Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ubi Ordo Deficit Nulia Virtus Suficit

30 Agustus 2019   15:43 Diperbarui: 30 Agustus 2019   16:24 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu (www.pinterest.com)

Ungkapan di atas yang berasal dari Bahasa Latin, berarti "Di mana tidak berlaku ketertiban, maka disana tidak akan tercapai mutu yang tinggi."

Tidak terlepas di rumah tangga, keteraturan adalah hal yang penting dalam menjaga hubungan-hubungan antar anggota keluarga. Kalau di kampung ini, yang memang menganut sistem patrilineal, dimana laki-laki diperlakukan sebagai yang utama, maka peran sosial kaum wanita tampak seolah kurang diberi tempat.

Mulai dari hal-hal kecil, misalnya di rumah tangga. Umumnya hidangan di meja makan pada setiap kali akan bersantap, biasanya akan lebih dulu dihidangkan bagi pria, bapak-bapak. Atau setiap kali ada persoalan keluarga yang perlu pembahasan, maka kaum prialah yang mengendalikan alur pembahasan hingga membuat kesimpulan.

Sementara itu, kaum wanita hanya menyimak di belakang, hampir-hampir tidak punya hak suara.

Padahal, dalam realita kehidupan rumah tangga, sering kali didapati kenyataan bahwa ibulah yang mengurus hampir semua kepentingan anggota keluarga. Mulai dari bangun tidur hingga akan berangkat tidur lagi. Namun, seolah itu adalah hal yang biasa saja dan sudah semestinya terjadi. Apa yang dilakukan ibu seolah tidak terlihat.

Pernah suatu ketika, anak saya ditugasi oleh gurunya membuat daftar hal-hal yang dirasakan anak sebagai bentuk pengorbanan dari ayah dan ibunya. Untuk ibunya, dia mendaftarkan hingga 9 bentuk pengorbanan. Mulai dari menyiapkan sarapan pagi, menyiapkan perlengkapan sekolah, membantu mengerjakan PR, membantu mencari nafkah, merawat anak bila sakit, membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika pakaian, dan memasak buat keluarga.

Sementara itu, dia hanya mendaftarkan 4 bentuk pengorbanan dari ayah. Mulai dari mengantarkan ke sekolah, mencari nafkah, membantu mengajari pelajaran sekolah, dan yang terakhir dia hanya menuliskan "mem."

Entah apa lengkapnya yang mau dituliskannya, tapi memang dia hanya menuliskan sampai di situ. Pada intinya, barangkali anak saya bingung mau mendaftarkan hal lainnya, karena barangkali memang hanya sampai di sanalah pengorbanan ayah yang dia temukan.

Sudah umum diketahui, bahwa anak-anak dalam kepolosannya, biasanya akan jujur dalam memotret suatu hal sesuai fakta. Apalagi, anak saya baru duduk di kelas 2 sekolah dasar.

Kenyataan ini juga tidak berbeda jauh dari kesaksian Sitor Situmorang, salah seorang sastrawan Indonesia itu. Dalam buku autobiografinya, Sitor memberikan kesaksian tentang ayah dan ibunya sebagai berikut.

Tentang ayah, katanya: "Yang menghidupkan daya khayal saya tentang ilmu bumi sejak masa kecil adalah perjalanan keliling dari ayah, mengunjungi daerah amanahnya yang luas. Saat-saat menunggu pulangnya, saya yang tak pernah akrab dengannya, rindu menunggu ia pulang. Setiap kali pulang biasanya membawa oleh-oleh, sebuah suling yang dibuat dari batang sejenis rumput besar yang hampir menyerupai bambu, yang tumbuh sepanjang tebing ngarai dan sungai di jalannya pulang ke rumah. Ia memotong dan melobanginya sambil jalan.

Bila ia sampai di halaman rumah, sayapun berlari menyambut, dan barang itu pasti ada di tangannya, lalu diserahkan tanpa kata dan tanpa perhatian khusus kepada saya, juga tidak kepada ibu yang menantinya."

Sebuah gembaran tentang sosok ayah yang dingin. Memang belum tentu berarti bahwa ayahnya tidak mencintainya dan ibunya. Tapi itu adalah sebuah gambaran cinta yang dingin. Ayahnya adalah seorang raja adat di kampungnya. Ia berwibawa, tapi dingin.

Sedangkan, tentang ibu, Sitor menulis demikian, katanya: "Ibu adalah sosok seorang realis. Ia berwajah keras, dengan pandangan mata yang nyana menghadapi kenyataan sehari-hari. Ibu terlepas dari pikiran filosofis yang rumit. Bagi ibu, kaidah pokok kehidupan adalah kenyataan, kesetiaan dan cinta yang diberikan kepada anak-anaknya sebagai warisan."

Bukan mau membandingkan mana yang lebih baik dan yang lebih buruk, tapi memang demikian adanya dalam realitas kehidupan masyarakat kita, terutama yang berciri patriarki. Apapun alasannya, nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat pastilah lahir melalui sebuah proses yang panjang dengan melibatkan pikiran dan perasaan yang hidup. Karenanya nilai itu menjadi nilai hidup, bukan nilai yang mati. Lagi, nilai itu mungkin sekali berevolusi, bersamaan dengan manusia-manusia yang juga datang dan pergi silih berganti.

Sudah pasti, nilai hidup dibangun dengan maksud menghadirkan ketertiban guna menjaga mutu hidup. Maka, sekalipun susah menyebutkan hal yang baik di satu pihak, padahal di saat yang sama mudah sekali menemukannya di pihak yang lain, tidak bisa kita menilai langsung ini baik dan itu tidak secara sederhana.
Maka, sekalipun tidak mudah untuk dimengerti, demi mutu hidup yang baik, manusia perlu menjaga ketertiban sesuai konteksnya.
Sebuah tulisan, persembahan buat ulang tahun ibu dari anak-anak saya. Selamat ulang tahun mamak...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun