Pada waktu kita menjalankan mandat budaya di zaman kita, penting dan perlu mengingat nasihat yang disampaikan oleh Yohanes Calvin. Ia adalah seorang teolog, Bapa Gereja (dari aliran yang disebut Calvinis), yang lahir pada tanggal 10 Juli 1509 di kota Noyon, Perancis Utara.
Ayahnya bernama Gerard Cauvin dan ibunya Jeanne Lefranc. Awalnya, namanya adalah Jean Cauvin.
Ia memberi nasihat tentang pentingnya pengharapan akan kehidupan yang akan datang. Karena, saat kita mengharapkan ke-Tuhan-an di dalam setiap aspek kehidupan, kita mudah sekali untuk berpikir terlalu tinggi dari apa yang seharusnya kita pikirkan.
Kita berdiskusi dengan seru dan terjun secara aktif untuk memahami berbagai bidang ilmu, filsafat, sejarah, psikologi, politik, teologia, dan lain-lain. Tapi waktu kita melihat hasil dari apa yang kita usahakan dengan keras, kita sering kali menjadi kecewa.
Yohanes Calvin adalah orang yang realistis. Ia mengerti bahwa idealisme, dalam hal ini soal keimanan, baru akan betul-betul menang pada waktu penghakiman Ilahi atau pada saat kedatangan-Nya yang kedua kali.
Di dunia sekarang ini, yang jahat mungkin akan semakin jahat. Maka Calvin mengambil jalan cerdik dan bijak dengan menempatkan imannya kepada kemenangan di dunia yang akan datang, bukan di dunia sekarang ini.
Bila ada sebagian yang menganggap bahwa mabuk agama sebagai bahaya, dan dalam kenyataannya memang itu adalah sebuah gaya hidup yang bukan tanpa risiko dalam sebuah tatanan sistem sosial.Â
Jangan-jangan kita sebagian lainnya juga sebenarnya tanpa sadar sedang melupakan hal yang penting ketika kita menjalani hidup, bekerja, dan menjalani keseharian kita dengan rasionalitas dan logika yang kita banggakan? Kita lupa berdoa, lupa beriman, melupakan kedaulatan Tuhan yang tidak kelihatan.
Melupakan hal ini sebenarnya hanya akan menghilangkan fokus awal dari arti keselamatan. Kita justru terganggu oleh ide tentang optimisme dan idealisme, yang kita harapkan akan tergenapi di dunia sekarang. Faktanya, optimisme dan idealisme kita yang tidak terjamin oleh rasionalitas dan logika kita akan merusak iman kita sendiri.
Pengharapan yang salah dapat mengakibatkan kekecewaan yang luar biasa. Kita perlu rendah hati menantikan waktu Tuhan dalam kita berpengharapan. Ketika kita mengandalkan hikmat kita sendiri, sekalipun dengan dalih "dari, oleh, untuk, dan karena" Tuhan, nyatanya kita mudah sekali terjebak dalam perilaku "berpikir terlalu tinggi dari apa yang seharusnya kita pikirkan".
Tidak mudah untuk menilai, sekalipun untuk menilai dan menghakimi bukan haknya manusia. Sudah menjadi sifat alamiah manusia untuk mudah sekali menilai dan menghakimi.Â