Pada masa kecil yang telah silam itu, Nini Tigan mungkin sudah berumur 80 tahun. Tapi dia masih suka bercocok tanam ke ladang.
Kami pernah sama-sama memetik biji kopinya yang tinggal beberapa batang di ladangnya. Kelihatan bahwa batang kopi itu pun berasal dari tahun-tahun yang sudah cukup lama. Batangnya sudah miring-miring dan tidak terlalu segar, sama seperti kulit Nini Tigan yang sudah keriput.
Aku ingat, kami membawa hanya 1 mug biji kopi segar saat kembali pulang ke rumah. Aku merasa itu sudah cukup banyak pada masa itu. Bagi Nini Tiganku dengan tubuh bungkuknya itu sudah cukup banyak pada waktu itu.
Setelah kami giling biji kopi itu, tentu saja secara manual dengan menumbuknya di lesung dan mencucinya bersih, biji-biji kopi yang telah terkelupas dan agak berlendir itu dikeringkan. Seluruhnya muat dijemur di atas selembar karung plastik bekas pupuk urea.
Kalau sekarang aku bayangkan, cukup kecil goni itu. Dulu mungkin karena aku masih kecil dan Nini Tigan cukup bungkuk, goninya kelihatan sudah cukup besar. Tapi itu pun cukup untuk membeli kacang goreng ke kedai untuk bahan membuat sambal yang "enak" itu.
Begitulah, cerita sambal kacang darurat seharga Rp. 25 di tahun 89-90 itu.
Semoga situasi darurat ini segera bisa berlalu. Agar kita bisa merasakan makan enak yang bukan darurat.
Tapi benar, sebagian makanan memang jadi enak karena kenangan di baliknya. Mungkin karena kisah itu juga aku sangat menikmati kopi. Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H