Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Perlunya Keseimbangan Perilaku Etis dan Pemahaman Teologis, di Jalan Lain ke Terra Incognita

12 April 2020   19:28 Diperbarui: 13 April 2020   04:32 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Map of North America from 1566 showing Italian inscriptions, both Terra In Cognita and Mare In Cognito (Sumber: faszination-kanada.com/)

Sebagaimana dikutip dari Cambridge Academic Content Dictionary yang diterbitkan oleh Cambridge University Press, terra incognita, dari kelas kata benda, didefinisikan sebagai "unknown territory, an unexplored country or field of knowledge." 

Sebuah kawasan yang belum diketahui, negeri atau lapangan pengetahuan yang belum dijelajahi.

Ketika pembuat peta pada zaman Romawi kuno menggambar daratan yang belum pernah dijelajahi oleh siapapun, mereka sering memberinya label "Terra Incognita", yang berarti "kawasan yang belum diketahui". Istilah itu terus dipakai hingga berabad-abad kemudian.

Ketika Columbus dan anak buahnya menyeberangi Samudera Atlantik pertama kali, mereka memasuki sebuah kawasan yang diberi label terra incognita. Itu adalah daratan yang kemudian diberi nama "New World".

Sebuah kawasan yang dilabeli dengan terra incognita pertama kali dijelajahi pada tahun 1611. Pada kamus English Language Learners Dictionary itu didefinisikan sebagai "a place that has not been discovered or that is unknown", tempat yang belum ditemukan atau diketahui. Namun, istilah itu kemudian digunakan juga dalam bidang eksplorasi mental psikologis manusia.

Bagi sebagian besar kita, subjek seperti fisika, atau drama Perancis abad ke-17, dan mekanika, mungkin adalah juga bentuk terra incognita pada mulanya. Kita hanya bisa berharap untuk hidup cukup lama, agar bisa menjelajahi sebagiannya suatu hari nanti.

Termasuk pengertian terra incognita dalam konsep ini, adalah perubahan-perubahan sosial dalam kehidupan manusia yang terjadi kemudian. Perkembangan zaman dan perubahan lingkungan, telah membawa manusia ke terra incognita dalam terjadinya perubahan sosial yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. (Clay Skipper, GQ, "Michael Pollan on Why Psychedelics Might Save Us All," 18 May 2018).

Dalam kehidupan sehari-hari, dalam kaitannya dengan waktu menyongsong masa depan, sebagai masa yang belum datang, bisa juga dikaitkan sebagai sebuah konsep perjalanan menuju terra incognita. Itu adalah sebuah perjalanan memasuki bentangan kawasan masa depan yang belum terpetakan.

Memang berbeda dengan pelayaran samudera sebagaimana pada masa Columbus, yang bermodal peta buatan orang-orang dari zaman Romawi kuno. Pada masa kini, matematika dan ilmu komputer telah berkembang dengan pesat.

Manusia bahkan telah mengembangkan kecerdasan buatan yang berbasis algoritma. Itu adalah prosedur langkah demi langkah untuk melakukan penghitungan secara akurat.

Algoritma digunakan untuk penghitungan, pemrosesan data, dan penalaran otomatis. Algoritma juga menyediakan metode efektif yang diekspresikan sebagai rangkaian terbatas dari instruksi-instruksi yang telah didefinisikan dengan baik.

Kalau begitu akankah masa depan tidak tepat lagi dikatakan sebagai suatu bentang kawasan yang belum terpetakan? Akankah algoritma mampu melakukan perhitungan yang akurat tentang apa yang akan terjadi di masa depan? Nyatanya tidak.

Seperti dikatakan oleh Skipper, perkembangan zaman dan perubahan lingkungan, nyata-nyata telah membawa manusia ke terra incognita dalam artian perubahan sosial. 

Kalau pada masa lalu manusia disebut sebagai makhluk sosial, atau homo homini sosius, karena manusia memang dipandang tidak bisa tidak bersosialisasi. Pada masa kini justru ada perkumpulan sosial manusia anti sosial, atau "anti social-social club".

Ini adalah sebuah "gaya sosial" yang berkembang di kalangan remaja atau anak muda saat ini. Awalnya digagas oleh seorang pria berkebangsaan Korea yang tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat, bernama Neek Lurk. 

Dia menganggap kalau dia adalah seorang yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya dan merasa orang-orang di sekitarnya tidak bisa menyukainya.

Apakah orang yang berpandangan seperti ini adalah sebuah bentuk kejahatan atau dosa? Mengapakah Sang Pencipta membiarkan ada pandangan yang berbeda dan berisiko mengganggu sesuatu yang sudah mapan, hingga lahir bentuk-bentuk perubahan sosial yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya?

Ada sebuah catatan dari paskah dua tahun yang lalu, pada 2018. Sebuah ayat Alkitab dari kitab Mikha 7 : 1-7. Mikha meratapi kebobrokan dalam masyarakat di mana dia hidup. 

Kekerasan, ketidakjujuran, dan kebejatan merajalela di kota itu. Sedikit sekali orang yang sungguh-sungguh saleh, dan kasih keluarga nyaris tidak ada lagi. Jikalau kita sungguh-sungguh mengabdi kepada Tuhan dan jalan-jalan-Nya, maka kita juga akan meratapi kejahatan yang demikian menyolok di sekitar kita.

Dari sana dinyatakan tentang kejahatan. Benarkah bahwa kejahatan bukan penyebab dosa, melainkan kejatuhan ke dalam dosalah yang membuat manusia melakukan kejahatan?

Lalu bila ternyata matematika, ilmu komputer dan algoritma tidak mampu memperhitungkan secara tepat perubahan-perubahan yang mungkin saja terjadi dalam bentuk-bentuk hubungan sosial manusia pada bentangan kawasan masa depan, terutama dalam kaitannya dengan dosa dan kejahatan, apa yang penting dan perlu untuk kita persiapkan untuk kehidupan mendatang?

Perlunya Kerendahan Hati dan Pengharapan dalam Keseimbangan Perilaku Etis dan Pemahaman Teologis

Pada waktu kita menjalankan mandat budaya di zaman kita, penting dan perlu mengingat nasihat yang disampaikan oleh Yohanes Calvin. Ia adalah seorang teolog, Bapa Gereja (dari aliran yang disebut Calvinis), yang lahir pada tanggal 10 Juli 1509 di kota Noyon, Perancis Utara.

Ayahnya bernama Gerard Cauvin dan ibunya Jeanne Lefranc. Awalnya, namanya adalah Jean Cauvin.

Ia memberi nasihat tentang pentingnya pengharapan akan kehidupan yang akan datang. Karena, saat kita mengharapkan ke-Tuhan-an di dalam setiap aspek kehidupan, kita mudah sekali untuk berpikir terlalu tinggi dari apa yang seharusnya kita pikirkan.

Kita berdiskusi dengan seru dan terjun secara aktif untuk memahami berbagai bidang ilmu, filsafat, sejarah, psikologi, politik, teologia, dan lain-lain. Tapi waktu kita melihat hasil dari apa yang kita usahakan dengan keras, kita sering kali menjadi kecewa.

Yohanes Calvin adalah orang yang realistis. Ia mengerti bahwa idealisme, dalam hal ini soal keimanan, baru akan betul-betul menang pada waktu penghakiman Ilahi atau pada saat kedatangan-Nya yang kedua kali.

Di dunia sekarang ini, yang jahat mungkin akan semakin jahat. Maka Calvin mengambil jalan cerdik dan bijak dengan menempatkan imannya kepada kemenangan di dunia yang akan datang, bukan di dunia sekarang ini.

Bila ada sebagian yang menganggap bahwa mabuk agama sebagai bahaya, dan dalam kenyataannya memang itu adalah sebuah gaya hidup yang bukan tanpa risiko dalam sebuah tatanan sistem sosial. 

Jangan-jangan kita sebagian lainnya juga sebenarnya tanpa sadar sedang melupakan hal yang penting ketika kita menjalani hidup, bekerja, dan menjalani keseharian kita dengan rasionalitas dan logika yang kita banggakan? Kita lupa berdoa, lupa beriman, melupakan kedaulatan Tuhan yang tidak kelihatan.

Melupakan hal ini sebenarnya hanya akan menghilangkan fokus awal dari arti keselamatan. Kita justru terganggu oleh ide tentang optimisme dan idealisme, yang kita harapkan akan tergenapi di dunia sekarang. Faktanya, optimisme dan idealisme kita yang tidak terjamin oleh rasionalitas dan logika kita akan merusak iman kita sendiri.

Pengharapan yang salah dapat mengakibatkan kekecewaan yang luar biasa. Kita perlu rendah hati menantikan waktu Tuhan dalam kita berpengharapan. Ketika kita mengandalkan hikmat kita sendiri, sekalipun dengan dalih "dari, oleh, untuk, dan karena" Tuhan, nyatanya kita mudah sekali terjebak dalam perilaku "berpikir terlalu tinggi dari apa yang seharusnya kita pikirkan".

Tidak mudah untuk menilai, sekalipun untuk menilai dan menghakimi bukan haknya manusia. Sudah menjadi sifat alamiah manusia untuk mudah sekali menilai dan menghakimi. 

Namun, memang tidak mudah untuk mengenali ke-Tuhan-an yang kita pahami tanpa dibarengi perangai etis yang tampak dalam perilaku sehari-hari.

Dalam hal ini, matematika, ilmu komputer dan algoritma yang telah berkembang demikian pesat, justru semakin memudahkan kita untuk menilai diri sendiri sejauh mana perangai dan perilaku etis sebanding dengan pemahaman teologis kita. 

Karena teknologi telah memungkinkan kita menunjukkan diri kita sendiri kepada seluruh dunia dalam tatanan sistem sosial kita yang sudah sedemikian berubah, sadar atau tanpa kita sadari.

"Kejatuhan ke dalam dosalah yang membuat manusia melakukan kejahatan". Selamat Paskah.

Teo Tarigan,

Blog Pribadi: https://surantateo.wixsite.com/terraincognita

Linkedin : https://www.linkedin.com/in/teopilus-tarigan-878444114/

Instagram: https://www.instagram.com/tariganteo/

Facebook: https://www.facebook.com/teo.tarigan.5

Twitter: https://www.twitter.com/teotarigan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun