Dengan demikian preman tidak perlu lagi merasa tertampar pipinya, karena tentara punya cukup modal untuk membayar jasa pelacuran yang mereka gunakan, membayar minuman yang mereka minum dan membayar ongkos kendaraan yang mereka tumpangi, karena tanpa itu mereka tidak akan mampu karena republik terlalu murah menggaji mereka pada masa itu.
Berharap kepada polisi tidak mungkin, karena mereka sudah sangat kerepotan meniup peluit di perempatan jalan. Sementara itu, pemerintah sipil bisa dibilang belum ada, karena itu adalah masa-masa awal kemerdekaan yang belum sepenuhnya tenang dari agresi militer.
Kalaupun ada administrasi pemerintahan sipil, ada bupati dan walikota, itu mungkin adalah warisan Belanda, selanjutnya digantikan oleh Jepang, sehingga para bupati dan walikota tidak lepas dari rongrongan para gerombolan pemberontak, bagi mereka pemerintah tidak lebih sebagai antek-antek penjajah. Maka warga tidak tahu lagi kepada siapa mereka harus mengadu.Â
Hadir di antara hubungan persahabatan yang aneh antara preman dengan tentara itu, antara Maman Gendeng dengan Shodancho, adalah harapan perjuangan warga untuk mengadukan nasibnya kepada perjuangan kaum komunis yang sedang bersinar pada masa itu, dengan slogannya tentang perjuangan kelas. Bahwa perlawanan terbaik untuk menggugat ketidakadilan yang paling merugikan rakyat kecil itu tidak lain adalah melalui pemberontakan terorganisir, melalui amuk yang terorganisir. Harapan itu ada pada seorang pemuda kharismatik, tampan dan cerdas bernama Kamerad Kliwon.
Shodancho menikahi Alamanda, perempuan cantik yang tidak mencintainya sama sekali. Sementara itu, Maman Gendeng menikahi Maya Dewi, seorang gadis remaja cantik berusia empat belas tahun, yang dianggapnya sendiri masih kanak-kanak sebenarnya, namun tetap dinikahinya demi mematuhi anjuran ibu mertuanya.
Sementara itu, seiring gagalnya perjuangan komunis untuk mewujudkan kesejahteraan melalui perjuangan kelasnya menuju kesetaraan, maka satu persatu pemimpin dan gembong-gembong hingga anggota dan simpatisannya berakhir dipenjara bahkan dieksekusi tanpa melalui pengadilan. Termasuk juga menimpa pemimpin komunis di Halimunda, yakni Kamerad Kliwon. Ia rencananya akan dieksekusi pada dinihari di sebuah bulan Oktober yang berdarah.
Namun, eksekusi itu tidak pernah terjadi, ia hanya babak belur kena tendangan dan gebukan popor senjata. Hal ini bisa terjadi, karena Alamanda, istri Shodancho, yang diam-diam masih menaruh hati pada Kamerad Kliwon yang kharismatik berjanji akan memberikan cintanya kepada Shodancho, suaminya, jika saja sang suami mau menukarnya dengan keselamatan jiwa sang kamerad. Tentu saja Shodancho mengabulkannya, demi cinta istrinya yang telah lama dinantikannya, meskipun dia tentu saja merasa cemburu.
Maka selamatlah Kamerad Kliwon dari eksekusi mati, meninggalkan rasa penasaran bagi para regu tembak yang tidak berani membantah perintah Shodancho, komandan mereka yang masih mengijinkan mereka untuk menghajarnya asalkan tidak sampai menghilangkan nyawanya. Ia akhirnya babak belur, tapi mendapat perawatan di rumah sakit dan kasih sayang serta simpati dari seorang gadis cantik bernama Adinda.
Baik Maman Gendeng sang preman terminal, maupun Shodancho sang komandan rayon militer setempat, bahkan Kamerad Kliwon sang pemimpin komunis Halimunda yang kharismatik, dalam latar belakang yang berbeda tapi ketiganya sebenarnya adalah sama-sama berhubungan belaka.
Alamanda, istri Shodancho, Adinda, kekasih Kamerad Kliwon, dan Maya Dewi, istri Maman Gendeng, adalah berturut-turut putri pertama, kedua dan ketiga dari Dewi Ayu, pelacur paling cantik dan paling dihormati di Halimunda. Ia adalah sumber kebahagiaan kota, tidak ada satupun acara penting di Halimunda yang tidak mengundang Dewi Ayu. Bahkan setiap peringatan hari kemerdekaan, ia duduk bersama Mayor Sadrah, walikota, bupati dan tentu saja Shodancho.Â