Apa yang paling diingat dalam benak dan membekas dalam hati manusia? Biasanya kalau bukan kenangan buruk yang menyebabkan trauma, adalah kenangan baik yang membawa kebahagiaan bagi manusia.
Mungkin mudah memahami, bagaimana seseorang bisa menjadi bijaksana apabila koleksi pikirannya dipenuhi oleh kebaikan. Meskipun, banyak juga orang yang menjadi bijaksana setelah didera berbagai penderitaan dan kepahitan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti "bijaksana" sebagai sebuah sifat yang selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya.
Sedangkan, kebijaksanaan berarti kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya), kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya.
Jelas, bahwa kebijaksanaan berhubungan erat dengan kenangan, pengalaman dan pengetahuan. Namun, pada dasarnya tidak ada yang menginginkan membangun kebijaksanaan dari sebuah kenangan buruk.
Itu adalah sebuah jalan yang tidak mudah dan tidak jarang gagal. Manusia mempunyai batas daya tahan dalam menoleransi kesusahan dalam hidup. Sekalipun kebijaksanaan bisa lahir dari sebuah kenangan buruk, adalah penting untuk selalu berusaha menghadirkan kenangan-kenangan yang baik.
Pernah juga ada orang mengutip Sokrates. Katanya, bahwa suami yang merasa tertekan oleh istrinya berpotensi menjadi filsuf.
Namun, tidak jelas apakah itu sebuah ungkapan sindiran dengan majas ironi. Atau bukti bahwa manusia sulit membedakan kegilaan dengan kebijaksanaan, dalam hidup yang dibentuk oleh pengalamannya yang buruk.
Dengan kata lain, patutlah kita meminjam catatan Yang Maha Kuasa, kepada rumput ilalang dan bintang gemintang, sebagaimana istilah Ebiet, untuk merenungkan kehidupan kita dalam waktu yang singkat dan berlalunya terburu-buru.
Jangan-jangan, ilalang dan bintang yang menyaksikan dalam kebisuan malam, akan menjelaskan bahwa hubungan dengan sesama kita manusia, serta hubungan manusia dengan alam yang rusak, disebabkan oleh manusia yang tidak lagi mendapatkan pengajaran-pengajaran kebijaksanaan yang memadai dalam keluarga-keluarga, dengan jiwa dan hati tulus ikhlas.
Bila demikian halnya, mumpung masih ada waktu dan kesempatan, kita perlu bersujud dalam harap, dan memetik hikmah dalam ikhtiar.