Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Mengapa Engkau Meninggalkan Aku?", Apologetika Kasih Atas Pengadilan yang Kejam

10 April 2020   13:21 Diperbarui: 11 April 2020   01:03 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inikah risiko sebagai harga atas sebuah obsesi?

Manusia semakin cenderung ingin saling mengalahkan. Selain mengalahkan keadilan dengan uang, manusia juga berjuang memenangkan keadilan dengan ketenaran.

Relasi kuasa dalam hubungan antar susunan masyarakat didominasi oleh pengertian determinasi antar pihak. Semakin lama manusia semakin kehilangan keramahtamahan dan kehangatan. Kalaupun masih ada sering kali karena itu menjadi kewajiban. Bila tidak akan dikenakan sanksi atau hukuman.

Masih adakah denyutan kasih sayang tulus yang diwarisi generasi ke generasi, bapa ke anak dan ke anaknya lagi untuk seterusnya? Bukankah seharusnya untuk itulah kita dipanggil dalam hidup yang unik ini? Adakah sebenarnya hidup dengan modal sosial tanpa neraca?

Ada juga memang banyak postingan, cuitan dan komentar berbagai orang di media sosial saat ini, baik yang tampil dengan menampakkan kecemasan, tampil dalam satir untuk mengetuk kepekaan sosial, atau bahkan dalam bentuk sarkasme hujatan dan caci maki, untuk menimpali keadaan.

Terkadang ada juga terbersit dalam pikiran. Selain telah menuai banyak sekali manfaat dari perkembangan teknologi, tidakkah ini juga barangkali adalah petunjuk hampir tercapainya batas puncak toleransi dari efek buruk teknologi?

Teknologi kita yang berkembang dengan sangat pesat, dengan manfaat dan mudarat yang mengiringinya, turut menggiring kita ke perenungan bahwa semua ini bisa menjadi tidak berarti apa-apa, ketika obsesi kita mengandung risiko yang mungkin tidak akan mampu kita terima. Semua hal di muka bumi ada masanya dan juga ada batasnya. Kita, manusia, bukanlah sesuatu yang tidak tak terbatas.

Perkembangan teknologi yang massif tampak seperti akan membawa peradaban menuju batasnya dalam sisi negatif. Namun, menjadi paradoks, karena justru untuk mencegahnya agar tidak menjadi kenyataan, kita dihimbau justru cukup dengan membatasi diri.

Baca juga : https://www.kompasiana.com/teotarigan/5e7b214fd541df3f167e7442/arti-penting-menyepi-bagi-ibu-bumi

Ini mengingatkan bahwa sekalipun awalnya pembangunan teknologi diniatkan untuk memberi berbagai manfaat dan kemudahan bagi kehidupan manusia, tapi semua itu ada batasnya. Pertumbuhan, perkembangan, ada batasnya. Karena lebih dari itu mungkin adalah sebuah tragedi sebagai akhirnya.

Tanjung Badai adalah juga Tanjung Harapan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun