Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sehari di Desa Serdang, Bersama Sungai dan Si Galia

29 Januari 2019   13:30 Diperbarui: 3 Mei 2020   00:16 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sawah dengan latar Gn. Deleng Taincuk, Serdang (dokpri)

Kalau di Tanah Karo, setiap pergi ke desa, pada umumnya selalu dijumpai adanya sungai di setiap desa. Hal ini tidak terlepas dari kondisi geografis Kabupaten Karo yang dialiri oleh dua Daerah Aliran Sungai (DAS), yakni DAS Sei Wampu yang bermuara ke Selat Malaka, dan DAS Lawe Alas yang bermuara ke Danau Toba. Dua DAS inilah yang menjadi sumber primer sungai-sungai yang lebih kecil dan bercabang-cabang mengalir melintasi desa-desa di seluruh wilayah Tanah Karo.

Sungai Lau Raja, Serdang (dokpri)
Sungai Lau Raja, Serdang (dokpri)
Berbicara tentang sungai, maka sungai dapat dijadikan metafora untuk menggambarkan aliran proses kehidupan, yang senantiasa mengalami perubahan, gerusan dan pasang surut. Mengutip ungkapan dari Herakleitos, bahwa sungai hari ini adalah sungai yang berbeda dari yang dulu. Kalau bukan kita, sungainya yang berubah.

Kalau di desa, bila ada sungai maka biasanya ada sawah. Sawah ditanami padi untuk menyediakan kebutuhan manusia akan beras sebagai bahan utama makanan pokok, begitu di Indonesia.

Secara spesifik, berbicara tentang padi di setiap desa, entah karena karakteristik khas kandungan mineral pada tanah, unsur hara, dan dikombinasi dengan adukan aliran sungai yang mengalirinya, maka terdapat varietas padi yang khas, endemik, hanya tumbuh baik di satu desa tertentu.

Tulisan ini berbicara tentang desa Serdang Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo, desa yang menjadi habitat endemis padi yang diberi nama Page si Galia. Padi atau page dalam Bahasa Karo sudah dipandang sebagai tanaman yang penting sejak dahulu kala. Karena itu, padi adalah simbol bagi kemakmuran, kesejahteraan.

Cerita tentang Galia ini bukanlah cerita tentang Gallia, sebuah suku bangsa di Asia Kecil yang pada zaman imperialisme Romawi ditaklukkan di bawah kekuasaan Kaisar Oktavianus Augustinus. Pada masa itu, orang-orang Gallia yang ditaklukkan diangkut dari kampung halamannya ke Roma sebagai budak dan tawanan. Galia yang ada di kampung ini adalah bahan baku untuk membuat lemang panas atau "rires." Lebih nikmat lagi, apabila lemang panas itu dinikmati bersama dengan gula "tengguli", semacam saus berbahan madu atau gula yang terbuat dari air nira yang dimasak.

Lemang yang sedang dimasak (dokpri)
Lemang yang sedang dimasak (dokpri)
Page si Galia dapat dijadikan sumber bahan tepung pulut, karenanya cocok dijadikan bahan untuk membuat aneka penganan. Namun, secara khusus di Desa Serdang yang merupakan habitat endemis padi ini sendiri, Page si Galia lebih dikenal sebagai bahan baku untuk membuat rires.
Rires adalah bahasa Karo untuk lemang. Cita rasa dari lemang berbahan baku page si Galia ini sudah menjadi trade mark atau hak paten, yang dimiliki oleh padi yang hanya tumbuh baik di desa ini. Sebagian besar masyarakat Karo penikmat dan pemerhati lemang umumnya sudah mengetahui dan mengakui hal itu.

Lemang Panas dan Gula Tengguli (dokpri)
Lemang Panas dan Gula Tengguli (dokpri)

Kalau hari-hari kini di desa sudah banyak terjadi perubahan, salah satunya mungkin akibat manusianya yang sudah berubah, sebagaimana tesis Herakleitos. Sudah banyak catatan yang merekam bagaimana perubahan atau kerusakan ekologis diakibatkan oleh ulah manusia.

Namun, kalau hari ini sayup-sayup dari kejauhan gugusan pegunungan Bukit Barisan, yang disebut warga desa sebagai "Deleng Taincuk" karena salah satu pucuk gunungnya berbentuk kerucut piramida (taincuk-bahasa Karo), masih terdengar sahut-sahutan suara Siamang, yang masih tetap sama seperti dahulu kala, itu adalah salah satu indikasi bahwa kelestarian alam di sana masih terjaga.

Sawah dengan latar Gn. Deleng Taincuk, Serdang (dokpri)
Sawah dengan latar Gn. Deleng Taincuk, Serdang (dokpri)
Secara sosialpun patut tetap berharap, bahwa nilai-nilai kehidupan selaras alam dari para orang tua terdahulu yang pernah tinggal di desa ini dan mereka ajarkan kepada keturunannya saat mereka masih hidup bersama, dapat tetap dihidupi sekalipun memerlukan penyesuaian dengan perubahan cara-cara hidup saat ini.

Saat saya masih kecil dan tinggal bersama kakek dan nenek di desa ini, pada satu pagi kakek berkata: "Lipat selimutmu anakku, itu pekerjaan pertama yang kau temui saat bangun tidur setiap pagi. Mustahil mengurus negara, kalau untuk melipat selimutpun kau tak bisa dipercaya."

Setiap turun ke sungai di desa, rasanya tetap aktual menggambarkan perasaan melihat desa, sungai, gunung dan padi, dengan mengutip puisi Mandalawangi-Pangrango dari Soe Hok Gie:
Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Lembah Seribu Bunga,Serdang-Barusjahe (dokpri)
Lembah Seribu Bunga,Serdang-Barusjahe (dokpri)
Sungai Lau Raja (dokpri)
Sungai Lau Raja (dokpri)

Sementara itu, nun di kejauhan, Deleng Taincuk yang ikonik sebagai latar belakang Desa Serdang, Mandalawangi Pangrango-nya Tanah Karo tampak berdiri gagah dalam ketenangan, seolah tampak seperti seorang seorang kakek yang membungkuk dan berkata kepada cucunya: 

"Aku telah hidup dari zaman kereta kuda sampai zaman manusia berjalan di bulan, banyak perubahan, dan aku telah menyaksikan orang-orang yang datang dan pergi dalam hidup. Aku telah melihat kenyataan bahwa hidup ini begitu singkat." Mungkin kita juga sering bertanya dalam hati, kemana saja waktu telah berlalu, dan apa sebenarnya yang kita inginkan.

Kini, di masa sekarang, apa yang lebih hangat dari memori sentimentil masa kecil di kampung halaman? Salah satunya adalah kehangatan pada musim panen, saat Page si Galia bercampur santan dipanggang di dalam ruas-ruas pokok bambu di halaman belakang rumah, saat perayaan syukuran pesta panen tahunan, yang disebut "kerja tahun" bersama-sama dengan handai taulan.

Memanggang Lemang di Saat Pesta Panen
Memanggang Lemang di Saat Pesta Panen
Selain itu, kenangan menjala ikan, menangkap kepiting (ndukdak), berenang di sungai, menggembala kerbau sambil meniup surdam (suling), dan di-ninabobo-kan (didong) saat menjelang tidur oleh nenek, adalah sebagian kenangan yang lain saat di desa, selain sungai dan Page si Galia. Terkadang, saat merindukan semua kenangan tentang desa, ada terbersit rasa haru, dan titik air mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun