Pernahkah kalian merasakan terkadang untuk bisa makan enak, nggak ngelihat mahalnya harga bahan, atau mewahnya tempat makan? Kita bisa merasa enak makan dengan menu yang seadanya atau tempat makan yang sederhana. Mengapa? Kita akan coba periksa alasannya.
Ternyata, selain karena bahan-bahan untuk memasak memang pilihan dan karenanya harganya mahal, atau suasana tempat makannya yang asyik, menyenangkan dan penuh kehangatan (bisa saja di rumah atau di rumah makan), memasak dengan sepenuh hati juga ternyata bisa bikin semua masakan jadi enak. Kalau tidak percaya bisa dicoba.
Tidak semua orang mendapatkan kemewahan dalam hal kemampuan membeli bahan-bahan berkualitas tinggi untuk bisa memasak makanan enak, atau makan di tempat makan yang mahal untuk bisa enak makan. Apalagi di masa prihatin seperti saat ini.
Namun, itu bukan alasan untuk bermuram durja setiap saat. Sesekali siapa yang tidak.
Ada baiknya, ubah pola pikir mengejar sekuat tenaga sesuatu yang belum pasti. Jangan paksa masa depan untuk hadir hari ini. Emang masa lalu bisa? Bisa, karena kita punya pengalaman dengan masa lalu.
Memasak sepenuh hati, bahan apa pun itu, ternyata bisa menghasilkan makanan enak. Kalau bukan karena rasanya mungkin karena perasaan saat menikmatinya, yang membuat makanan menjadi enak.
Tulisan ini adalah sebuah pengalaman memasak sendiri untuk makan malam keluarga, saat kami di rumah saja karena pandemi ini. Bukan karena bahan-bahannya pasti, tapi karena kisah di balik masakan ini. Kurasa ya, hehe.
Ini adalah sambal darurat tapi enak. Begitulah menurut ibu saya. Tapi bukan dia yang mengajari saya membuatnya.
Aku sebut saja namanya "Sambal Kacang Darurat". Ya, sambal darurat adalah nama yang cocok dan mungkin tidak menyakiti perasaan sebagian saudara kita yang mungkin untuk makan saja susah, bila berbicara tentang makanan di saat masa siaga darurat, tanggap darurat, atau masa pembatasan sosial berskala besar, di berbagai daerah yang berbeda sesuai dengan derajat kedaruratann pandemi Covid-19 ini.
Sambal Kacang Darurat adalah jenis sambal yang aku pelajari dari nini Tigan, sebutan untuk nenek buyutku (neneknya ibuku) di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe, Tanah Karo, sekitar 30-an tahun yang silam. Itu berarti sekitar tahun 1989 atau 1990.