Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Dari Membaca "Tuesday with Morrie", hingga Hobi Memberi Makan Bumi yang Berbuah Markisa

16 Mei 2020   15:38 Diperbarui: 18 Mei 2020   02:21 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buah Markisa di Halaman Belakang (Dokpri)

Pada selasa ketujuh, ketika Mitch dan Morrie berbicara tentang "Takut Menjadi Tua", Morrie berkata "Sesungguhnyalah, ketika ibu kita menggendong kita, mengayun kita, membelai kepala kita, tak seorang pun merasa cukup. Kita semua memiliki kerinduan untuk kembali ke masa-masa ketika kira dirawat dan diasuh dengan sepenuh hati, dengan cinta dan perhatian yang tanpa syarat. Kebanyakan kita tidak merasa cukup."

Morrie Schwartz adalah seorang profesor pada Universitas Brandeis di kota Waltham, Massachusetts. Sebelum bekerja sebagai guru besar di sana, ia sempat bekerja sekian tahun di sebuah rumah sakit jiwa di pinggiran kota Washington, D.C., Chestnut Lodge namanya.

Pada Agustus 1994, Morrie yang didampingi Charlotte istrinya, mendapat kepastian dari dokter bahwa ia menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS), atau penyakit Lou Gehrig, sebuah penyakit ganas yang tidak kenal ampun, yang menyerang sistem saraf. Menurut dokter umurnya tidak akan lama lagi.

Percakapan dengan Mitch tentang Takut Menjadi Tua, pada selasa ketujuh ini, terjadi pada saat umur Morrie tujuh puluh delapan tahun. Melihat guru besarnya yang sudah sangat lemah dan sangat tergantung kepada bantuan orang lain untuk sekadar cebok, yang sangat kesulitan memulihkan nafasnya setiap kali ia terbatuk dengan tubuh terguncang dan tangan yang gemetaran, tapi masih tetap bersemangat menyelesaikan "kuliah Selasa"-nya, membuat Mitch melihat guru besarnya sebagai orang yang dewasa ketika memberi , tapi menerima sebagai seorang anak.

Mitch adalah mantan mahasiswa Morrie, yang diwisuda pada penghujung musim semi tahun 1979. Adapun yang dimaksud Mitch sebagai "kuliah Selasa" dengan Morrie itu terjadi bertahun-tahun setelah Mitch diwisuda, yang berlangsung setiap hari Selasa di rumah Morrie, dengan judul mata kuliah "Makna Hidup" dan bahan-bahannya digali dari pengalaman.

Kuliah kehidupan yang berlangsung menjelang hari-hari terakhir Morrie ini, diabadikan Mitch dalam sebuah novel yang kemudian menjadi bestseller berjudul "Tuesday with Morrie", yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "Selasa Bersama Morrie, Pelajaran tentang Makna Hidup", diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dokpri
Dokpri
Apa yang bisa dipetik dari pelajaran kehidupan ini dalam hubungan hobi baru dengan manusia dan bumi yang saling memberi dan saling menerima?

Meskipun bukan setiap hari Selasa, tapi saya menyenangi sebuah hobi baru yang saya namakan sebagai "memberi makan bumi". Itu adalah proses menimbun ke dalam tanah segala bahan organik yang merupakan residu seluruh aktivitas penghuni rumah. 

Mulai dari sisa makanan yang tidak dihabiskan anak-anak (sebagai catatan, saya sendiri hampir tidak pernah menyisakan makanan apapun,hehe), kulit buah-buahan, sisa potongan sayuran, jeroan ikan, dan bahan-bahan lainnya yang organik.

Hobi menanam bahan-bahan organik ke dalam tanah ini sendiri berawal dari rasa prihatin terhadap layanan kebersihan kota yang masih belum optimal. 

Menyiasati lahan pekarangan yang terbatas, saya akhirnya memutuskan menggali lobang berpindah-pindah di sekitar halaman dan menanam sampah-sampah berbahan organik itu ke dalamnya. 

Sementara, sampah-sampah yang non-organik, karena tidak mudah busuk (bahkan nyaris mustahil bisa busuk) saya simpan di rumah untuk diantarkan ke tempat sampah pada suatu hari.

Istilah memberi makan bumi ini, muncul dari pernyataan menggelitik anak bungsu di rumah, yang menyeletuk bahwa sisa makanan yang tidak habis itu diberikan ke tanah untuk dimakan bumi. 

Ternyata benar, hobi yang awalnya bukan dengan rencana sengaja ini, memberikan lahan yang subur dan tanah yang gembur bagi tumbuh kembang berbagai tanaman yang ditanam di lahan pekarangan.

Tanam bayam di wadah ban bekas (Dokpri)
Tanam bayam di wadah ban bekas (Dokpri)
Tanam Kangkung di wadah ban bekas (Dokpri)
Tanam Kangkung di wadah ban bekas (Dokpri)
Saya menanam sebatang bibit Markisa yang sangat kecil dan tampak layu pada sekitar awal Januari 2019 yang lalu. Sepertinya hampir mustahil tanaman itu bisa tumbuh. 

Tanpa disangka, hampir lima bulan sejak pertama saya menanam bibit itu, kini kami sudah bisa memetik buah markisa sendiri yang berasal dari halaman belakang rumah.

Markisa tumbuh lebat di halaman belakang rumah (Dokpri)
Markisa tumbuh lebat di halaman belakang rumah (Dokpri)
Tanaman Markisa berbuah lebat di halaman belakang rumah (Dokpri)
Tanaman Markisa berbuah lebat di halaman belakang rumah (Dokpri)
Bagi masyarakat petani, tidak ada yang paling ditunggu selain musim panen dan berhasil menjual hasil panenan dengan harga yang memuaskan. Namun, kisah ini bukan dalam konteks yang demikian.

Sekadar memetik lima atau enam buah markisa sekali panen tentu bukanlah jenis pertanian yang bisa dikatakan menghasilkan dari sisi ekonomi. 

Namun, pelajaran yang bisa dipetik dalam kisah kehidupan markisa yang berasal dari bibit yang hampir mati, ternyata bisa hidup bahkan tumbuh lebat manakala bumi menumbuhkannya dari dalam tanah yang diberi makan dengan cukup.

Saya tidak tahu, sampai berapa lama markisa ini akan tumbuh dan sebanyak apa buah yang akan dihasilkannya. Sama seperti Morrie yang akhirnya tidak tunduk pada budaya manusia pada umumnya yang merasa malu untuk menjadi lemah, dan takut untuk menjadi tua. 

Namun, ia justru belajar meresapi setiap rasa malu, setiap rasa kalah dan rasa sakit yang ia terima sebagai bentuk-bentuk emosi yang menurutnya perlu dimatikan. Mematikan perasaan dari semua pengalaman.

Melalui langkah-langkah kecil yang sangat mungkin untuk dilakukan, kita bisa menyaksikan berbagai hal yang dapat muncul secara mengejutkan dari dalam bumi. Berikan perlakuan baik, maka berbagai kemungkinan baik yang tidak terduga bisa saja kita terima entah kapan saja. Sebaliknya, berikan perlakukan buruk bagi bumi, maka tinggal menunggu waktu kita akan menerima berbagai kemungkinan buruk yang juga tidak terduga.

Belajar mematikan perasaan dari semua pengalaman ini, menurut Morrie berguna tidak saja bagi orang yang sudah menjelang hari-hari terakhirnya, tapi juga bagi orang-orang yang merasa dirinya masih sangat sehat dan muda. Kata Morrie, "Setiap orang tahu mereka akan mati, tapi tak seorangpun percaya bahwa hal itu bisa terjadi pada mereka dalam waktu dekat."

Pentingnya mengetahui hal-hal yang perlu dipersiapkan bila kita mati nanti, sebenarnya sama pentingnya dengan hal-hal yang perlu kita ketahui tentang hidup. 

Sebab, bila kita percaya bahwa waktu kita sebenarnya sudah cukup dekat dan tidak terlalu lama dalam hidup, maka kita mungkin tidak akan seambisius sekarang. Begitu juga dengan kejahatan, kepalsuan dan kebohongan, mungkin tidak akan meraja lela.

Bila tiba pada pengalaman  sebagaimana yang dirasakan Morrie, sebab bagaimana pun ini adalah sebuah kisah nyata dari seseorang yang sudah menjelang ajalnya dengan sakit yang berkepanjangan, tentu patut juga menjadi perenungan, bahwa segala sesuatu yang begitu menyita waktu kita, entah itu pekerjaan kita, hobi yang menjadi kesenangan kita, pengakuan yang menjadi kebanggaan kita, mungkin itu semua tidak sepenting yang kita kira. 

