Setiap turun ke sungai di desa, rasanya tetap aktual menggambarkan perasaan melihat desa, sungai, gunung dan padi, dengan mengutip puisi Mandalawangi-Pangrango dari Soe Hok Gie:
Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Sementara itu, nun di kejauhan, Deleng Taincuk yang ikonik sebagai latar belakang Desa Serdang, Mandalawangi Pangrango-nya Tanah Karo tampak berdiri gagah dalam ketenangan, seolah tampak seperti seorang seorang kakek yang membungkuk dan berkata kepada cucunya:Â
"Aku telah hidup dari zaman kereta kuda sampai zaman manusia berjalan di bulan, banyak perubahan, dan aku telah menyaksikan orang-orang yang datang dan pergi dalam hidup. Aku telah melihat kenyataan bahwa hidup ini begitu singkat." Mungkin kita juga sering bertanya dalam hati, kemana saja waktu telah berlalu, dan apa sebenarnya yang kita inginkan.
Kini, di masa sekarang, apa yang lebih hangat dari memori sentimentil masa kecil di kampung halaman? Salah satunya adalah kehangatan pada musim panen, saat Page si Galia bercampur santan dipanggang di dalam ruas-ruas pokok bambu di halaman belakang rumah, saat perayaan syukuran pesta panen tahunan, yang disebut "kerja tahun" bersama-sama dengan handai taulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H