Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Preman! Kepada Siapakah Aku Harus Mengadu?

18 Februari 2019   12:13 Diperbarui: 18 Februari 2019   16:50 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang digambarkan dalam novel roman sejarah ini mungkin hanyalah kisah fiksi, namun dapat dipandang sebagai metafora yang merupakan kritik sosial atas realitas yang benar-benar terjadi bahkan hingga hari ini, walaupun mungkin tidak di setiap sudut negeri ini. Bahwa penjajahan yang teberat saat ini datangnya bukan dari pihak luar tapi dari saudara sebangsa sendiri. Premanisme bisa saja hadir tidak saja dalam pengertian sederhana yang hadir di pasar-pasar dan terminal, tetapi juga dalam lembaga-lembaga yang terlihat formal namun menjalankan kegiatan-kegiatan ilegal.

Dari sisi sejarah, dikutip dari laman wikipedia, sekurang-kurangnya ada lima fase perkembangan konsep tentang masyarakat sipil atau civil society, mulai dari zaman filsuf Yunani, Aristoteles yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri, hingga fase kelima, wacana civil society adalah sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville.

Pemikiran Tocqueville tentang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara, sebagaimana dikemukakannya dalam bukunya "Sebuah Esai tentang Sejarah Masyarakat Sipil'' (An Essay on The History of Civil Society) yang terbit tahun 1773 di Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada visi etis kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme, serta mencoloknya perbedaan antara individu.

Terlepas dari pandangan apakah masyarakat sipil adalah bagian dari negara itu sendiri atau antitesa dari negara, sesuai dengan sejarah fase perkembangan konsep masyarakat sipil sebagaimana diuraikan di atas, di saat pilar-pilar masyarakat sipil tersebut justru menjalankan perannya di tengah kehidupan masyarakat saat ini tidak ubahnya seperti Maman Gendeng dengan gaya ala premanismenya.

Atau seperti Shodancho yang menganggap bahwa jasa perjuangannya membuatnya merasa berhak untuk menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang, atau seperti Kamerad Kliwon yang tanpa merasa bersalah menghasut amukan demi menuntut keseteraan dan kesejahteraan dengan pertentangan, maka bisa saja pilar-pilar itu hanya mimpi ideal, namun dalam kenyataannya mereka melacurkan nilai-nilai hingga tidak berarti apa-apa, sepanjang mereka mendapat keuntungan dan kepentingan mereka terlindungi.

Dalam bentuk paling primitif muncul dalam gaya preman yang memeras orang-orang tanpa alasan yang jelas. Singkatnya, mereka tetap dapat uang makan sekalipun malas bekerja. Alasannya, mungkin mereka akan dengan mudah menjawab bahwa orang-orang yang bisa hidup sejahtera di masa sulit, pastilah antek-antek kapitalis, padahal kesulitan bisa saja ditimbulkan oleh kemalasan dan sikap hidup mau seenaknya saja, bukan semata karena kapitalis.

Maka, yang paling sulit dalam situasi seperti ini adalah, kita tidak tahu lagi kepada siapa kita harus mengadukan nasib. Karena semua pihak yang berwenang sepertinya tidak mau ambil pusing selama bukan kepentingannya yang terganggu. Setiap urusan adalah tanggung jawab warga sendiri. Tidak ada yang peduli dengan nasib, selain diri mereka sendiri.

Padahal, ketidakpedulian atas sebuah persoalan di saat sebenarnya kita punya kewenangan untuk menyelesaikannya adalah sebuah awal bagi malapetaka yang lebih besar. Barangkali ketidakpedulian dan sikap tidak acuh yang terus-menerus hanya akan mengakumulasi persoalan yang menjadi bom waktu dan bisa meledak dahsyat kapan saja bila terpicu dengan tepat. Maka, pada saatnya apa yang tersisa barangkali hanyalah sebuah ironi, yakni kegamangan di pihak penguasa yang gelisah dengan kekuasaannya, sementara yang lemah hanya bisa "tenang" dalam kepasrahan menerima nasibnya.

Maka, kepada siapakah aku mengadu ketika ada preman, sementara ia telah secara langsung atau tidak langsung menjadi pilar keempat good governance di samping pemerintah, masyarakat sipil dan dunia usaha/ swasta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun