Momen itu seakan memberikan gambaran jika si kopi bertahan sekuatnya hanya untuk bisa berjumpa dengan tuannya. Kegembiraan atas momen itu mengalahkan rasa takut mereka terhadap bahaya yang mengancam.
Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama, ketika sekali waktu awan panas menerjang seluruh kopi mereka, saat itu bahkan ada korban jiwa. Sirna, ya semua menjadi sirna.Â
Masyarakat menjadi frustasi, mereka seperti kehilangan arah. Untuk sementara, seluruh jalan menjadi tampak seperti jalan buntu, karena sandaran harapan mereka selama ini telah sirna.Â
Kopilah yang melekat kuat sebagai jawaban dan harapan dalam ingatan mereka. Erupsi memang bencana, tapi kehilangan tanaman kopi merupakan bencana besar lainnya bagi mereka.
Pada tahun 2015 pemerintah merelokasi warga di ketiga desa ini, Simacem, Bekerah, dan Sukameriah, ke Siosar. Setelah lahan untuk tinggal menetap dan bercocok tanam diberikan oleh pemerintah, maka mereka memulai kehidupan yang baru.Â
Kini, secercah harapan mulai terlihat, walau lahan yang dipakai masih status kontrak. Namun, mereka merasa ada harapan untuk memulai hidup yang baru di lahan yang baru.Â
Mereka mulai mencari bibit kopi dan berharap agar kopi mereka yang dulu bereinkarnasi atau terlahir kembali, untuk tetap menjadi kopi yang terbaik.
Mereka mendoakan setiap penderitaan yang mereka lalui selama ini, dan berharap agar tanah yang mereka pijak kini bisa memberi kehidupan untuk kopi mereka, karena kopi adalah harapan.
Kawasan Siosar merupakan kawasan relokasi yang sangat baik untuk budi daya dan pengembangan tanaman kopi. Selain tanah yang subur dan cocok untuk kopi, ketinggian 1.500-1.600 mdpl itu diberkahi dengan pemandangan yang sangat eksotis dan alamnya yang sejuk.Â
Kesejukannya membuat momen menikmati secangkir kopi di sini memiliki sensasi tersendiri yang berbeda dengan menikmati kopi yang lain.