Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Preman! Kepada Siapakah Aku Harus Mengadu?

18 Februari 2019   12:13 Diperbarui: 18 Februari 2019   16:50 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
preman dalam ilustrasi (www.pinterest.com)

Sudah bukan merupakan hal yang baru diketahui bahwa dewasa ini peran masyarakat sipil, baik sebagai komunitas maupun secara personal, semakin diberi ruang dalam hal-hal yang terkait dengan kebijakan publik. Bila merujuk pada pengertian dalam bahasa Inggris, istilah masyarakat sipil berasal dari kata civil society, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer.

Berkaca dari kisah persahabatan yang aneh dalam sebuah novel berjudul Cantik Itu Luka karangan Eka Kurniawan, antara Shodancho, seorang komandan rayon militer di Halimunda, bekas pemimpin gerombolan pejuang revolusioner yang memberontak melawan tentara Jepang pada masa penjajahan melalui perang gerilya, dengan Maman Gendeng, seorang pendekar generasi terakhir, murid dari Empu Sepak dari Gunung Gede, yang akhirnya menjadi preman penguasa terminal di Halimunda.

Melalui kisah persahabatan mereka yang aneh, ternyata golongan masyarakat sipil bisa berkoalisi dengan golongan masyarakat militer, tidak selamanya kontraposisi. Selalu ada kepentingan yang bisa menjadi motif timbulnya sebuah hubungan "persahabatan," sekalipun sesungguhnya mereka saling bermusuhan. Dengan kata lain, tidak ada musuh dan sahabat yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.

Dalam novel ini digambarkan, bahwa tabiat para prajurit yang terbentuk dengan tergesa-gesa di tengah segala keterbatasannya pada periode awal kemerdekaan yang bahkan baru sampai kabarnya ke Halimunda lebih dari sebulan kemudian sejak kemerdekaan itu diproklamirkan, membuat masyarakat sering merasa jengkel dengan tabiat mereka, para prajurit itu.

Meniduri para pelacur tanpa membayar, minum-minum di kedai-kedai tanpa membayar, dan menumpangi angkutan umum tanpa membayar. Hal ini membuat para preman merasa seperti ditampar pipinya, karena mereka juga mencari makan dari menjual jasa keamanan dari orang-orang yang cari makan dengan caranya masing-masing itu.

Sama juga halnya dengan tabiat para preman. Mereka berbuat sesuka hatinya, seringkali mereka masuk saja ke dapur rumah warga yang tidak terkunci dan melahap seluruh makanan tanpa permisi, bahkan tidak peduli apakah si pemilik rumah sudah atau belum mencicipi apa yang dilahapnya. Terkadang mereka melucuti pakaian, atau sepatu, atau merampok barang berharga seseorang yang lengah berjalan seorang diri di jalan tongkrongan mereka. Pernah juga mereka mengganggu gadis-gadis yang berjalan sendiri atau bahkan ditemani seluruh anggota keluarganya.

Semua itu, terasa memuakkan bagi warga, tanpa nyaris ada pihak yang mau menertibkannya. Mereka tidak berharap bisa mengadu kepada polisi apalagi tentara. Bagi setiap mereka, seolah masing-masing sudah punya daerah kekuasaannya dan tidak akan saling mengganggu urusan masing-masing. Hingga setiap urusan adalah tanggung jawab warga sendiri. Tidak ada yang peduli dengan nasib mereka, selain diri mereka sendiri.

Hingga pada suatu hari, akibat perkelahian yang dipicu oleh perkelahian seorang preman dan seorang tentara memperebutkan seorang gadis desa, perkelahian itu akhirnya berkembang menjadi tawuran yang melibatkan teman-teman kedua orang yang bertikai itu. Satu kelompok tentara, di pihak yang lain satu kelompok preman dan teman-temannya. Keadaan ini semakin meresahkan warga yang merasa terancam, hingga memaksa pimpinan kedua pihak turun tangan untuk mengamankan situasi, sang Shodancho dan Maman Gendeng.

Apa yang terjadi ternyata di luar dugaan para warga, karena pertikaian yang mungkin akan berdarah dan memakan korban jiwa itu ternyata dapat diatasi melalui sebuah kesepakatan yang lahir tidak lama di atas sebuah meja permainan kartu truf pada sebuah pasar yang berlokasi di antara markas rayon militer wilayah kekuasaan Shodancho dan terminal wilayah kekuasaan Maman Gendeng.

Sebuah kesepakatan yang memancing kecurigaan dari warga sebagai sebuah kesepakatan jahat, sekalipun bahwa akhirnya kesepakatan itu memang berhasil meredam peperangan yang mencekam. Kalau seandainya peperangan itu benar terjadi, barangkali wargapun mungkin akan saling menghabisi. Karena mungkin sebagian warga yang muak dengan preman akan memihak tentara, sebaliknya sebagian warga yang muak dengan tentara akan memihak preman.

