Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ironi dalam Membandingkan Resident Evil dengan Corona

16 Maret 2020   03:02 Diperbarui: 16 Maret 2020   03:46 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: wikimedia.org)

Anak-anak sekolah ini perlu dikondisikan agar berada dalam situasi yang aman dan mengurangi risiko terpapar. Mungkin kebijakan melakukan proses belajar jarak jauh dari rumah tidak ada salahnya dilakukan untuk sementara waktu. Tingkat risiko akibat mobilitas sehari-hari, tentu saja hanya tinggal menunggu waktu virus ini dapat menjangkau berbagai daerah di Indonesia.

Menunggu jatuhnya korban dan virus yang sudah menyebar, baru melakukan tindakan persiapan dan pencegahan tentu membuat masyarakat menjadi ragu akan kesiapan dalam penanganan masalah.

Apabila ada temuan kasus, seringkali itu adalah seperti efek puncak gunung es. Yang ditemukan dan melapor hanya segelintir dari sekian banyak lagi yang tidak terdeteksi, namun masih terlihat aman karena masih ada pada masa inkubasi.

Semoga kita siap bila itu terjadi, karena banyak juga yang meragukan. Bila mau melakukan kebijakan lockdown, masyarakat dinilai belum siap secara mental. Bila mau melakukan tes kesehatan secara massif hingga 20.000 orang per hari seperti di Korea Selatan anggaran kita terbatas. Dalam hal melakukan penelusuran kontak pasien suspect Corona juga infrastruktur kita sepertinya terbatas dan beragam kondisi kemampuannya di setiap daerah.

Kita memang tidak perlu panik, tapi tetap waspada. Namun, alangkah ironisnya bila kebijakan pemerintah meliburkan sekolah-sekolah, memberikan kesempatan bekerja dari rumah, dan melakukan ibadah di rumah, yang lebih sebagai mekanisme pengkarantinaan diri secara mandiri, justru direspons oleh masyarakat sebagai liburan ke tempat-tempat wisata yang masih dibuka. Memang ini bukan gambaran sikap panik, tapi justru lebih terasa sebagai tidak mau tahu, yang justru lebih berpotensi meningkatkan penyebaran virus secara massif.

Kita juga tidak perlu reaktif dengan menjadi bersikap rasis bagi warga dari etnis tertentu, yang dianggap sebagai pembawa virus. Perilaku diskriminatif dalam memandang siapapun melalui sikap Sinophobia, justru laksana sebuah virus yang dapat merebak dengan cepat di antara masyarakat kita.

Hal ini malah kontradiksi dengan himbauan pemerintah dalam mengatasi Corona yang salah satunya tidak ketinggalan menghimbau kita agar juga rajin berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing. Apakah Tuhan akan mendengarkan doa-doa kita bila pada saat yang sama kita juga tidak lupa bersikap diskriminatif bagi orang lain?

Ketika pertama kali mendengar pemberitaan bahwa ada warga Indonesia yang terpapar Coronavirus, mungkin sebagian kita ada yang bersikap tenang atau biasa saja, ada juga yang kaget atau tidak kurang banyak juga yang panik. Ketika pemerintah berupaya meminimalisir isu coronavirus, sebagai warga tugas kita sederhana saja, yaitu mengedepankan kemanusian.

Melakukan hal yang menguntungkan diri sendiri di tengah isu atau krisis yang sedang terjadi adalah perbuatan tidak terpuji. Karena kehidupan kita bukan sekadar sebuah film dengan sekuel selanjutnya, yang demi keseruan seringkali menyuguhkan gambaran tentang kota yang sangat mencekam, karena nyaris tidak ada lagi orang yang sehat berkeliaran di luar rumah. Orang-orang bersembunyi di rumah demi menghindari manusia-manusia yang sudah terinfeksi menjadi zombie. Kita semua bersaudara.

Sumber:

id.wikipedia.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun