Ungkapan di atas yang berasal dari Bahasa Latin, berarti "Di mana tidak berlaku ketertiban, maka disana tidak akan tercapai mutu yang tinggi."
Tidak terlepas di rumah tangga, keteraturan adalah hal yang penting dalam menjaga hubungan-hubungan antar anggota keluarga. Kalau di kampung ini, yang memang menganut sistem patrilineal, dimana laki-laki diperlakukan sebagai yang utama, maka peran sosial kaum wanita tampak seolah kurang diberi tempat.
Mulai dari hal-hal kecil, misalnya di rumah tangga. Umumnya hidangan di meja makan pada setiap kali akan bersantap, biasanya akan lebih dulu dihidangkan bagi pria, bapak-bapak. Atau setiap kali ada persoalan keluarga yang perlu pembahasan, maka kaum prialah yang mengendalikan alur pembahasan hingga membuat kesimpulan.
Sementara itu, kaum wanita hanya menyimak di belakang, hampir-hampir tidak punya hak suara.
Padahal, dalam realita kehidupan rumah tangga, sering kali didapati kenyataan bahwa ibulah yang mengurus hampir semua kepentingan anggota keluarga. Mulai dari bangun tidur hingga akan berangkat tidur lagi. Namun, seolah itu adalah hal yang biasa saja dan sudah semestinya terjadi. Apa yang dilakukan ibu seolah tidak terlihat.
Pernah suatu ketika, anak saya ditugasi oleh gurunya membuat daftar hal-hal yang dirasakan anak sebagai bentuk pengorbanan dari ayah dan ibunya. Untuk ibunya, dia mendaftarkan hingga 9 bentuk pengorbanan. Mulai dari menyiapkan sarapan pagi, menyiapkan perlengkapan sekolah, membantu mengerjakan PR, membantu mencari nafkah, merawat anak bila sakit, membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika pakaian, dan memasak buat keluarga.
Sementara itu, dia hanya mendaftarkan 4 bentuk pengorbanan dari ayah. Mulai dari mengantarkan ke sekolah, mencari nafkah, membantu mengajari pelajaran sekolah, dan yang terakhir dia hanya menuliskan "mem."
Entah apa lengkapnya yang mau dituliskannya, tapi memang dia hanya menuliskan sampai di situ. Pada intinya, barangkali anak saya bingung mau mendaftarkan hal lainnya, karena barangkali memang hanya sampai di sanalah pengorbanan ayah yang dia temukan.
Sudah umum diketahui, bahwa anak-anak dalam kepolosannya, biasanya akan jujur dalam memotret suatu hal sesuai fakta. Apalagi, anak saya baru duduk di kelas 2 sekolah dasar.
Kenyataan ini juga tidak berbeda jauh dari kesaksian Sitor Situmorang, salah seorang sastrawan Indonesia itu. Dalam buku autobiografinya, Sitor memberikan kesaksian tentang ayah dan ibunya sebagai berikut.