Kecurigaan itu memang akhirnya terbukti, karena baik preman dan tentara akhirnya tidak lagi saling mengganggu. Preman dibiarkan berbuat apapun sesuka hatinya, tapi mereka harus memberikan bagian dari apa yang mereka hasilkan atas perbuatan sesuka hati itu kepada tentara sebagai imbalannya.

Dengan demikian preman tidak perlu lagi merasa tertampar pipinya, karena tentara punya cukup modal untuk membayar jasa pelacuran yang mereka gunakan, membayar minuman yang mereka minum dan membayar ongkos kendaraan yang mereka tumpangi, karena tanpa itu mereka tidak akan mampu karena republik terlalu murah menggaji mereka pada masa itu.

Berharap kepada polisi tidak mungkin, karena mereka sudah sangat kerepotan meniup peluit di perempatan jalan. Sementara itu, pemerintah sipil bisa dibilang belum ada, karena itu adalah masa-masa awal kemerdekaan yang belum sepenuhnya tenang dari agresi militer.

Kalaupun ada administrasi pemerintahan sipil, ada bupati dan walikota, itu mungkin adalah warisan Belanda, selanjutnya digantikan oleh Jepang, sehingga para bupati dan walikota tidak lepas dari rongrongan para gerombolan pemberontak, bagi mereka pemerintah tidak lebih sebagai antek-antek penjajah. Maka warga tidak tahu lagi kepada siapa mereka harus mengadu. 

Hadir di antara hubungan persahabatan yang aneh antara preman dengan tentara itu, antara Maman Gendeng dengan Shodancho, adalah harapan perjuangan warga untuk mengadukan nasibnya kepada perjuangan kaum komunis yang sedang bersinar pada masa itu, dengan slogannya tentang perjuangan kelas. Bahwa perlawanan terbaik untuk menggugat ketidakadilan yang paling merugikan rakyat kecil itu tidak lain adalah melalui pemberontakan terorganisir, melalui amuk yang terorganisir. Harapan itu ada pada seorang pemuda kharismatik, tampan dan cerdas bernama Kamerad Kliwon.

www.goodreads.com
www.goodreads.com
Pada akhirnya hubungan antara ketiga aktor ini memang berjalan aneh dalam suasana perang kemerdekaan dan gerakan revolusi yang diselingi kisah romansa. Maman Gendeng dan Shodancho memang akhirnya menjadi sahabat walau tetap memendam perasaan dendam masing-masing. Hubungan mereka terjalin lebih erat karena mereka sering saling bertukar keluh kesah dalam hubungan rumah tangganya masing-masing yang tidak mudah.

Shodancho menikahi Alamanda, perempuan cantik yang tidak mencintainya sama sekali. Sementara itu, Maman Gendeng menikahi Maya Dewi, seorang gadis remaja cantik berusia empat belas tahun, yang dianggapnya sendiri masih kanak-kanak sebenarnya, namun tetap dinikahinya demi mematuhi anjuran ibu mertuanya.

Sementara itu, seiring gagalnya perjuangan komunis untuk mewujudkan kesejahteraan melalui perjuangan kelasnya menuju kesetaraan, maka satu persatu pemimpin dan gembong-gembong hingga anggota dan simpatisannya berakhir dipenjara bahkan dieksekusi tanpa melalui pengadilan. Termasuk juga menimpa pemimpin komunis di Halimunda, yakni Kamerad Kliwon. Ia rencananya akan dieksekusi pada dinihari di sebuah bulan Oktober yang berdarah.

Namun, eksekusi itu tidak pernah terjadi, ia hanya babak belur kena tendangan dan gebukan popor senjata. Hal ini bisa terjadi, karena Alamanda, istri Shodancho, yang diam-diam masih menaruh hati pada Kamerad Kliwon yang kharismatik berjanji akan memberikan cintanya kepada Shodancho, suaminya, jika saja sang suami mau menukarnya dengan keselamatan jiwa sang kamerad. Tentu saja Shodancho mengabulkannya, demi cinta istrinya yang telah lama dinantikannya, meskipun dia tentu saja merasa cemburu.

Maka selamatlah Kamerad Kliwon dari eksekusi mati, meninggalkan rasa penasaran bagi para regu tembak yang tidak berani membantah perintah Shodancho, komandan mereka yang masih mengijinkan mereka untuk menghajarnya asalkan tidak sampai menghilangkan nyawanya. Ia akhirnya babak belur, tapi mendapat perawatan di rumah sakit dan kasih sayang serta simpati dari seorang gadis cantik bernama Adinda.

Baik Maman Gendeng sang preman terminal, maupun Shodancho sang komandan rayon militer setempat, bahkan Kamerad Kliwon sang pemimpin komunis Halimunda yang kharismatik, dalam latar belakang yang berbeda tapi ketiganya sebenarnya adalah sama-sama berhubungan belaka.

Alamanda, istri Shodancho, Adinda, kekasih Kamerad Kliwon, dan Maya Dewi, istri Maman Gendeng, adalah berturut-turut putri pertama, kedua dan ketiga dari Dewi Ayu, pelacur paling cantik dan paling dihormati di Halimunda. Ia adalah sumber kebahagiaan kota, tidak ada satupun acara penting di Halimunda yang tidak mengundang Dewi Ayu. Bahkan setiap peringatan hari kemerdekaan, ia duduk bersama Mayor Sadrah, walikota, bupati dan tentu saja Shodancho. 

Apa yang digambarkan dalam novel roman sejarah ini mungkin hanyalah kisah fiksi, namun dapat dipandang sebagai metafora yang merupakan kritik sosial atas realitas yang benar-benar terjadi bahkan hingga hari ini, walaupun mungkin tidak di setiap sudut negeri ini. Bahwa penjajahan yang teberat saat ini datangnya bukan dari pihak luar tapi dari saudara sebangsa sendiri. Premanisme bisa saja hadir tidak saja dalam pengertian sederhana yang hadir di pasar-pasar dan terminal, tetapi juga dalam lembaga-lembaga yang terlihat formal namun menjalankan kegiatan-kegiatan ilegal.

Dari sisi sejarah, dikutip dari laman wikipedia, sekurang-kurangnya ada lima fase perkembangan konsep tentang masyarakat sipil atau civil society, mulai dari zaman filsuf Yunani, Aristoteles yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri, hingga fase kelima, wacana civil society adalah sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville.

Pemikiran Tocqueville tentang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara, sebagaimana dikemukakannya dalam bukunya "Sebuah Esai tentang Sejarah Masyarakat Sipil'' (An Essay on The History of Civil Society) yang terbit tahun 1773 di Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada visi etis kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme, serta mencoloknya perbedaan antara individu.

Terlepas dari pandangan apakah masyarakat sipil adalah bagian dari negara itu sendiri atau antitesa dari negara, sesuai dengan sejarah fase perkembangan konsep masyarakat sipil sebagaimana diuraikan di atas, di saat pilar-pilar masyarakat sipil tersebut justru menjalankan perannya di tengah kehidupan masyarakat saat ini tidak ubahnya seperti Maman Gendeng dengan gaya ala premanismenya.

Atau seperti Shodancho yang menganggap bahwa jasa perjuangannya membuatnya merasa berhak untuk menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang, atau seperti Kamerad Kliwon yang tanpa merasa bersalah menghasut amukan demi menuntut keseteraan dan kesejahteraan dengan pertentangan, maka bisa saja pilar-pilar itu hanya mimpi ideal, namun dalam kenyataannya mereka melacurkan nilai-nilai hingga tidak berarti apa-apa, sepanjang mereka mendapat keuntungan dan kepentingan mereka terlindungi.

Dalam bentuk paling primitif muncul dalam gaya preman yang memeras orang-orang tanpa alasan yang jelas. Singkatnya, mereka tetap dapat uang makan sekalipun malas bekerja. Alasannya, mungkin mereka akan dengan mudah menjawab bahwa orang-orang yang bisa hidup sejahtera di masa sulit, pastilah antek-antek kapitalis, padahal kesulitan bisa saja ditimbulkan oleh kemalasan dan sikap hidup mau seenaknya saja, bukan semata karena kapitalis.

Maka, yang paling sulit dalam situasi seperti ini adalah, kita tidak tahu lagi kepada siapa kita harus mengadukan nasib. Karena semua pihak yang berwenang sepertinya tidak mau ambil pusing selama bukan kepentingannya yang terganggu. Setiap urusan adalah tanggung jawab warga sendiri. Tidak ada yang peduli dengan nasib, selain diri mereka sendiri.

Padahal, ketidakpedulian atas sebuah persoalan di saat sebenarnya kita punya kewenangan untuk menyelesaikannya adalah sebuah awal bagi malapetaka yang lebih besar. Barangkali ketidakpedulian dan sikap tidak acuh yang terus-menerus hanya akan mengakumulasi persoalan yang menjadi bom waktu dan bisa meledak dahsyat kapan saja bila terpicu dengan tepat. Maka, pada saatnya apa yang tersisa barangkali hanyalah sebuah ironi, yakni kegamangan di pihak penguasa yang gelisah dengan kekuasaannya, sementara yang lemah hanya bisa "tenang" dalam kepasrahan menerima nasibnya.

Maka, kepada siapakah aku mengadu ketika ada preman, sementara ia telah secara langsung atau tidak langsung menjadi pilar keempat good governance di samping pemerintah, masyarakat sipil dan dunia usaha/ swasta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun