Sementara, sampah-sampah yang non-organik, karena tidak mudah busuk (bahkan nyaris mustahil bisa busuk) saya simpan di rumah untuk diantarkan ke tempat sampah pada suatu hari.
Istilah memberi makan bumi ini, muncul dari pernyataan menggelitik anak bungsu di rumah, yang menyeletuk bahwa sisa makanan yang tidak habis itu diberikan ke tanah untuk dimakan bumi.Â
Ternyata benar, hobi yang awalnya bukan dengan rencana sengaja ini, memberikan lahan yang subur dan tanah yang gembur bagi tumbuh kembang berbagai tanaman yang ditanam di lahan pekarangan.
Tanpa disangka, hampir lima bulan sejak pertama saya menanam bibit itu, kini kami sudah bisa memetik buah markisa sendiri yang berasal dari halaman belakang rumah.
Sekadar memetik lima atau enam buah markisa sekali panen tentu bukanlah jenis pertanian yang bisa dikatakan menghasilkan dari sisi ekonomi.Â
Namun, pelajaran yang bisa dipetik dalam kisah kehidupan markisa yang berasal dari bibit yang hampir mati, ternyata bisa hidup bahkan tumbuh lebat manakala bumi menumbuhkannya dari dalam tanah yang diberi makan dengan cukup.
Saya tidak tahu, sampai berapa lama markisa ini akan tumbuh dan sebanyak apa buah yang akan dihasilkannya. Sama seperti Morrie yang akhirnya tidak tunduk pada budaya manusia pada umumnya yang merasa malu untuk menjadi lemah, dan takut untuk menjadi tua.Â
Namun, ia justru belajar meresapi setiap rasa malu, setiap rasa kalah dan rasa sakit yang ia terima sebagai bentuk-bentuk emosi yang menurutnya perlu dimatikan. Mematikan perasaan dari semua pengalaman.
Melalui langkah-langkah kecil yang sangat mungkin untuk dilakukan, kita bisa menyaksikan berbagai hal yang dapat muncul secara mengejutkan dari dalam bumi. Berikan perlakuan baik, maka berbagai kemungkinan baik yang tidak terduga bisa saja kita terima entah kapan saja. Sebaliknya, berikan perlakukan buruk bagi bumi, maka tinggal menunggu waktu kita akan menerima berbagai kemungkinan buruk yang juga tidak terduga.