Judul tulisan ini hanya gambaran dari sebuah bayangan masa depan yang tentu saja tidak diharapkan akan menjadi sebuah kenyataan, entah kapan pun itu, yakni masa ketika arah Utara terasa sebagai Selatan. Mengapa harus mengambil arah Utara dan Selatan sebagai contoh analogi terkait arah masa depan? Karena kita akan lebih mudah memahami hal-hal yang kontras, kontraposisi dan berkebalikan. Sebagaimana Utara dan Selatan, atas dan bawah, atau hitam dan putih.
Dilansir dari laman scribd.com dan bobo.grid.id tentang rasi bintang sebagai penunjuk arah, penjelasan tentang rasi bintang penunjuk arah Utara ditunjukkan oleh Rasi Bintang Biduk atau Beruang besar atau Great Bear atau Ursa Mayor dan arah Selatan ditunjukkan oleh Biduk Rasi Bintang Pari atau Crux.
Rasi Bintang Biduk yang menjadi penunjuk arah Utara bentuknya seperti gayung, terdiri dari 7 bintang atau disebut juga konstelasi bintang tujuh. Sistem tujuh bintang ini dinamakan bintang biduk, karena jika ditarik garis akan berbentuk seperti biduk atau gayung besar. Rasi bintang ini terlihat sepanjang tahun di langit utara. Bila gugusan bintang di langit akan berputar pada malam hari, tapi rasi bintang biduk ini akan tetap berada di arah utara, tepatnya di atas kutub utara. Bintang yang paling terang pada rasi ini adalah Polaris, sehingga disebut juga sebagai bintang utara atau bintang kutub.
Sementara itu, Rasi Bintang Pari yang menunjukkan arah Selatan berbentuk pari atau layang-layang atau salib. Rasi ini terdiri dari 4 bintang utama yang kalau ditarik garis akan membentuk seperti salib atau layang-layang. Selain 4 bintang yang terang, di rasi ini juga terdapat 1 bintang bantu yang sangat kecil dan redup jika dibandingkan dengan bintang yang lain. Bintang yang paling terang adalah Alpha Crucis atau Acrux. Bintang yang berwarna biru putih ini digunakan para pelaut zaman dulu sebagai penunjuk arah selatan karena sangat mudah dilihat dengan mata telanjang.
Baca juga: Perbedaan Jangan Saling Meniadakan Kita
Membicarakan masa depan oleh kita yang masih hidup di masa sekarang dalam kaitannya dengan bintang-bintang, tentu ada baiknya bila kita juga mengenal lebih jauh ke masa lalu. Dengan demikian, kita tidak akan menjadi kacang yang lupa akan kulitnya.
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa semua yang terjadi di muka bumi sudah dicatatkan dalam sejarah bintang-bintang. Menjadi masuk akal ungkapan yang menyatakan bahwa 1 hari bagi Sang Pencipta bisa berarti 1.000 tahun bagi manusia. Bukankah sains telah menghitung bahwa bintang-bintang itu adalah benda angkasa yang berjarak ribuan bahkan jutaan tahun cahaya dari bumi? Maka, kalaupun manusia berusaha mencapai bintang terdekat dengan kecepatan cahaya, seandainya pun ia tiba di sana, maka itu adalah masa lalu bagi bumi yang berjarak ribuan bahkan jutaan tahun cahaya dari bumi. Siapakah manusia sehingga merasa pantas bersombong diri kalau demikian adanya?
Membicarakan Masa Lalu Bumi dan Arah Masa Depannya Melalui Sudut Pandang Lingkungan di Dunia Anna
Tentu akan menarik bila kita mencoba mengenali bumi yang kita tempati dalam bingkai sastra yang menjadikan segala sesuatunya menjadi imajinatif, mengasah intuisi sekaligus menguras emosi, dengan harapan kita akan menjadi lebih berperasaan setelahnya. Untuk bumi dan segala isinya.
Hari-hari yang dijalani Anna sesuai cerita dalam novel itu adalah hari yang telah lama ditunggu-tunggunya. Anna yang akan berulang tahun yang ke-16, tahu kalau dia bakal mewarisi cincin tua dari Tante Sunniva. Itu adalah cincin warisan turun temurun dalam keluarga. Sama seperti bumi, yang diwarisi secara turun temurun oleh manusia dan makhluk ciptaan lainnya.
Dari laman bbc.com ada sebuah artikel dengan judul "Ada satu masa di mana tanah luas di selatan Bumi itu dipenuhi dengan hutan dan dinosaurus hidup dengan bebas." Ini adalah sebuah artikel yang mengutip penjelasan Dr. Brian Huber tentang penelitiannya akan masa lalu Antartika.
Dr. Brian Huber adalah seorang ahli dari Museum Sejarah Alam Smithsonian, yang menyelidiki periode Cretaceous dengan fokus khusus pada sejumlah titik di laut dalam sekitar Antartika. Untuk memahami Antartika, katanya kita harus melihat waktu geologi. Antartika adalah wilayah tanpa es pada periode Cretaceous, yang terbentang dari 145 hingga 66 juta tahun lalu. Itu adalah periode dimana Antartika dipenuhi dengan hutan dan dinosaurus masih hidup dengan bebas, sebelum asteroid jatuh ke Bumi dan memusnahkan mereka.
Tapi bagaimana alam liar dengan gundukan es itu bisa punya cuaca hangat dan mendukung kehidupan makhluk Bumi yang paling besar itu? Itu adalah periode masa yang sangat asing karena berasal dari masa yang sangat jauh. Namun, Dr. Brian Huber bisa mengetahuinya melalui penyelidikan Foraminifera.
Dia menjelaskan bahwa Foraminifera memberikan data terbaik, karena kita bisa memiliki kedua-duanya, yakni data tentang makhluk hidup yang tinggal di dasar laut, hidup di sedimen dan merekam suhu dasar laut dan memberikan data makhluk hidup yang planktonik, yang hidup di lima puluh meter teratas samudra yang merekam suhu atmosfer. Melalui rekaman-rekaman itu dan hasil analisis kerang-kerang dari berbagai bagian samudera di seluruh dunia, kita bisa mendapatkan gagasan yang sangat bagus tentang evolusi iklim.
Huber menguraikan bahwa apa yang mereka temukan di Samudra Selatan di sekitar Antartika awalnya sulit dipercaya karena terlalu hangat. Ia menemukan suhu 30 derajat Celcius di 58 derajat selatan, yang dekat dengan Lingkaran Antartika. Suhu tinggi ini terjadi selama pertengahan Cretaceous yang dikenal sebagai "Cretaceous Hothouse," yakni efek panas rumah kaca yang disebabkan oleh peningkatan karbon dioksida di atmosfer.
Menurut Dr. Huber, pada periode pertengahan Cretaceous, bumi memiliki tingkat penyebaran dasar laut yang jauh lebih cepat dan lebih banyak sumber vulkanik karbon dioksidanya, yang mungkin terjadi sebagai akibat erupsi vulkanis dalam jumlah besar dan menghasilkan CO2 sebagai selimut rumah kaca yang menghangatkan bumi. Dari penjelasannya, mungkin itulah sebabnya pada masa itu, pohon dan dinosaurus berkeliaran di Antartika, tidak seperti ladang es tandus pada hari-hari dewasa ini.
Dr. Huber menjelaskan bahwa kita semua tahu perubahan iklim terjadi di masa lalu, perubahan juga terjadi di masa sekarang dan itu akan terjadi juga di masa depan. Namun, apa yang berbeda terkait apa yang kita lakukan sekarang dibandingkan dengan apa yang terjadi di masa lalu barangkali turut menentukan apakah Antartika akan kembali menjadi tempat tanpa es lagi?
Menurut Dr. Huber perubahan iklim sekarang benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya, baik dalam segi kecepatan maupun dalam dampak luasnya, dibandingkan dengan peristiwa geologis yang dapat diketahui dari masa lalu. "Kita manusia mampu melepas ratusan miliar ton CO2 ke atmosfer hanya dalam beberapa dekade. Gunung berapi tidak akan dapat menghasilkan jumlah CO2 dalam rentang waktu sesingkat itu, bahkan jika itu adalah gunung berapi besar," kata Huber.
Terkait masa depan, Huber mengatakan: "Saya pikir apa yang akan kita lihat dalam beberapa dekade, atau mungkin berabad-abad ke depan adalah apa yang disebut aliran es yang mulai mengalir lebih cepat dan bisa jadi Antartika Barat khususnya mulai mengalami degradasi."
Hal ini disampaikannya mengingat laju aliran es, mungkin kita tidak akan melihat seluruh Antartika memburuk dalam beberapa dekade ke depan, tapi tanda-tandanya sudah ada di sana. Ahli glasiologi memperkirakan bahwa begitu permukaan laut naik, kita dapat melihat umpan balik positif di mana es dapat mengalir lebih cepat dan permukaan laut naik lebih cepat, jadi itu terus berjalan.
Kita mungkin tidak memiliki dinosaurus yang berkeliaran di Antartika lagi, tetapi kita tidak dapat mengesampingkan kemungkinannya, bahwa Antartika akan bebas es di masa depan. Kita yang hidup di masa sekarang tidak memiliki cara untuk mengetahui seperti apa rasanya, karena kita tidak pernah hidup di Bumi ketika tidak ada es di kutub.
Dengan penjelasan Dr. Huber ini, mungkin Anna akan semakin mengerti mengapa rusa kutub itu sampai berkeliaran di pedesaan, dan itu bukan salah Sinterklas. Karena pernah pada suatu ketika pada malam tahun baru, saat Anna memasuki usia 10 tahun, sama sekali tidak ada salju. Padahal sepanjang ingatannya, setiap malam tahun baru keluarganya di desa biasanya selalu pergi ke gunung naik kereta salju.
Mensejajarkan rasa penasaran Anna dengan pendapat Dr. Huber di atas, di mana dua hari sebelum ulang tahunnya yang ke-16, Anna mengalami sebuah mimpi yang aneh. Dalam mimpinya ia menjadi Nova, cucu buyutnya, yang hidup di tahun 2028. Saat itu, ia sebagai Nova menemukan bahwa hanya ada sedikit sekali flora dan fauna yang eksis di bumi. Berbeda jauh dengan bumi yang dikenal oleh Anna pada tahun 2012.
Dalam mimpinya, Ia juga pernah bertemu dengan seorang anak dari rombongan musafir yang sepertinya baru menempuh perjalanan panjang dari gurun pasir dan sedang beristirahat bersama dengan unta-untanya dengan mengitari api unggun, tidak jauh dari rumah Anna. Kata anak itu kepada Anna: "Minyak bumi telah menjadi bencana buat negaraku. Kami menjadi kaya dengan cepat, tapi sekarang kami malah jadi miskin. Bagaimana bisa tetap kaya kalau kami tidak punya negara yang dapat ditinggali?" Lagi kata anak itu: "Minyak jadi sebegitu murahnya karena tidak ada yang memilikinya. Tidak ada pihak yang bisa disebut pemilik minyak bumi, sehingga tidak ada yang menentukan harganya. Yang ada tinggal memompa saja!"
Dalam percakapan orang-orang dewasa yang didengarnya, Anna menangkap beberapa kata seperti "pemanasan global" atau "perubahan iklim". Pertama kali dalam hidupnya Anna menyadari bahwa dunia yang dia tinggali sedang mengalami kerusakan.
Kita hidup bersama dalam sebuah planet, bernama bumi. Secara misterius, nenek moyang kita bahkan dikatakan ditempatkan di tengah-tengah taman Firdaus untuk mengusahai dan menguasainya. Tapi tidak semua kita dapat berpikir dalam ruang lingkup untuk kepentingan planet ini dan seluruh isinya. Yang ada malah kita benar-benar mengusainya dengan pemahaman yang keliru dan terlalu bebas. Kita sebagai individu bahkan terlalu banyak menuntut hak. Di lain pihak, terlalu tinggi daya beli bagi orang-orang kaya, sehingga terlalu banyak minyak dan mesin jet untuk dipakai oleh orang-orang paling kaya, dan terlalu sedikit tanggung jawab atas sumber daya alam.
Bila harus bersaing untuk dapat hidup berdampingan dengan makhluk hidup lainnya, maka pastilah persaingan itu dimenangkan oleh manusia, dan terutama si kaya. Mungkin kita manusia masih saja ada di sini hari ini sebagai salah satu spesies, tapi kita telah benar-benar mengancam tidak saja sumber penghidupan kita sendiri, tapi juga sumber penghidupan seluruh spesies lainnya.
Kita bisa sedikit memperdalam pertanyaannya, apakah kita memang akan benar-benar peduli dengan kelestarian alam? Dengan beragam alasan, kita bisa saja akan mengatakan: "Persetan dengan kelestarian alam, aku hanya mencari makan pagi-pagi untuk dimakan sore hari. Alam dan kerusakannya menjadi tanggung jawab orang-orang kaya yang merusaknya!" Sama saja, alasan itu hanya akan membuat kita termasuk salah seorang yang ikut membuat bumi ini tidak ubahnya seperti sebuah taman hiburan besar.
Mungkin ada benarnya kata Jane Goddal yang hidup bersama simpanse-simpanse di taman Nasional Gombe Tanzania, bahwa manusia tidak lain hanyalah primata yang suka bermain-main, inventif, dan sedikit suka berlebihan. Kalau soal altruisme dan sikap filantropi kita yang mau diklaim sebagai penanda khas spesies manusia, maka simpanse juga sudah membuktikan bahwa dalam ikatan emosional antara ibu dan anak simpanse, terbukti bahwa anak simpanse kehilangan seluruh daya hidupnya saat ia menemukan ibunya mati, bahkan anaknya ikut mati tidak lama setelahnya.
Baca juga: "Jane" dan Upaya Mendefinisikan Ulang Manusia
Kita mudah sekali lupa bahwa pada dasarnya kita adalah bagian dari alam. Kita begitu sukanya bermain-main dan menghamburkan segala sesuatu, sehingga kesenangan atas permainan itu menjadi lebih penting bagi kita dari pada tanggung jawab kita atas masa depan bumi ini dalam cara hidup kita. Seolah ada beberapa bumi untuk diperlakukan seenaknya dan bukan yang satu-satunya yang harus kita bagi bersama. Dalam hal inilah pelajaran moral yang bermakna resiprokal dalam Dunia Anna menjadi relevan, bahwa seharusnya kita memperlakukan apa pun sebagaimana kita ingin diri kita diperlakukan!
Memang ada ironi dan paradoks dalam hidup manusia, kalau tidak mungkin bukan manusia namanya. Kerusakan atas habitat-habitat alami dan keanekaragaman hayati tidak lain berhubungan dengan masalah ekonomi. Orang-orang kaya tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk terus memperkaya diri, entah dengan mengeksploitasi sumber-sumber minyak, batu bara, dan mineral, terkadang meskipun di daerah-daerah yang rentan sekalipun. Ironisnya, kemiskinan juga sering menjadi alasan pembenaran pemanfaatan ekosistem dengan cara-cara yang berbahaya dan tidak memikirkan keberlanjutan ekosistem.
Nova yang adalah Anna masa kini yang sedang bermimpi, berkata kepada neneknya yang adalah Anna di masa depan : "Aku cuma bilang kalau aku mau dunia tempat hidupku ini seindah dunia yang Nenek nikmati waktu seumurku. Tahu, kan kenapa? Karena itu utang kalian pada generasi kami!"
Kembali Kepada Bintang dan Kenyataan Cuaca di Bumi Kini
Dalam sebuah tulisan dari Dr. Edvin Aldrian yang diunggah di website resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dikemukakan data peningkatan suhu muka bumi di beberapa kota besar Indonesia. Data itu mengungkap peningkatan suhu di Jakarta, antara 1,04-1,4C/100 tahun, di Cilacap antara 3,38-3,41C/100 tahun, di Medan antara 1,55-1,98C/100 tahun, di Surabaya antara 1,46-3,29C/100 tahun, di Bau Bau hingga 3,63C/100 tahun dan di Makassar antara 1,84-2,83C/100 tahun. Â Sementara itu, data peningkatan paras muka laut tercatat diantaranya di Cilacap 1,3 mm/tahun, di Belawan 7,8 mm/tahun, di Jakarta 4,38-7,00 mm/tahun, di Semarang 5,00-9,37 mm/tahun, di Surabaya 1,00 mm/tahun, di timur Sumatera 5,47 mm/tahun dan di Lampung 4,15 mm/tahun.
Hari-hari terkini kita sering mendapatkan informasi mengenai perubahan-perubahan cuaca yang ekstrem di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia. Musim kemarau bisa sangat ekstrem hingga menyebabkan beberapa tempat di Indonesia yang sebenarnya berada di garis ekuator mencapai suhu hingga minus derajat Celcius, dan ditutupi lapisan es meskipun masih tipis. Sementara itu, di belahan  bumi lain di Eropa yang biasa sangat minim disiram sinar matahari, pada saat yang sama, sedang mengalami peningkatan suhu yang sangat ekstrem. Ini adalah gelombang panas yang tercatat pada masa lalu telah membunuh hingga ribuan orang di Eropa dan tempat-tempat lainnya di dunia.
Sebut saja misalnya pemberitaan Kompas.com, edisi Kamis (27/06/2019), yang mengabarkan bahwa sejumlah kota di Nusa Tenggara Timur mengalami penurunan suhu hingga 9 derajat celcius. Pihak BMKG Nusa Tenggara Timur ( NTT) mencatat adanya penurunan suhu di beberapa kabupaten di provinsi yang berbasis kepulauan itu. Prakirawan BMKG Kupang Ni Putu Nonik Prianti mengatakan, sedikitnya ada enam ibu kota kabupaten yang suhunya menurun.Â
"Data yang dihimpun dari BMKG Kupang, wilayah Ruteng, Kabupaten Manggarai, memiliki suhu terendah yaitu mencapai angka 9 derajat celcius, pada tanggal 15 Juni 2019 lalu," ungkap Nonik, kepada Kompas.com, Kamis (27/6/2019). Kemudian, lanjut Nonik, disusul wilayah Bajawa (Kabupaten Ngada), Soe (Kabupaten Timor Tengah Selatan), Maumere (Kabupaten Sikka), Larantuka (Kabupaten Flores Timur) dan Rote (Kabupaten Rote Ndao).
Selanjutnya, melalui pemberitaan harian Sinar Indonesia Baru (SIB) edisi Sabtu (30/06/2019), diinformasikan bahwa Perancis dilanda gelombang panas terik, dengan suhu tertinggi hingga mencapai 45,9 derajat celcius. Peningkatan suhu di Perancis ini dilaporkan terjadi pada hari Jumat waktu setempat (28/06). Peningkatan suhu ini adalah rekor, setelah suhu paling tinggi sebelumnya tercatat 44,1 derajat celcius yang terjadi pada Agustus 2003. Pada waktu itu gelombang panas membunuh ribuan orang.
Walikota Gallargues-le-Montueux, bernama Freddy Cerda, yang merupakan kota di selatan Perancis yang mencatatkan peningkatan suhu hingga 45,9 derajat celcius itu, mengatakan bahwa rekor suhu tinggi itu merupakan tantangan yang harus dihadapi waraganya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim.
Kantor berita BBC melaporkan bahwa ratusan sekolah ditutup dan pemerintah setempat memberlakukan aturan ketat soal penggunaan air kepada warganya. Sementara itu, Perdana Menteri Perancis, Edward Phillippe mengatakan bahwa masyarakat harus menyadari bahwa kematian pasti tidak  bisa dihindari dalam setiap gelombang panas.
Menurut para ilmuwan, salah satu pemicu pemanasan global ini adalah penggunaan bahan bakar fosil, selain faktor alami karena udara panas yang naik dari kawasan utara Afrika karena tekanan yang meningkat Eropa. Dari beberapa catatan dilaporkan bahwa sudah ada beberapa orang yang menjadi korban bahkan hingga meninggal akibat cuaca panas ini, baik oleh akibat langsung maupun oleh akibat sampingan.
Sebut saja misalnya, di Saint Denis seorang bocah Suriah berusia enam tahun yang dilaporkan kritis karena terlempar ke udara oleh kekuatan pompa air bertekanan tinggi yang dibuka warga setempat yang merasa gerah dengan cuaca yang sangat panas. Sementara di kota Milan, Italia, seorang gelandangan berumur 72 tahun ditemukan tewas di stasiun kereta utama diduga akibat cuaca panas.
Di Spanyol dua orang tewas akibat kepanasan. Salah seorang korbannya merupakan remaja berusia 17 tahun yang mengalami kejang-kejang saat mendinginkan badan di kolam di kota Cordoba. Sementara itu korban lainnya adalah seorang kakek berusia 80 tahun yang tewas saat berada di jalanan kota Valladolid. Hal ini ditambah lagi dengan kebakaran besar di hutan setempat di Catalonia yang sangat menyusahkan bagi petugas pemadam kebarakan.
Dari sebuah artikel Kompas dalam rubrik sains dijelaskan mengapa Indonesia yang berada di daerah tropis, tapi suhu di beberapa tempat bisa mencapai minus derajat celcius. Menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, fenomena cuaca dingin hingga minus ini adalah adalah sesuatu yang normal dan biasa terjadi setiap tahun pada saat kemarau. Katanya hal ini disebabkan oleh beberapa wilayah bumi Selatan, tepatnya Australia, memasuki musim dingin dan angin kemarau bertiup dari arah Selatan. Efek fenomena ini sangat terasa di wilayah pegunungan seperti Dieng dan Bromo.
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Mulyono Rahadi Prabowo, mengungkapkan, kondisi itu sebenarnya normal terjadi pada musim kemarau. Angin yang datang tak membawa uap air. Jadi, potensi pertumbuhan awan pemicu hujan semakin kecil. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah perbedaan suhu siang dan malam yang lebih besar dari biasanya.Â
Saat siang yang cerah, bumi akan menerima radiasi panas matahari lebih banyak sehinga suhu terasa lebih tinggi. Warga akan merasa gerah. Sebaliknya, karena tak ada awan, bumi akan lebih cepat melepaskan panas yang diterima ke atmosfer saat malam. "Makanya akan menjadi lebih dingin dibandingkan kondisi biasanya," kata Mulyono saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/8/2017).
Dari sederet ulasan di berbagai artikel yang dikutip di atas dan dari sudut pandang lingkungan dalam bungkus sastra sebagaimana pesan moral dalam novel Dunia Anna itu, mungkin patut kita renungkan. mungkinkah manusia dengan segala "kemajuan" yang dicapainya sebenarnya berperilaku mundur sehingga kemungkinan gagal membaca pesan yang telah tersimpan dalam riwayat bintang-bintang? Jangan-jangan sumbu bumi sedang berputar sehingga suatu waktu nanti arah Utara bukan lagi ditunjukkan oleh Rasi Bintang Biduk dan arah Selatan bukan lagi ditunjukkan oleh Rasi Bintang Pari. Tempat yang dulunya bersalju menjadi gurun tandus, dan sebaliknya gurun-gurun tandus menjadi padang salju yang dingin membeku.Â
Mungkin terlalu berlebihan, tapi bintang-bintang juga mencatat riwayat-riwayat yang penuh dengan berbagai kemungkinan yang mungkin tidak pernah kita bayangkan. Disamping itu semua, cara kita berperilaku dalam memperlakukan alam turut menentukan seperti apa bumi yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita nanti. Mungkin itu terjadi saat kita tidak lagi di sana, atau mungkin juga masih ada di sini.
Sumber Referensi:
scribd.com
bobo.grid.id
bbc.com
atriadanbuku.blogspot.com
kompas.com 1
kompas.com 2
kompas.com 3
Jostein Gaarder, Anna. En fabel om klodens klima og miljo, terj. Dunia Anna, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H