Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

"Don't Look Back In Anger", Memaknai Revolusi dari Tempat Tidur ala Oasis

26 Mei 2020   19:42 Diperbarui: 27 Mei 2020   01:10 2297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (unsplash/@mynameisiknow)

Don't Look Back In Anger adalah sebuah lagu yang liriknya ditulis oleh Noel Thomas David Gallagher. Ia lahir pada 29 Mei 1967 di Longsight, Manchester, Inggris. Selain menulis lagu, ia juga adalah pemain gitar dari group musik Oasis.

Lagu ini termuat dalam album Oasis tahun 1995 "(What's The Story) Morning Glory" bersama 10 lagu lainnya. Dalam liriknya terselip sebuah kalimat "So I start a revolution from my bed", yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Aku memulai revolusi dari tempat tidurku".

Menjadi menarik untuk dinyanyikan dan dicermati, khususnya bagian lirik tentang revolusi dari tempat tidur itu, mengingat lagu yang dirilis pertama kali pada tahun 1995 itu, seolah menemukan relevansinya 25 tahun kemudian, pada masa pandemi Covid-19 ini. 

Relevan dengan banyak meme yang beredar di media sosial yang mengatakan di mana saat ini, rebahan di tempat tidur saja bisa juga dimaknai sebagai perjuangan. Perjuangan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan di rumah saja.

Sebagai sebuah lagu, sebagaimana umumnya karya seni, tentu akan memunculkan berbagai pemaknaan bagi setiap penikmatnya. Apakah ini bercerita tentang cinta asmara dari seseorang yang merasa patah hati, atau tentang kasih universal untuk tidak mendendam kepada masa lalu yang pahit?

Kedua bentuk cinta kasih itu menjadi misterius dalam personifikasi sosok "Sally" dalam lagu, yang masih tetap misterius sampai kini. Ia bisa siapa saja, tergantung kepada siapa yang menafsirkannya.

Sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia (26/06/2017), Noel Gallagher mengungkap soal sosok Sally di lagu Don't Look Back in Anger, adalah nama yang diusulkan oleh Richard Ashcroft, vokalis The Verve, yang juga tidak menjelaskan siapa Sally yang dimaksud dalam lagu itu.

Setidaknya, ketika lagu ini dinyanyikan oleh Chris Martin (Coldplay) pada Juni 2017 dalam sebuah panggung konser bersama Ariana Grande bertajuk One Love Manchester, warga Manchester kompak ikut bernyanyi tanpa dendam, bahkan ada yang menangis.

Konser itu digelar untuk mengenangkan korban jiwa yang meninggal dalam peristiwa pengeboman saat berlangsungnya konser Ariana Grande pada 22 Mei 2017, yang terjadi di luar Manchester Arena.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi sebagai kata benda berarti perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata), atau perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. 

Bagaimana sebuah perubahan mendasar bisa terjadi tapi tanpa kekerasan, mungkin salah satunya adalah melalui revolusi dari tempat tidur ala Oasis yang tanpa dendam dalam Don't Look Back In Anger.

Perubahan mendasar yang kita rasakan dalam masa pandemi ini tampil dalam banyak bentuk rasa kehilangan. Rasa kehilangan karena kematian sanak saudara, teman, sahabat, rekan kerja, kehilangan pekerjaan, kehilangan mata pencaharian, kehilangan hiburan, dan banyak sekali kehilangan lainnya. 

Berbagai bentuk kehilangan itu tentu saja menyebabkan perubahan yang mendasar dalam hidup kita. Segala sesuatunya tidak akan lagi pernah sama sejak saat kehilangan kita itu hingga ke depannya. 

Namun, sebagaimana sosok Sally dalam lagu yang masih misterius, begitulah cinta dan kasih sayang, entah bagaimana bisa bekerja secara misterius membuat kita bertahan menjalani hidup yang penuh dengan masa lalu yang pahit. Ya, cinta dan kasih sayanglah yang bisa membuat kita menatap masa depan tanpa dendam.

Kembali ke konser One Love Manchester, saya menjadi teringat ayat Alkitab yang disampaikan oleh seorang sahabat, ketika kami kehilangan seorang teman beberapa waktu yang lalu. Katanya, "Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya".

Saat kita masih begitu terfokus kepada rasa kehilangan yang kita alami, maka gambaran kebenaran kalimat penghiburan itu hanya akan terlihat secara sekilas. Jauh setelahnya pun, hanya jika ada cinta dan kasih sayang yang membuat kita mampu mengobati rasa kehilangan.

Sebagaimana lirik yang ditulis Noel, "But all the things that you've seen, Will slowly fade away". Saat itu, yang terlihat akan menghilang secara perlahan, luntur, dan memudar. Yang tinggal, hanyalah apa yang terasa, bukan terlihat.

Apalagi rasa yang paling penting dalam menyembuhkan rasa kehilangan selain cinta dan kasih yang penuh pengertian dan penerimaan. Penerimaan adalah awal dari sebuah pemulihan.

Bila kita merenungkan tentang cara-Nya memandang sesuatu yang "berharga", ada sesuatu dalam rasa kehilangan yang dialami oleh orang-orang yang dikasihi Tuhan, yang melampaui rasa dukacita. 

Saat rasa kehilangan kita seakan mengoyak tabir kehidupan, entah bagaimana, dengan cinta dan kasih sayang yang tersisa, kita akan selalu masih bisa menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita lolos dari keputusasaan dan kembali memperoleh hidup, meskipun dalam suasana yang sama sekali tidak pernah sama.

Kembali ke soal revolusi, sebagaimana Kartini di zamannya. Ia yang dipingit di balik tembok tinggi tebal istana mungkin tidak pernah mengimpikan bahwa apa yang dia lakukan melalui sekadar korespondensi dengan para sahabat, kelak akan terdokumentasi sebagai catatan sejarah mula-mula semangat pergerakan dan kebangkitan nasional Indonesia.

Surat-suratnya berisikan semangat revolusi jiwa, yang tidak kalah dahsyat dari berbagai hal lain yang dapat dikatakan revolusi.

Begitu juga halnya dengan revolusi yang dimulai dari tempat tidur ini. Bukan dalam artian tidur sama sekali tanpa berbuat apa-apa, tapi perjuangan yang tidak biasa dalam nuansa keterbatasan ini membutuhkan nyala api harapan yang tidak boleh padam, bahwa pada saatnya nanti kita akan menjalani kehidupan yang sama sekali telah berubah secara mendasar.

Perubahan ini menunjukkan bahwa nasihat praktis untuk menikmati hidup ternyata tidak mempunyai nilai yang kekal, seandainya tidak ada cinta dan kasih sayang yang memampukan kita tetap berharap tanpa dendam sesudah datangnya penderitaan dan rasa kehilangan.

Penderitaan dan rasa kehilangan karena wabah ini menyamaratakan segala sesuatu yang hidup. Kuasa Sang Pencipta yang tidak terbatas menyamaratakan segala ciptaan dalam akal, pengetahuan, hikmat dan kebijaksanaannya yang terbatas.

Ibarat dalam sebuah konser, tidak ada penonton yang bermegah atas dirinya sendiri. Sebaliknya, mereka sama-sama berjingkrak pada lagu bertempo cepat, atau sama-sama menitikkan air mata saat menyanyikan ode atau himne.

Menjalani hidup dengan penuh ungkapan syukur, dan menerima apa yang dimiliki dengan tidak membanding-bandingkan seorang dengan yang lain, hanya akan bisa terjadi dalam sebuah konser kehidupan bilamana orang-orang mampu mengenakan kasih sebagai pengikat yang menyatukan dan menyempurnakan.

Don't Look Back In Anger, tidak melihat masa lalu dengan dendam dan kemarahan, adalah revolusi tempat tidur yang mendatangkan penerimaan melampaui segala batasan.

Referensi:
wikipedia.org
cnnindonesia.com
www.azlyrics.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun