Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Kopi Harapan", Seuntai Doa di Dalam Segelas Kopi dari Siosar

27 Oktober 2019   17:58 Diperbarui: 28 Oktober 2019   12:26 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua orang ibu yang sedang beristirahat di sela kegiatan memanen kopi di Siosar (Foto: Pdt. Rocky Marchiano Tarigan)

Pak Tua itu menyeruput kopinya, "Sruppp...hah", dia dikejutkan oleh suara dentuman Gunung Sinabung kala itu. Dia mendengar teriakan, tangisan dan suara-suara ketakutan. Tetesan air mata semakin tak terbendung, bercampur aduk membuatnya terlihat lelah.

Masyarakat Siosar adalah kesatuan masyarakat adat yang eksodus dari beberapa desa yang dulunya terletak di kaki Gunung Sinabung. Kini desa-desa itu, Simacem, Bekerah, dan Sukameriah, telah hilang diselimuti debu tanah vulkanik yang datangnya dari dalam perut bumi melalui kawah Gunung Sinabung.

Simacem, Bekerah, dan Sukameriah, ketiga desa tersebut, seolah menjadi benteng dari terjangan abu vulkanik yang panas, beserta lava pijar yang membakar setiap benda yang dilaluinya, maupun benteng atas lahar dingin yang menyapu segala hal yang menghalangi jalur alirannya. 

Ketiga desa ini kini nyaris menjadi rata dengan tanah. Bila masih ada tersisa tanda-tanda yang menunjukkan kalau dulunya itu adalah sebuah desa, mungkin hanya beberapa rumah dengan kerangka-kerangka yang telah lapuk dan menyiratkan kepiluan, sunyi.

Bangunan tersisa dari GBKP Bakerah Simacem masih terlihat, tampak di sekitarnya lahan pertanian yang telah tertutup dan permukiman penduduk yang telah lama ditinggalkan sebagai dampak erupsi Gunung Sinabung. (Foto, 05 Desember 2015 dari Tiga Kicat, by: Sadrah Peranginangin)
Bangunan tersisa dari GBKP Bakerah Simacem masih terlihat, tampak di sekitarnya lahan pertanian yang telah tertutup dan permukiman penduduk yang telah lama ditinggalkan sebagai dampak erupsi Gunung Sinabung. (Foto, 05 Desember 2015 dari Tiga Kicat, by: Sadrah Peranginangin)
Sebelum bencana terjadi, ketiganya adalah desa dengan warganya yang bersahabat dengan alam Sinabung. Warga sangat bergantung kepada alam Sinabung dalam kesehariannya bercocok tanam. 

Salah satu komoditi pertanian yang terkenal dari desa mereka adalah "kopi." Iya, itu adalah jenis kopi arabika yang terkenal, yang oleh masyarakat dinamakan "Kahoa."

Sepanjang ingatan mereka, kopi adalah tanaman yang sudah ada sejak lama, yang diwariskan oleh leluhur mereka. Warga desa menyebut kopi adalah tanaman tradisi, karenanya di setiap ladang warga petani pasti akan kita temukan tanaman kopi sebagai tanaman wajibnya.

Bukan tanpa alasan hal ini terjadi. Komoditi kopi adalah jawaban atas persoalan ekonomi warga desa itu selama ini. Mereka dapat menjual 3 kg kopi hanya untuk membeli lauk-pauk dan kebutuhan untuk makan, atau menjual 1 ton untuk membeli kendaraan. 

Begitulah pentingnya kopi sebagai jawaban atas persoalan maupun sebagai sandaran atas berbagai harapan mereka.

Bencana erupsi Gunung Sinabung dengan status ancaman bahaya Level IV atau Awas, yang terjadi tanpa henti sejak tahun 2013, telah membuat warga ketiga desa ini harus mengungsi. Itu benar-benar sebuah keadaan yang di luar bayangan dan kendali. 

Namun, sejak 20 Mei 2019, status Awas (Level IV) itu telah diturunkan oleh otoritas yang berwenang menjadi Siaga (Level III).

Pada masa itu, terdengar suara gemuruh dan dentuman yang bercampur dengan teriakan, tangisan, suara klakson mobil yang seperti saling berebut melarikan diri, maupun kendaraan yang memang diniatkan untuk mengevakuasi. 

Semua orang takut dan berlari menyelamatkan diri. Pada saat yang sama, makhluk lain, yang juga telah menjadi sahabat mereka sejak lama, yaitu kopi, hanya bisa terpagut diam di tempatnya. 

Mungkin tidak secara emosional, tapi barangkali impuls-impuls biologis atas perubahan spontan ekologis yang sedang terjadi, mungkin memicu respon alamiah dari si kopi.

Dalam reaksi para warga desa, yang adalah tuan dari si kopi, respon perubahan spontan ekologis itu tergambar sebagai ancaman bahaya yang terlihat dalam teriakan kepanikannya. Mereka berlari meninggalkan tanaman kopi di ladang-ladang, yang telah menjadi jawaban persoalan dan sandaran harapan selama ini. 

Tanaman kopi itu tentu hanya terdiam dalam cengkraman akar-akarnya yang bertahan di antara setiap dentuman, terjangan batu-batu, semburan tanah dan abu vulkanik yang menghantam semua hal yang dilaluinya, seolah turut hendak mencerabut segala akar dari tanah, sekalipun itu adalah akar yang memberikan manusia kehidupan.

Dalam gambaran gaya bahasa personifikasi, barangkali tanaman kopi di ladang-ladang yang ditinggalkan itu tampak hanya sebagai korban yang pasrah. 

Sementara dari kejauhan, warga desa yang mengungsi, tuan tanah ladang dan tuan si kopi, hanya mampu menatap pilu tanaman kopinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Mungkin mereka berharap, semoga saja kopi mereka bertahan melawan terjangan abu vulkanik, ya mereka sangat berharap.

Setiap dentuman letusan pastinya sangat menyakitkan hati mereka. Seakan mereka merasakan derita yang dirasakan si kopi, yang selama ini memberikan mereka jawaban dan harapan.

Apa lagi hendak dikata? Begitulah rasa itu sering kali meluap dalam isak tangis, sembari terus berharap semoga besok masih bisa melihat tanaman kopi mereka.

Ya betul, begitu bangun pagi, saat gunung tampak tenang dari kejauhan di penampungan-penampungan mereka, secara diam-diam mereka menyelinap menerobos portal jarak batas aman atas ancaman bahaya awan panas, hanya untuk sekadar melihat tanaman kopi mereka. 

Ketika melihat kopi mereka masih bertahan, mereka tak jarang membersihkan abu vulkanik yang melekat di daun dan ranting, serta memetik buah kopi yang telah matang memerah.

Momen itu seakan memberikan gambaran jika si kopi bertahan sekuatnya hanya untuk bisa berjumpa dengan tuannya. Kegembiraan atas momen itu mengalahkan rasa takut mereka terhadap bahaya yang mengancam.

Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama, ketika sekali waktu awan panas menerjang seluruh kopi mereka, saat itu bahkan ada korban jiwa. Sirna, ya semua menjadi sirna. 

Masyarakat menjadi frustasi, mereka seperti kehilangan arah. Untuk sementara, seluruh jalan menjadi tampak seperti jalan buntu, karena sandaran harapan mereka selama ini telah sirna. 

Kopilah yang melekat kuat sebagai jawaban dan harapan dalam ingatan mereka. Erupsi memang bencana, tapi kehilangan tanaman kopi merupakan bencana besar lainnya bagi mereka.

Pada tahun 2015 pemerintah merelokasi warga di ketiga desa ini, Simacem, Bekerah, dan Sukameriah, ke Siosar. Setelah lahan untuk tinggal menetap dan bercocok tanam diberikan oleh pemerintah, maka mereka memulai kehidupan yang baru. 

Kini, secercah harapan mulai terlihat, walau lahan yang dipakai masih status kontrak. Namun, mereka merasa ada harapan untuk memulai hidup yang baru di lahan yang baru. 

Mereka mulai mencari bibit kopi dan berharap agar kopi mereka yang dulu bereinkarnasi atau terlahir kembali, untuk tetap menjadi kopi yang terbaik.

wanita sedang memanen kopi si Siosar (Foto: Pdt. Rocky Marchiano Tarigan)
wanita sedang memanen kopi si Siosar (Foto: Pdt. Rocky Marchiano Tarigan)
Ya, mereka memulai menapaki harapan di lahan mereka yang baru. Petani kopi itu mengangkat bibit kopinya ke langit, seolah mengharapkan pertolongan datang dari balik awan-awan atau dari balik gunung-gunung. 

Mereka mendoakan setiap penderitaan yang mereka lalui selama ini, dan berharap agar tanah yang mereka pijak kini bisa memberi kehidupan untuk kopi mereka, karena kopi adalah harapan.

Kawasan Siosar merupakan kawasan relokasi yang sangat baik untuk budi daya dan pengembangan tanaman kopi. Selain tanah yang subur dan cocok untuk kopi, ketinggian 1.500-1.600 mdpl itu diberkahi dengan pemandangan yang sangat eksotis dan alamnya yang sejuk. 

Kesejukannya membuat momen menikmati secangkir kopi di sini memiliki sensasi tersendiri yang berbeda dengan menikmati kopi yang lain.

Sejuknya Siosar (dokumentasi pribadi)
Sejuknya Siosar (dokumentasi pribadi)
Negeri di atas awan, sebutan yang cocok untuk Siosar. Kopinya yang terasa berlemak dengan varian rasa buah yang variatif, membuat kopi Siosar digemari oleh orang-orang yang pernah mencicipinya. Selain soal rasa, dalam kopi Siosar terkandung makna filosofis kehidupan tersendiri.

Pada suatu sore di sebuah warung kopi di Siosar, Pak Tarigan menyeduh segelas kopi dan disuguhkannya kepada pak Sitepu yang merupakan warga Siosar kini. "Sruppp, hah..." dia terdiam, tampak seakan sedang meresapi cita rasa kopi yang diseruputnya.

Perlahan tetesan air mata mengalir dari pelupuk matanya yang telah hangat dan basah, membasahi pipinya yang sudah keriput berkerut.

Rupanya dia mengenangkan kehidupan masa lalu di desanya sebelum direlokasi. Itu adalah masa ketika tanaman kopinya dulu pernah memberinya harapan dalam hidup, kegembiraan masa lalu. 

Pak tua ini juga merasakan kepahitan saat mereka ditekan tengkulak yang melecehkan hasil panen kopinya kala itu. "Sruppp, hah...," dia mengenangkan suara dentuman dari Gunung Sinabung kala itu. 

Dia mengingat suara teriakan, tangisan dan suara-suara ketakutan. Tetesan air matanya semakin tak terbendung, bercampur aduk dengan kenangannya membuatnya terlihat lelah.

Lalu, sambil menghela nafas, ia membelai tanaman kopi yang baru berumur 1-2 tahun, yang sudah mulai memperlihatkan keindahannya, dengan buahnya yang besar dan merah berminyak. Bagai seorang putri yang sedang bersolek sambil tersenyum memberikan sebuah harapan kepadanya.

Ya, mungkin tanaman kopinya yang dulu telah bereinkarnasi menjadi Kopi Siosar. 

Pak Sitepu tersenyum melihat kopinya, ada harapan baru untuk melanjutkan cerita hidup, masalalu telah berlalu, dan hari ini akan memberi sebuah harapan yang baik, pikirnya.

Masyarakat di kawasan itu juga terlihat bersemangat dengan keadaan mereka sekarang. Keadaan ini tidak terlepas dari sikap mental yang dibentuk dalam terjangan ancaman dan beban penderitaan masa silam akibat bencana erupsi Gunung Sinabung. 

Namun, mereka percaya bahwa di balik bencana pasti ada rencana baik dari Tuhan untuk mereka. Oleh karena itu, mereka mempunyai harapan untuk masa depan mereka, dan mereka bersyukur atas keadaan mereka saat ini. 

Mereka percaya kopi adalah anugerah Tuhan bagi mereka dan akan mengubah masa depan mereka menjadi lebih baik.

Anak-anak di Siosar sedang berlatih di sebuah balai, memainkan (dokumentasi pribadi)
Anak-anak di Siosar sedang berlatih di sebuah balai, memainkan (dokumentasi pribadi)
Dalam segelas kopi pada sore hari itu, ada doa Pak Sitepu akan sebuah harapan masa depan. Oleh mereka, Kopi Siosar dia sebut "Kopi Harapan." 

Di dalamnya terkandung makna, bahwa Tuhan maha baik menciptakan kopi, dan menabur kesuburan untuk dia tumbuh baik di Siosar. Mari kunjungi Siosar dengan semangat menyatu dengan alam, dalam balutan nuansa spiritual dan filosofi kopi.

Tulisan ini berdasarkan pengalaman yang direkam langsung oleh Pdt. Rocky Marchiano Tarigan, S.Si, M.Sos dari hasil pengamatan dan interaksinya langsung dengan warga pengungsi bencana erupsi Gunung Sinabung secara umum, khususnya pengungsi dari Simacem, Bekerah, dan Sukameriah, yang saat ini telah menetap di Siosar, dan dituliskan kembali untuk Kompasiana. 

Pendeta yang masih tergolong berusia muda ini, adalah salah seorang pendeta di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), yang sejak tahun 2018 hingga saat ini, melayani jemaat di Majelis Bekerah-Simacem di Siosar, sekaligus ditunjuk juga menjadi Ketua Desa Wisata Siosar oleh Pemerintah tiga Desa di Siosar.

Ia lahir di Kabanjahe, pada tanggal 22 Maret 1985. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Teologi di UKSW Salatiga, dan kini telah menyelesaikan pendidikan Magister Studi Pembangunan di FISIP USU Medan.

Bukan tanpa alasan warga tiga desa di Siosar itu menunjuknya menjadi ketua desa wisata, karena sebelumnya ia juga pernah menjadi Ketua Unit Wisata Rohani GBKP dalam rentang tahun 2012-2015, pada saat ia juga melayani jemaat di Majelis GBKP Buluh Awar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang.

MJJ Coffee di Kawasan Relokasi Siosar binaan Pdt. Rocky Marchiano Tarigan (Foto: dokpri)
MJJ Coffee di Kawasan Relokasi Siosar binaan Pdt. Rocky Marchiano Tarigan (Foto: dokpri)
Di luar pakem mainstream yang menempatkan seolah ada keterpisahan antara kehidupan dan pelayanan rohaniwan dengan profesi yang lain, pendeta ini merasa tidak cukup hanya dengan berkhotbah di atas mimbar tanpa melakukan tindakan nyata bagi kehidupan jemaat dan warga desa tempatnya melayani, maka ia juga dikenal sebagai penggerak semangat kewirausahaan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya pertanian dan pariwisata terintegrasi di Siosar. 

Dia mengelola sebuah kafe mungil nun jauh di ketinggian Siosar yang dia beri nama MJJ Coffee, sebuah inisial dari salam khas orang Karo, "Mejuah-Mejuah."

Ia menjalani pelayanan dan kesehariannya dengan moto, "Hidup bukan kebetulan, tapi terencana sistematis oleh kekuasaan Tuhan. Kehadiran di dunia bukan sekadar saja, tapi melakukan sesuatu menjadi tanda kita pernah ada di dunia ini."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun