Artinya, selama manusia hidup ia akan tetap membawa serta catatan peristiwa hidupnya bersamanya, bahkan akan tetap dikenang oleh orang lain yang mengenalnya meskipun ia telah tiada.
Tidak heran mengapa ada ajaran agama yang menyebutkan bahwa orang yang bernyanyi dari dalam hati sama dengan berdoa dua kali, qui bene cantat, bis orat. Selanjutnya, diajarkan lagi bahwa doa adalah nafas orang percaya. Dengan sendirinya, orang yang banyak bernyanyi sama dengan banyak berdoa, dan orang yang banyak berdoa sama dengan banyak bernafas. Dengan itulah manusia hidup.
Silogisme sederhana ini adalah cara untuk menunjukkan betapa pentingnya peran sebuah lagu dalam kesinambungan sejarah umat manusia. Bila saya merujuk ke masa SMA misalnya, itu adalah masa-masa akhir dari dekade 90-an, menjelang awal milenium ke-3.
Bila merujuk ke tahun itu, kita akan menemukan sebuah lagu yang sesuai dengan judulnya terasa sangat everlasting, abadi, setidaknya bagi saya pribadi. Mengapa? Karena perasaan saya  terhubung dengan lirik lagunya, sebab lirik lagu itu adalah catatan peristiwa yang terjadi pada masanya.
Sebuah lagu berjudul "Best I Ever Had (Grey Sky Morning)" dari album debut bertajuk "Everything You Want" milik band rock Vertical Horizon asal Amerika. Album ini dirilis pada tahun 1999. Sementara itu, lagu Best I Ever Had dirilis sebagai sebuah single pada tahun 2001, dan tiga kali berturut-turut menduduki Top Ten Hit di Billboard Adult Top 40 charts.
Dari lirik lagunya, kita bisa mendapatkan perasaan seperti ditinggal pergi oleh orang-orang terbaik atau hal terbaik yang pernah kita miliki, di sebuah pagi yang mendung. Perasaan seperti itu tentulah membuat siapapun bisa merasakan kalau cinta pun ternyata bisa membosankan.
Sungguh hari-hari kini rasanya sama sekali tidak pernah sama lagi. Namun, itu tidaklah terlalu buruk. Kita tetap memiliki satu hal yang terbaik yang pernah kita miliki. Pernah mencintai, dan akan selalu mencintai.
Sekalipun terasa membosankan, cinta adalah hal terbaik yang pernah kita punya. Tidak peduli seberapa jauh kita akan berlari dan bersembunyi, selalu kita hanya akan menemukan cinta yang membuat kita merasa lebih baik dari hari ke hari.
Hari-hari kini yang tidak sama, dan mungkin masa lalu yang kita rindukan sebagai hal terbaik yang kita rasa pernah kita punya, tidak berarti membuat kita harus kembali. Sejarah cukup untuk memberi kita pelajaran, bukan untuk diulang. Keinginan mengulang sejarahlah justru yang membuat diskontinuitas historis mungkin terjadi.
Pemaksanaan sejarah yang tidak mengikuti konteks, berkontribusi menghadirkan hiperealitas. Filsafat pascamodern menggunakan hiperealitas untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi.