang penuh ungkapan syukur itu adalah, perbuatan baik kepada sesama dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Menghubungkan perenungan dari lagu ini dengan hampir dua tahun saya ikut menulis di Kompasiana, rumah bersama, saya mencoba menarik hubungan antara "waktu" yang memberikan pelajaran tentang kebijaksanaan, dalam hubungannya dengan kecintaan terhadap sesama manusia dan alam lingkungan.
Pada tahun pertama bergabung di Kompasiana di tahun 2018, pelajaran tentang budi pekerti yang dituliskan dalam sebuah buku berjudul Pembahasan Budi Pekerti Di Zi Gui Menuju Kehidupan Bahagia--sekaligus menjadikan "Di Zi Gui" sebagai label kata kunci yang paling sering tersemat dalam artikel yang saya tulis.
Pelajaran Di Zi Gui mengatur tatanan hubungan manusia dari sejak usia dini (anak-anak). Mulai dari hubungan yang paling erat di antara anggota keluarga, sampai cara berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain.
Di Zi Gui merupakan bahan pendidikan yang akan membentuk karakter yang baik, dan juga merupakan dasar untuk melahirkan dan mengembangkan kasih sayang dan moralitas.
Secara khusus, Di Zi Gui menegaskan pentingnya pendidikan rumah tangga dalam membentuk etika dan norma kehidupan yang sehat dan baik bagi seseorang.
Tujuannya adalah untuk membentuk manusia seutuhnya, sehat jasmani dan rohani, jadi andalan keluarga, dan juga mengabdi kepada bangsa dan negara.
Dari 5 artikel dengan kata kunci Di Zi Gui tersebut, 1 diantaranya diberi label artikel utama dan yang 4 lagi menjadi artikel pilihan. Selengkapnya mengenai kelima artikel tersebut dapat dibaca pada 1, 2, 3, 4 dan 5.
Sementara itu kata kunci yang berhubungan dengan lingkungan yang tersemat pada artikel dalam kata Serdang, Barusjahe, Lemang dan Kerja Tahun, setidaknya muncul dalam 7 artikel. Dari ketujuhnya, 4 di antaranya menjadi artikel utama dan yang 3 lagi menjadi artikel pilihan.
Serdang dan Barusjahe secara berturut-turut adalah nama desa dan kecamatan tempat masa kecil saya, dengan alam lingkungan pegunungan yang masih sejuk dan segar, dan kearifan lokalnya yang masih terjaga.
Lemang adalah nama penganan khas suku Karo, yang menjadi sajian utama pada pesta kerja tahun. Itu merupakan pesta rakyat sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang dilakukan sekali dalam setahun.
Serdang, Barusjahe, Lemang dan Kerja Tahun saya kategorikan sebagai kata kunci yang berasosiasi dengan "kearifan lokal kehidupan desa". Selengkapnya mengenai ketujuh artikel tersebut dapat dibaca pada 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7.
Apa yang menarik dari hubungan antara "Di Zi Gui" dengan "kearifan lokal kehidupan desa" ini adalah, ketika kata kunci atau beberapa kata dari asosiasi kata kunci itu tersemat bersamaan sebagai label dalam sebuah artikel berjudul "Mencintai Negeri sebagai Bentuk Kebijaksanaan dalam Ilmu Pengetahuan". Pada artikel tersebut, Di Zi Gui dan kearifan lokal desa mempunyai titik temu.
Titik temu yang menghubungkannya, setidaknya memberikan beberapa kesimpulan bagi saya pribadi bahwa :
1. Kebijaksanaan erat kaitannya dengan keharmonisan keluarga
Keluarga sebagai pranata sosial terkecil yang terdiri dari orang tua dan anak-anaknya, jelas sekali merupakan lembaga paling awal sebagai tempat menumbuhkan nilai-nilai kebijaksanaan. Dari kebijaksanaan yang tumbuh dalam keluarga akan melahirkan manusia-manusia yang mampu mencintai sesama dan alam lingkungannya.
Dari sanalah lahirnya mata rantai hubungan keluarga dan negara. Sesama manusia yang hidup bersama dalam keluarga yang harmonis, melahirkan masyarakat yang hidup harmonis. Masyarakat yang hidup dalam keharmonisan, melahirkan negara yang makmur sentosa, dan sebaliknya.
Termasuk dalam hal ini adalah hubungan manusia yang mampu hidup selaras dengan alam yang lestari.
2. Kenangan yang baik berpengaruh dalam membentuk kebijaksanaan
Apa yang paling diingat dalam benak dan membekas dalam hati manusia? Biasanya kalau bukan kenangan buruk yang menyebabkan trauma, adalah kenangan baik yang membawa kebahagiaan bagi manusia.
Mungkin mudah memahami, bagaimana seseorang bisa menjadi bijaksana apabila koleksi pikirannya dipenuhi oleh kebaikan. Meskipun, banyak juga orang yang menjadi bijaksana setelah didera berbagai penderitaan dan kepahitan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti "bijaksana" sebagai sebuah sifat yang selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya.
Sedangkan, kebijaksanaan berarti kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya), kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya.
Jelas, bahwa kebijaksanaan berhubungan erat dengan kenangan, pengalaman dan pengetahuan. Namun, pada dasarnya tidak ada yang menginginkan membangun kebijaksanaan dari sebuah kenangan buruk.
Itu adalah sebuah jalan yang tidak mudah dan tidak jarang gagal. Manusia mempunyai batas daya tahan dalam menoleransi kesusahan dalam hidup. Sekalipun kebijaksanaan bisa lahir dari sebuah kenangan buruk, adalah penting untuk selalu berusaha menghadirkan kenangan-kenangan yang baik.
Pernah juga ada orang mengutip Sokrates. Katanya, bahwa suami yang merasa tertekan oleh istrinya berpotensi menjadi filsuf.
Namun, tidak jelas apakah itu sebuah ungkapan sindiran dengan majas ironi. Atau bukti bahwa manusia sulit membedakan kegilaan dengan kebijaksanaan, dalam hidup yang dibentuk oleh pengalamannya yang buruk.
Dengan kata lain, patutlah kita meminjam catatan Yang Maha Kuasa, kepada rumput ilalang dan bintang gemintang, sebagaimana istilah Ebiet, untuk merenungkan kehidupan kita dalam waktu yang singkat dan berlalunya terburu-buru.
Jangan-jangan, ilalang dan bintang yang menyaksikan dalam kebisuan malam, akan menjelaskan bahwa hubungan dengan sesama kita manusia, serta hubungan manusia dengan alam yang rusak, disebabkan oleh manusia yang tidak lagi mendapatkan pengajaran-pengajaran kebijaksanaan yang memadai dalam keluarga-keluarga, dengan jiwa dan hati tulus ikhlas.
Bila demikian halnya, mumpung masih ada waktu dan kesempatan, kita perlu bersujud dalam harap, dan memetik hikmah dalam ikhtiar.
Semoga waktu yang ada bisa kita pakaikan untuk mengumpulkan bekal bagi perjalanan abadi nanti.
Amin.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H