Pada saat itu tiba, kita paling-paling akan merasa bahwa kita mungkin perlu untuk menyisihkan ruang untuk kehidupan spiritual.

Pengakuan seperti ini mungkin akan menerima respons menggelikan dari orang-orang yang merasa diri masih kuat, masih muda, masih sehat dan dengan segudang mimpi yang cemerlang gemilang. 

Namun, saat kita mendapatkan betapa normal suasana di sekeliling kita sementara kita dikejutkan oleh hal-hal buruk yang tidak pernah kita duga, yang tersisa barangkali hanya perasaan kita yang terguncang. Kita tertegun mendapatkan dunia yang tidak ikut berhenti sekalipun kita mengalami keguncangan.

Perlu untuk ikut terlibat dalam tindakan sekecil apapun untuk saling memberi saling menerima kebaikan ala ibu bumi. Mungkin akan dianggap menggelikan, tapi mengapa harus menunggu waktu terbuang percuma ketika sudah sangat terlambat saat kita menemukan bahwa bumi mungkin akan berlanjut tapi tanpa kita?

Kisah tentang Markisa dari bibit yang hampir mati yang menyempil di antara pelajaran makna hidup dari Morrie ini, pun bisa dipandang sebagai sebuah bentuk sikap penerimaan yang kekanak-kanakan dari manusia atas bumi, yang senantiasa memberi dengan dewasa. Masih lebih banyak yang kita panen dari bumi daripada yang sudah kita berikan.

Bukankah mensyukuri lima atau enam buah markisa sekali panen untuk kebutuhan vitamin C harian keluarga juga adalah aplikasi dari sepotong doa yang mengatakan "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya?" Meminjam kata-kata Morrie, mengingat hari kematian kita saat masih hidup, ada baiknya kita berurusan dengan hal-hal yang secukupnya. 

Berpikir secukupnya, berbicara secukupnya, bercanda secukupnya, bekerja secukupnya, makan pun secukupnya. Itu pun bagian sikap hidup yang tidak ambisius juga.

Buah Markisah yang telah matang (Dokpri)
Buah Markisah yang telah matang (Dokpri)
Jus Markisah segar lansung dari halaman belakang (Dokpri)
Jus Markisah segar lansung dari halaman belakang (Dokpri)
Namun, kita perlu untuk tidak pernah berhenti berusaha walau sekecil apa pun langkah diambil. Bila kita di bagian belahan bumi yang akan segera mengalami musim kemarau misalnya, tentu tidak ada salahnya mengambil langkah antisipatif melalui langkah-langkah sederhana.

Hemat dan bijak dalam penggunaan air melalui langkah-langkah sederhana, misalnya dengan menampung serta menghemat pemakaian air bersih saat mengalir, memastikan kran air sudah dimatikan sebelum meninggalkan toilet atau kamar mandi, baik di rumah maupun di tempat bekerja, serta memaksimalkan penggunaan air tampungan pada saluran-saluran untuk kegiatan yang memungkinkan, seperti menyiram bunga/ tanaman, mencuci peralatan, dan sebagainya.

Selain itu, kita perlu mengontrol aktivitas yang berkaitan dengan api atau barang-barang yang mudah terbakar, karena potensi terjadinya kebakaran pada musim kemarau lebih besar. 

Termasuk dalam hal ini misalnya tidak membuang puntung rokok sembarangan, apabila membakar sampah harus dikontrol, dan bila harus terpaksa melakukan pembakaran di ladang haruslah ada pengawasan, tapi sebaiknya jangan.

Hobi yang dilakukan sendiri mungkin terkadang tampak tidak berguna bahkan dicerca. Namun, bila semua orang tidak peduli dengan hobi yang kecil ini, barangkali saling memberi dan saling menerima ala ibu bumi dalam bentuk terburuknya seharusnya tidak lagi mengejutkan kita. 

Mungkin sambil tertegun dalam keguncangan kita, hanya tersisa sepenggal kalimat penutup sebagaimana biasanya orang bermohon lewat surat, "Atas perhatian dan kerja sama yang baik diucapkan terima kasih".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun