Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Warisan Budaya yang Membuktikan bahwa Kita Semua Bersaudara

31 Oktober 2019   18:40 Diperbarui: 1 November 2019   04:47 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arca Dewa Wisnu di Kecamatan Kutabuluh Kab. Karo (Foto: Darmansyah Karosekali)

Beberapa hari belakangan ini, salah satu pemberitaan yang juga banyak mendapat sorotan di media, baik cetak, elektronik, luring dan daring adalah ulasan soal asal usul orang Indonesia asli.

Sebagaimana dilansir dari sebuah artikel di laman Kompas.com edisi 17/10/2019, yang berjudul "Tak Ada Pribumi, Begini Tes DNA Tentukan Asal Usul Orang Indonesia," telah dilaksanakan penelusuran leluhur orang Indonesia asli, dengan 16 responden acak dari orang Indonesia yang dilaksanakan oleh majalah sejarah daring Historia.id. Responden ini mewakili 70 etnik dari 12 pulau yang ada di Indonesia yang dipilih secara acak.

Melalui proyek tes DNA ini terungkap bahwa ternyata tidak ada yang bisa diklaim sebagai manusia pribumi atau asli Indonesia. Proyek ini bertujuan untuk memberikan informasi asal-usul orang Indonesia sesungguhnya.

Hasil tes DNA dari 16 responden memperlihatkan bukti adanya pembauran beberapa leluhur yang datang dari periode maupun dari jalur yang beragam.

Hasil tes DNA ini mampu memberikan data ilmiah soal komposisi ras, penelusuran nenek moyang dan juga lini masa kehadiran ras. Selain itu, informasi penting yang didapatkan dari tes DNA ini memberikan pencerahan soal asal usul, pengaruh luar dan budaya yang menjadikan kita orang Indonesia.

Menurut Deputi Fundamental Eijkman Institute, Prof. Dr. Herawati Aru Sudoyo, dengan pengetahuan mendalam soal DNA, diharapkan kita lebih bertoleransi, mampu memahami perbedaan satu sama lain, dan menjaga keutuhan bangsa dan budaya.

"Karena dari 16 sampel yang kita pamerkan di Museum Nasional ini bahkan tidak ada yang pribumi asli. Maksudnya yang 100 persen real orang Indonesia, kebanyakan dari mereka besar presentasenya adalah keturunan atau nenek moyangnya dari Afrika," ujar Hera.

Sementara itu, Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dra. Triana Wulandari mengatakan bahwa penelusuran DNA untuk mengetahui asal usul nenek moyang asli orang Indonesia ini penting untuk memberitahukan bahwa Indonesia itu beragam, dan kita semua bersaudara.

Merasa tertarik dengan hasil tes DNA terkait penelusuran asal usul nenek moyang bangsa Indonesia yang dipamerkan di Museum Nasional itu, saya mencoba menghubungkan fakta sejarah terkait hal yang sama sehubungan dengan sejarah nenek moyang orang Karo. Suku bangsa yang mayoritas mendiami dataran tinggi Karo, tempat tinggal saya saat ini.

Untuk melakukan tes DNA secara pribadi di laboratorium komersial, menurut Prof. Dr. Herawati biayanya cukup mahal, karena harus mengeluarkan Rp 5,7 juta per tesnya.

Maka, saya mencoba menelusurinya dari literatur yang ada disandingkan dengan fakta-fakta lapangan yang ada, yang tercecer di berbagai tempat di kampung halaman, sebagai alat bukti yang faktual atas kajian literatur tersebut.

Benar, sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dr. Herawati, bahwa kebanyakan dari nenek moyang orang Indonesia asalnya dari Afrika. Dilansir dari wikipedia, bahwa sejarah Suku Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid atau Negrito. Percampuran ini disebut umang.

Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat.

Gua Umang di Desa Seberaya Kec. Tigapanah Kab. Karo (Foto: Darmansyah Karosekali)
Gua Umang di Desa Seberaya Kec. Tigapanah Kab. Karo (Foto: Darmansyah Karosekali)
Pada abad pertama setelah Masehi, terjadi migrasi orang India Selatan ke Indonesia termasuk ke Sumatra. Mereka beragama Hindu. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta, Pallawa, dan ajaran dalam agama Hindu.

Pada abad kelima, terjadi pula gelombang migrasi India yang memperkenalkan agama Buddha dan tulisan Nagari. Tulisan Nagari inilah yang menjadi cikal bakal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno. Paling tidak dalam hal bahasa, asal usul ini membuktikan bahwa ada keterkaitan atau persaudaraan suku Batak, Melayu dan Jawa, kita bersaudara.

Pada Rabu, 30/10/2019 yang lalu, seorang teman saya yang bekerja pada sebuah instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, dalam sebuah perjalanan dinas untuk melakukan pemetaan rupa bumi dan pemeriksaan tapal batas wilayah, ia mendokumentasikan sebuah jejak unsur warisan budaya dan sejarah masa lalu yang masih berdiri di sebuah desa di Kecamatan Kutabuluh Kabupaten Karo. Itu adalah sebuah arca peninggalan agama Hindu dengan gambaran wujud Dewa Wisnu di atasnya. 

Juga ada gapura yang menyerupai gapura bergaya Hindu, sebagaimana yang ada pada kerajaan Majapahit maupun kerajaan Mataram Hindu di Pulau Jawa, yang baru-baru ini juga ditemukan juga oleh beberapa ahli arkeologi di Pulau Jawa, yang terdiri atas susunan batu bata.

Arca Dewa Wisnu di Kecamatan Kutabuluh Kab. Karo (Foto: Darmansyah Karosekali)
Arca Dewa Wisnu di Kecamatan Kutabuluh Kab. Karo (Foto: Darmansyah Karosekali)
Arca Dewa Wisnu di Kecamatan Kutabuluh Kab. Karo (Foto: Darmansyah Karosekali)
Arca Dewa Wisnu di Kecamatan Kutabuluh Kab. Karo (Foto: Darmansyah Karosekali)
Gapura Bergaya Mataram Hindu di Kecamatan Kutabuluh Kab. Karo (Foto: Darmansyah Karosekali)
Gapura Bergaya Mataram Hindu di Kecamatan Kutabuluh Kab. Karo (Foto: Darmansyah Karosekali)
Hal ini menegaskan bahwa pada masa dulu, di tempat ini sudah ada pengaruh Hindu, walaupun pada saat ini sudah tidak ada lagi ditemukan orang-orang dengan ciri khas fisik seperti bangsa Tamil yang ada di India pada desa ini.

Barangkali, hal ini juga menjadi penjelasan logis mengapa dalam kepercayaan atau agama awal suku Karo, yang disebut "Agama Pemena," ada dikenal istilah Dibata Datas atau Guru Batara, yang memiliki kekuasaan atas dunia atas atau angkasa, lalu ada Dibata Tengah atau Tuhan Padukah ni Aji, yang menguasai dan memerintah di bagian dunia yang kita huni ini, dan Dibata Teruh atau Tuhan Banua Koling, yang memerintah di bagian bawah bumi. Hal ini mirip dengan konsep Tri Murti pada agama Hindu dengan Dewa Brahma, Wisnu dan Shiwa-nya.

Hal ini belum ditambah lagi dengan kesamaan beberapa marga pada suku Karo yang ada kemiripan dengan kasta yang ada di India. Mungkin ini adalah pengaruh para kaum kasta Brahma dan Kesatria yang bermigrasi dari India pada berabad-abad lalu dan tiba di Tanah Karo pada masa lalu, yang kemudian menanamkan pengaruh budaya dan agamanya, bahkan mempengaruhi sistem sosial dan kepercayaan suku Karo yang lebih dahulu mendiami desa ini.

Lebih jauh lagi, pada hari Minggu, 27/10/2019 yang lalu, di sela kunjungan ke rumah kerabat di Desa Aji Jahe Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo dalam rangka pesta budaya Kerja Tahun, yang merupakan pesta tahunan untuk pengucapan syukur warga desa atas hasil panen selama setahun, saya menyempatkan diri mengunjungi salah satu situs budaya yang berada di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Itu adalah situs budaya Puteri Hijau.

Situs Budaya Putri Hijau di Desa Seberaya Kec. Tigapanah Kab. Karo (dokpri)
Situs Budaya Putri Hijau di Desa Seberaya Kec. Tigapanah Kab. Karo (dokpri)
Situs Budaya Putri Hijau Desa Seberaya Kec. Tigapanah Kab. Karo (dokpri)
Situs Budaya Putri Hijau Desa Seberaya Kec. Tigapanah Kab. Karo (dokpri)
Berdasarkan sejarahnya, pada abad 15 hingga abad 16 terjadi peristiwa paling berdarah di dataran rendah Aceh, Sumatera Timur, dan semenanjung Malaysia.

Empat kerajaan saling membantai dalam suatu praktik konspirasi. Motifnya adalah saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan pada zona perdagangan internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka.

Di tengah kecamuk konspirasi mematikan bermotif ekonomi itu, di tepian sungai Deli, sekitar 9 km dari Labuhan Deli, lahirlah legenda klasik bernama Puteri Hijau.

Legenda tentang sang Puteri yang digambarkan sebagai sosok yang cantik jelita bertahan hingga kini, terlihat dari sesajen dan kembang yang masih ada diantarkan para peziarah sejarah atau pengunjung yang ingin tahu dengan keberadaan legenda dan situs budaya ini.

Dalam sebuah versi sejarah yang berasal dari catatan sejarah cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli, dikisahkan bahwa konon dahulu kala pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita di Desa Seberaya, yang merupakan hulu sungai Petani yang bermuara ke sungai Deli, yang juga mengaliri kota Medan hingga bermuara ke Selat Malaka.

Kecantikannya yang memancarkan warna kehijauan berkilau tersohor mulai dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara pulau Jawa. Ia kemudian dinamai Puteri Hijau.

Dalam penuturan sejarah lisan, Puteri Hijau dipercaya memiliki dua saudara kembar, salah satunya adalah seekor ular bernama Ular Simangombus dan sebuah meriam bernama Meriam Puntung.

Pecahan meriam ini saat ini sebagian ada di sebuah situs buadaya di Desa Sukanalu Simbelang Kecamatan Barusjahe dan sebagian lagi disimpan di Istana Maimoon, Medan, yang juga berfungsi sebagai museum.

Ular Simangombus dikisahkan memiliki selera makan yang luar biasa, seakan tidak pernah kenyang. Rakyat Seberaya sudah tidak sanggup lagi menyediakan makanan untuknya, sehingga ia dan Puteri Hijau bersama dengan Meriam Puntung memutuskan pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal dengan nama Deli Tua. Sebuah tempat yang saat ini merupakan bagian dari Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Kecantikan Sang Puteri akhirnya menyebar hingga menggapai Raja Aceh. Raja yang tertarik dengan kabar kecantikannya mengirim bala tentara untuk meminang sang Puteri.

Tapi pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.

Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang.

Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.

Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua.

Bagian moncongnya tercampak ke Desa Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe. Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon Medan.

Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan, yang dinamakan Jalan Puteri Hijau, hingga memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.

Sementara itu, versi sejarah lainnya adalah hikayat dari masyarakat Karo sendiri. Walaupun agak bertentangan dengan versi sejarah cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli. Perbedaan ini terkesan akibat persaingan untuk mengunggulkan identitas dan ego suku masing-masing.

Versi yang satu ini, menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh.

Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakannya suatu upacara sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.

Sesaat setelah upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin puting beliung yang dahsyat, disusul gelombang tinggi yang ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Simangombus, yang dengan rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung.

Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan ular naga.

Kelemahan dari setiap cerita lisan adalah selalu dan selamanya hanya mewariskan berbagai versi kisah yang bertahan hidup dan berkembang sesuai selera masing-masing penceritanya.

Dalam hal ini, proyek tes DNA untuk mengetahui asal usul nenek moyang asli orang Indonesia, sebagaimana yang dilakukan Prof. Dr. Herawati dan timnya menjadi penting, untuk menguak fakta sejarah yang lebih bisa dipertanggung jawabkan.

Karena, sebenarnya baik dalam setuju mapun perdebatan atas kisah yang diwariskan secara turun-temurun atas sebuah hikayat, sebenarnya ada hal-hal yang saling beririsan dari setiap suku bangsa dan etnik, yang bahkan terpisah oleh samudera raya. 

Hanya saja, rasa ego manusia yang berkembang dalam isi tempurung kepalanya yang kecil terkadang bisa mengalahkan bahkan luasnya benua dan samudera.

Maka bukan tidak beralasan bila Richard Templar, mengatakan dalam The Rule of Life bahwa secara genealogis bisa saja 90% laki-laki di Eropa bila ditarik jauh ke belakang mungkin punya kaitan dengan Genghis Khan, orang besar dari Mongolia sang penakluk dunia itu. 

Kalau begitu, mengapa tidak mungkin orang Karo yang bermarga Brahmana di Desa Limang Kecamatan Tigabinanga, atau marga Meliala dan Pandia di Desa Seberaya punya hubungan dengan orang-orang dari berbagai kasta di India?

Atau masih patutkah kita bersilang sengketa soal asal usul nenek moyang atau soal siapakah pribumi asli bila ternyata kita semua bersaudara? Justru yang lebih menarik saat ini barangkali adalah bagaimana kita bisa merawat persatuan dalam keberagaman kita, karena itulah yang menjadikan kita Indonesia.

Referensi:

1. Tak Ada Pribumi, Begini Tes DNA Tentukan Asal Usul Orang Indonesia
2. Putri Hijau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun